Berita Hangat Hari Ini

Perbedaan Karakter dengan Kepribadian

Kepribadian adalah hadiah dari Tuhan Sang Pencipta saat manusia dilahirkan dan setiap orang yang memiliki kepribadian pasti ada kelemahannya dan kelebihannya di aspek kehidupan sosial dan masing-masing pribadi. Kepribadian manusia secara umum ada 4, yaitu:
1. Koleris : tipe ini bercirikan pribadi yang suka kemandirian, tegas, berapi-api, suka tantangan, bos atas dirinya sendiri.
2. Sanguinis : tipe ini bercirikan suka dengan hal praktis, happy dan ceria selalu, suka kejutan, suka sekali dengan kegiatan social dan bersenang-senang.
3. Phlegmatis :  tipe ini bercirikan suka bekerjasama, menghindari konflik, tidak suka perubahan mendadak, teman bicara yang enak, menyukai hal yang pasti.
4. Melankolis : tipe ini bercirikan suka dengan hal detil, menyimpan kemarahan, Perfection, suka instruksi yang jelas, kegiatan rutin sangat disukai.
Saat setiap manusia belajar untuk mengatasi dan memperbaiki kelemahannya, serta memunculkan kebiasaan positif yang baru, inilah yang disebut dengan Karakter. Misalnya, seorang dengan kepribadian Sanguin yang sangat suka bercanda dan terkesan tidak serius, lalu sadar dan belajar sehingga mampu membawa dirinya untuk bersikap serius dalam situasi yang membutuhkan ketenangan dan perhatian fokus, itulah Karakter.

2.4    Tahap-Tahap Pembentukan Karakter
Pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Pada dasarnya setiap orang sudah memiliki potensi atau kemampuan yang ada sejak ia dilahirkan. Potensi-potensi itulah yang menjadi bekal untuk pembentukan karakter dirinya. Sedangkan pembentukan karakter selain didorong faktor bawaan, tidak terlepas pula oleh faktor lingkungan yang juga memiliki pengaruh cukup besar bagi pembentukan karakter seseorang.
Karakter mulai terbentuk ketika seseorang masih kecil. Lingkungan yang pertama dilihat oleh seseorang pasca lahir adalah keluarga. Maka peran keluarga dalam pembentukan karakter menjadi yang pertama dan utama. Terutama pendidikan yang diberikan oleh orang tua, khususnya ibu. Dalam falsafah Jawa kita mengenal istilah guru yang merupakan singkatan dari digugu lan ditiru. Guru dalam ranah keluarga adalah kedua orangtua.
Sehingga apapun perkataan, perbuatan atau sikap dari orangtua akan diikuti oleh anak, entah itu baik maupun buruk. Sebab ketika seseorang berada pada masa anak-anak, pendidikan yang dominan adalah keteladanan. Ucapan dan tindakan dari orangtua yang itu termasuk hal yang baik atau buruk, secara langsung ataupun tidak langsung akan membentuk karakter si anak sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk susila, dan makhluk keagamaan. Orangtua yang menanamkan nilai-nilai agama pada anak, misalnya sering mengajak sholat, mengajari membaca Al-Quran, mengenalkan Allah, mendorong untuk cinta kepada Muhammad, maka anak cenderung akan terbentuk karakter orang yang religius. Orangtua yang sering mengajarkan kebaikan, bertutur kata yang lemah lembut, dermawan pada orang lain, maka karakter si anak cenderung baik. Akan tetapi jika orang tua berkata atau bersikap yang tidak baik, apalagi sering bertengkar di depan anak, maka dalam diri seorang anak akan terbentuk karakter yang tidak baik.
Proses pembentukan karakter atau kepribadian terdiri atas tiga taraf, yaitu pertama, pembiasaan. Tujuannya untuk membentuk aspek kejasmanian dari kepribadian, atau memberi kecakapan berbuat dan mengucapkan sesuatu (pengetahuan hafalan). Contohnya antara lain membiasakan puasa dan sholat. Kedua, pembentukan pengertian, sikap, dan minat. Setelah melakukan pembiasaan, selanjutnya seseorang diberi pengertian atau pengetahuan tentang amalan yang dikerjakan dan diucapkan. Ketiga, pembentukan kerohaniyahan yang luhur. Pembentukan ini menanamkan kepercayaan yang ada pada rukun iman. Hasilnya seseorang akan lebih mendalami apa yang dilakukan atau diucapkan sehingga meningkatkan tanggungjawab terhadap setiap apa yang dikerjakan.
Pendidikan karakter atau kepribadian memerlukan sebuah proses yang simultan dan berkesinambungan yang melibatkan aspek membelajarkan knowing the good (mengetahui hal yang baik), feeling the good (merasakan hal yang baik), desiring the good (merindukan kebaikan), loving the good (mencintai kebaikan), dan acting the good (melakukan kebaikan). Materi pendidikannya tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat afektif, tetapi juga yang berkaitan dengan kognitif dan psikomotor.
1.     Knowing the good
Untuk membentuk karakter, anak tidak hanya sekadar tahu mengenai hal-hal yang baik, namun mereka harus dapat memahami kenapa perlu melakukan hal itu. Selama ini mereka tahunya mana yang baik dan buruk, namun mereka tidak tahu alasannya.



