Berita Hangat Hari Ini

Fungsi Kekuasaan Kehakiman

Fungsi Kekuasaan Kehakiman di Negara Hukum Republik In­donesia

Menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974, istilah fungsi berarti adalah sekelompok pekerjaan, kegiatan, dan usaha yang satu sama lainnya ada hubungan erat untuk melaksanakan suatu tugas pokok Dari sudut bahasa, fungsi (Belanda = functie, Inggris = function) berarti jabatan, atau kerja, sedangkan menurut Logeman, fungsi itu adalah suatu lingkungan kerja tertentu dalam hubungan keseluruhan. Selanjutnya beliau mengemukakan, dalam bidang hukum positif, fungsi dalam organisasi negara disebut jabatan negara c.q. merupakan stenografis secara yuridis, sejauh personifikasi itu dapat dipikirkan terletak dalam wewenang dan kewajiban orang-orang yang memenuhi kecakapan tertentu, digandengkan pada suatu penyerahan kedudukan menurut kaidah sendiri yang tertentu.

Miriam Budiarjo menyatakan apabila memandang negara dari sudut kekuasaan dan menganggapnya sebagai organisasi kekuasaan maka UUD dapat dianggap sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan dibagi antara lembaga kenegaraan, misalnya kepada legislatif, eksekutif, dan yudikatif; UUD menentukan cara-cara bagaimana pusat kekuasaan bekerja sama dan menyesuaikan diri satu sama lain, serta merekam hubungan­hubungan kekuasaan dalam suatu negara. Selanjutnya menurut Beliau, di negara-negara demokrasi konstitusional, UUD mempunyai fungsi dalam membatasi kekuasaan pemerintah sehingga penyelenggaraan kekuasaan negara tidak bersifat sewenang-wenang.

Menurut Muhammad Shiddiq Tgk. Armia dalam perspektif horizontal gagasan demokrasi konstitusional mengandung empat prinsip pokok yang dilembagakan dengan menambahkan prinsip­-prinsip negara hukum menjadi, yaitu :

a. Adanya jam inan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama.

b. Pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan atau pluralitas.

c. Adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama.

d. Dalam sistem kekuasaan negara ada mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan aturan yang disepakati bersama.

e. Pengakuan dan penghormatan hak asasi manusia.

f. Pembatasan kekuasaan melalui mekanisme pemisahan atau pembagian kekuasaan yang disertai mekanisme penyelesaian sengketa ketatanegaraan antarlembaga negara baik secara vertikal maupun horizontal.

g. Adanya peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak dengan kewibawaan putusan yang tertinggi atas dasar keadilan dan kebenaran.

h. Dibentuknya peradilan yang khusus untuk menjamin keadilan bagi warga negara yang dirugikan akibat keputusan atau kebijakan pemerintahan (pejabat administrasi negara).

i. Adanya mekanisme judicial review.

j. Jaminan pelaksanaan prinsip-prinsip tersebut dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan.

k. Pengakuan terhadap asas legalitas dalam keseluruhan sistem penyelenggaraan negara.



Konsepsi negara hukum telah diterima dan dimuat dalam rumusan Pasal 1 Ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945. Sebelumnya rumusan negara hukum hanya disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945 (telah dihapus) dengan istilah rechtstaat yang diperlawankan dengan machstaat (negara kekuasaan) yang terang-terangan ditolak oleh perumus UUD. Menurut Muhammad Tahir Azharyistilah rechstaat pada penjelasan UUD 1945 adalah sebagai genus begrip dan sebagai species begrip-nya adalah Negara Hukum Pancasila, dengan ciri-ciri; (i) ada hubungan yang erat antara agama dan negara, (ii) bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa, (iii) kebebasan beragama dalam arti positif, (iv) atheisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang, serta (v) asas kekeluargaan dan kerukunan; sedangkan unsur­unsur pokok Negara Hukum Republik Indonesia menurut Beliau adalah; (i) Pancasila, (ii) Majelis Permusyawaratan Rakyat, (iii) sistem konstitusi, (iv) persamaan, dan (v) peradilan bebas. Konsekuensi logis dari prinsip negara hukum yang dianut oleh Negara Republik Indo­nesia adalah adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan terbebas dari berbagai pengaruh pihak manapun dalam menye­lenggarakan peradilan yang menjadi kompetensinya.