2.     Feeling the good
Konsep ini mencoba membangkitkan rasa cinta anak untuk melakukan perbuatan baik. Di sini anak dilatih untuk merasakan efek dari perbuatan baik yang dia lakukan. Jika feeling the good sudah tertanam, itu akan menjadi ‘mesin’ atau kekuatan luar biasa dari dalam diri seseorang untuk melakukan kebaikan atau menghindarkan perbuatan negatif.
3.     Acting the good
Pada tahap ini, anak dilatih untuk berbuat mulia. Tanpa melakukan apa yang sudah diketahui atau dirasakan oleh seseorang, tidak akan ada artinya. Selama ini hanya himbauan saja, padahal berbuat sesuatu yang baik itu harus dilatih, dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Jadi ketiga faktor tersebut harus dilatih secara terus menerus hingga menjadi kebiasaan. Konsep yang dibangun, adalah habit of the mind, habit of the heart, dan habit of the hands. Karakter juga menjadi kunci utama sebuah bangsa untuk bisa maju. Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam, tidak akan maju jika sumber daya manusia (SDM) tidak berkarakter, tidak jujur, tidak bertanggungjawab, tidak mandiri, serta tidak jujur.

2.5    Penerapan Pendidikan Karakter
Di sekolah-sekolah pendidikan karakter yang diterapkan semestinya terarah pada pengembangan kultur edukatif yang mengarahkan anak didik untuk menjadi pribadi yang integral. Pendidikan karakter jika ingin efektif dan utuh mesti menyertakan tiga basis desain dalam pemrogramannya.
Pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Relasi guru dengan siswa bukan monolog, melainkan dialog, sehingga siswa itu berkesempatan untuk mengeluarkan ide-ide dan pendapatnya. Baik itu masalah materi pelajaran maupun hal-hal yang non pelajaran. Misalnya tentang manajemen kelas, yang membantu terciptanya suasana kelas yang nyaman.
Kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa. Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran.
Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia yang tidak menghargai makna tatanan sosial bersama. Pendidikan karakter hanya akan bisa efektif jika tiga desain pendidikan karakter ini dilaksanakan secara simultan dan sinergis. Tanpanya, pendidikan kita hanya akan bersifat parsial, tidak konsisten, dan tidak efektif.
Sekolah sebagai institusi formal yang memiliki tugas penting bukan hanya untuk meningkatkan penguasaan informasi dan teknologi dari peserta didik, tetapi ia juga bertugas dalam pembentukan rasa tanggungjawab dan pengambilan keputusan yang bijak dalam kehidupan. Sekolah haruslah menjadi penggerak utama dalam pendidikan yang bebas (free public education), dimana pendidikan sebaiknya bersifat universal, tidak memihak (non sectarian), dan bebas.
Sekolah mempunyai peran yang amat penting dalam pendidikan karakter anak, terutama jika anak-anak tidak mendapatkan pendidikan karakter di rumah. Argumennya didasarkan kenyataan bahwa anak-anak menghabiskan cukup banyak waktu di sekolah, dan apa yang terekam dalam memori anak-anak di sekolah akan mempengaruhi kepribadian anak ketika dewasa kelak.
Di Indonesia, dimana agama diajarkan di sekolah-sekolah negeri maupun swasta, kelihatannya pendidikan moral masih belum berhasil dilihat dari tingkat kejahatan dan demoralisasi masyarakat yang tampak meningkat pada periode ini. Dilihat dari esensinya seperti yang terlihat dari kurikulum pendidikan agama tampaknya agama lebih mengajarkan pada dasar-dasar agama, sementara akhlak atau kandungan nilai-nilai kebaikan belum sepenuhnya disampaikan. Dilihat dari metode pendidikan pun tampaknya terjadi kelemahan karena metode pendidikan yang disampaikan difokuskan pada pendekatan otak kiri (kognitif), yaitu hanya mewajibkan peserta didik untuk mengetahui dan menghafal konsep dan kebenaran tanpa menyentuh perasaan, emosi, dan nuraninya.
Selain itu tidak dilakukan praktek perilaku dan penerapan nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam kehidupan di sekolah. Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam pengajaran moral bagi peserta didik. Karena itu tidaklah aneh jika dijumpai banyak sekali ketidakonsistenan antara apa yang diajarkan di sekolah dan apa yang diterapkan anak di luar sekolah. Dengan demikian, seperti yang telah dipaparkan pada pembahasan  di atas, peran orangtua dalam pendidikan agama untuk membentuk karakter anak menjadi amat mutlak, karena melalui orangtua pulalah anak memperoleh kesinambungan nilai-nilai kebaikan yang telah ia ketahui di sekolah. Tanpa keterlibatan orangtua dan keluarga maka sebaik apapun nilai-nilai yang diajarkan di sekolah akan menjadi sia-sia, sebab pendidikan karakter harus mengandung unsur afeksi, perasaan, sentuhan nurani, dan prakteknya sekaligus dalam bentuk amalan kehidupan sehari-hari.
Menurut Lickona, terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1) mengembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik; (2) mendefinisikan karakter secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku; (3) pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter; (4) menciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian; (5) memberi siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral; (6) membuat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil; (7) mengusahakan mendorong motivasi diri siswa; (8) melibatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa; (9) menumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter; (10) melibatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter; (11) mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.
Dalam pendidikan karakter penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan sebagai basis karakter yang baik. Sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai- nilai dimaksud, mendefinisikannya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari, mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya, menggunakannya sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi nilai-nilai tersebut di sekolah dan masyarakat.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to " Perbedaan Karakter dengan Kepribadian"

Post a Comment