Sebelum dilakukan perubahan terhadap UUD 1945 rumusan tentang kekuasaan kehakiman yang merdeka hanya ditemukan pengaturannya dalam Penjelasan Pasal 24 UUD 1945 yang menyatakan, kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, dan karenanya harus diadakan jaminan dalam Undang-Undang tentang Kedudukan Para Hakim.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 2 undang-undang tersebut, penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan undang-undang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.

Kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, berarti bebas dan lepas dan campur tangan pemerintah atau badan negara yang lain atau dari pihak manapun yang akan mempengaruhi penyelenggaraan tugas serta kewenangannya, barulah dinyatakan secara tegas pada Perubahan Ketiga UUD 1945, yakni ketentuan Pasal 24 Ayat (1) yang menentukan, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mengenai hal ini secara eksplisit telah diamanatkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 - 2004, khususnya BAB IV C Arah Kebijakan Politik angka 1 huruf c menyatakan, meningkatkan peran Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya dengan menegaskan fungsi, wewenang, dan tanggung jawab yang mengacu pada prinsip pemisahan kekuasaan dan tata hubungan yang jelas antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Demikian pula dalam konsiderans (menimbang) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasan Kehakiman, menentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang mandiri dan terlepas dari kekuasaan pemerintah, maka dipandang perlu melaksanakan pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif. Bahkan, meskipun diadakan pergantian undang-undang yang mengatur kekuasaan kehakiman tersebut, rumusan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tidak mengalami perubahan sedikit pun dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahu'n 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menggantikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999.

Berdasarkan Pasal 24 Ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945, maka yang diberi wewenang oleh UUD 1945 untuk melakukan kekuasaan kehakiman adalah Mahkamah Agung beserta badan-badan peradilan di bawahnya, dan oleh Mahkamah Konstitusi. Badan-badan peradilan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman mengemban tugas pokok, yakni melaksanakan public service di bidang pemberian keadilan.[8] Dalam melakukan peradilan, pengadilan mengadili berdasarkan hukum yang berlaku, meliputi hukum yang tertulis dan tidak tertulis. Peradilan merupakan suatu proses persidangan yang diselenggarakan oleh badan-badan pengadilan dalam rangka menyelesaikan sengketa atau permasalahan hukum dengan menerapkan hukum yang tepat, dan bertujuan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Dalam hal ini maka pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa clan mengadili suatu perkara dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas melainkan wajib untuk rnemeriksa clan mengadilinya (vide Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004) karena hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum.







Hal ini selaras dengan suatu ungkapan hukum yang menyatakan bahwa hakim dianggap tahu hukumnya, dan dengan demikian berarti dimaksudkan untuk memberikan jaminan hukum dari negara. Oleh karena itu, menurut K. Wantjik Saleh bilamana terjadi suatu pelanggaran hukum, baik berupa perkosaan hak seseorang maupun kepentingan umum, maka terhadap pelanggarnya tidak dibenarkan diambil suatu tindakan untuk menghakiminya oleh sembarang orang (eigentrichting), melainkan melalui suatu proses yang tidak hanya cukup dengan pencegahan, tetapi juga memerlukan suatu perlindungan clan penyelesaiannya c.q negara mefalui kekuasaannya menyerahkan kepada kekuasaan kehakiman yang berbentuk badan peradilan dengan pelaksananya yaltu hakim.

Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara …….. Menurut A. Ridwan Halim fungsionaris pengadilan sebagai penyelenggara atau pelaksana fungsi peradilan memiliki misi utama dalam mengupayakan serta menjamin agar peradilan dapat mencapai serta mencerminkan:
Keadilan c.q merupakan keserasian dari, (i) kepastian hukum dan kesebandingan hukum atau kesetaraan hukum, (ii) proteksi/ perlindungan hukum, dan restriksi atau pembatasan hukum, dan (iii) penggunaan hak clan pelaksanaan kewajiban.
Kewibawaan hukum yang merupakan keserasian antara keketatan hukum dan keluwesan hukum.
Perkembangan hukum c.q merupakan keserasian antara modernisasi/ pembaruan hukum dan restorasi/ pemugaran hukum.
Efisiensi dan efektivitas hukum c.q. merupakan keserasian antara unifikasi hukum clan diferensiasi/pluralisme hukum.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Fungsi Kekuasaan Kehakiman"

Post a Comment