Di akhir tahun 2009, tepatnya tanggal 29 September 2009, DPR RI telah mengesahkan Undang-Undang di Bidang Kekuasaan Kehakiman. Yaitu Undang- Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Bersamaan dengan itu juga disahkan Undang-Undang No 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang No 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, Undang-Undang N0. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua atas Undang- Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Dan Undang-Undang No.51 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut perlu dikaji dan dipahami secara kritis oleh masyarakat terkait dengan bagaimana masa depan kekuasaan kehakiman yang merdeka pada tahun 2010 dan di masa depan. Ini di karenakan masyarakat mendambakan agar pelaku kekuasaan kehakiman itu merdeka dan independen sehingga keadilan dan kebenaran bisa ditegakkan dengan konsisten. Yang kaya dan yang miskin harus diperlakukan secara sama di depan hukum.
Perubahan Undang- Undang Dasar 1945 membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan, khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Perubahan tersebut antara lain menegaskan bahwa :
1. Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah dan Badan Peradilan yang berada di bawahnyaa dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
2. Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang;
3. Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan memutuskan sengketa kewenagan lembaga negara yang kewenangnnya diberikan oleh Undang-Undang 1945;
4. Komisi yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluruhan martabat, serta perilaku hakim. Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman telah sesuai dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di atas, namun substansi undang-undang tersebut belum mengatur secara komprehensif tentang penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yang merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Sehubungan dengan hal tersebut, sebagai upaya untuk memperkuat penyelenggaraan kekuasaan kehakimandan mewujudkan sistem peradilan terpadu, maka pemerintah perlu mensahkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam rangka kekuasaan kehakiman ini, biasa digunakan beberapa istilah, yaitu pengadilan, peradilan, dan mengadili. Menurut R. Subekti dan R. Tjitrosoedibio,
“Pengadilan (rechtsbank, court) adalah badan yang melakukan peradilan, yaitu memeriksa dan memutusi sengketa-sengketa hukum dan pelanggaran-pelanggaran hukum/undang-undang. Peradilan (rechtspraak, judiciary) adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara menegakkan hukum dan keadilan.”
Dengan demikian, berarti pengadilan itu menunjuk kepada pengertian organnya, sedangkan peradilan merupakan fungsinya. Namun, menurut Soedikno Mertokusumo, pada dasarnya, peradilan itu selalu berkaitan dengan pengadilan, dan pengadilan itu sendiri bukanlah semata-mata badan, tetapi juga terkait dengan pengertian yang abstrak, yaitu memberikan keadilan.
Lain lagi Rochmat Soemitro yang berpendapat bahwa pengadilan dan peradilan, juga berbeda dari badan pengadilan. Titik berat kata peradilan tertuju kepada prosesnya, pengadilan menitikberatkan caranya, sedangkan badan pengadilan tertuju kepada badan, dewan, hakim, atau instansi pemerintah Namun, menurut hasil penelitian mengenai pemakaian kata-kata pengadilan dan peradilan itu dalam praktik, ternyata kata pengadilan itu memang tertuju kepada badannya, sedangkan peradilan adalah prosesnya. Atas dasar itu, maka Sjachran Basan berpendapat bahwa penggunaan istilah pengadilan itu ditujukan kepada badan atau wadah yang memberikan peradilan, sedangkan peradilan menunjuk kepada proses untuk memberikan keadilan dalam rangka menegakkan hukum atau het rechtspreken. Pengadilan selalu bertalian dengan peradilan, meskipun pengadilan bukanlah satu-satunya badan yang menyelenggarakan peradilan.
Peradilan itu sendiri sebagai suatu proses harus terdiri atas unsur-unsur tertentu. Menurut pendapat Rochmat Soemitro, setelah menelaah berbagai pendapat dari Paul Scholten, Bellefroid, George Jellineck, dan Kranenburg, unsur-unsur peradilan itu terdiri atas empat anasir, yaitu :
a. Adanya aturar hukum yang abstrak yang mengikat umum yang dapat diterapkan pada suatu persoalan.
b. Adanya suatu perselisihan hukum yang konkrit
c. Ada sekurang-kurangnya dua pihak
d. Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan.
Namun, menurut Sjachran Basan, unsur-unsur peradilan itu yang lebih lengkap mencakup pula adanya hukum formal dalam rangka penerapan hukum (rechtstoepassing) dan menemukan hukum (rechtsvinding) “in conreto” untuk menjamin ditaatinya hukum materiil yang disebut sebagai unsur (a) tersebut di atas. Atas dasar itu, maka oleh Sjachran Basan dikatakan bahwa, “Peradilan adalah segala sesuatu yang bertalian dengan tugas memutus perkara dengan menerapkan hukum, menemukan hukum in concreto dalam mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.”
Proses peradilan tanpa hukum materiil akan lumpuh, tetapi sebaliknya tanpa hukum formal akan liar dan bertindak semaunya, dan dapat mengarah kepada apa yang biasa ditakutkan orang sebagai “judicial tyrany”.
Kekuasaan kehakiman adalah ciri pokok Negara Hukum (Rechtsstaat) dan prinsip the rule of law. Demokrasi mengutamakan the will of the people, Negara Hukum mengutamakan the rule of law. Banyak sarjana yang membahas kedua konsep itu, yakni demokrasi dan negara hukum dalam satu kontinum yang tak terpisahkan satu sama lain. Namun keduanya perlu dibedakan dan dicerminkan dalam institusi yang terpisah satu sama lain.
Di Indonesia, kekuasaan kehakiman, sejak awal kcmerdekaan juga diniatkan sebagai cabang kekuasaan yang terpisah dari lembaga-lembaga politik seperti MPR/DPR dan Presiden. Dalam Penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 sebelum perubahan, ditentukan:
“Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim.”
Yang dimaksud pemerintah dalam penjelasan itu dapat dipahami dalam arti luas, yaitu mencakup pengertian cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif sekaligus, mengingat UUD 1945 sebelum perubahan tidak menganut paham pemisahan kekuasaan, terutama antara fungsi eksekutif dan legislatif. Narnun, meskipun tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan, cabang kekuasaan kehakiman tetap dinyatakan bebas dan merdeka dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Karena itu, cabang kekuasaan kehakiman sejak semula memang diperlakukan khusus sebagai cabang kekuasaan yang terpisah dan tersendiri. Inilah salah satu ciri penting prinsip negara hukum yang hendak dibangun berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Untuk semakin menegaskan prinsip negara hukum itu, setelah reformasi, ketentuan mengenai negara hukum itu ditegaskan lagi dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tahun 2001. Pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam usaha untuk memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka itu, maka sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum telah dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Melalui perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tersebut telah diletakkan kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial maupun urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada di bawah satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Kebijakan ini dengan istilah populer biasa disebut “kebijakan satu atap”. Kebijakan ini ditentukan sudah harus dilaksanakan paling lambat lima tahun sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dengan berlakunya Undang-Undang ini, pembinaan badan peradilan umum, badan peradilan agama, badan peradilan militer, dan badan peradilan Tata Usaha Negara berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Mengingat sejarah perkembangan peradilan agama yang spesifik dalam sistem peradilan nasional, pembinaan terhadap badan peradilan agama dilakukan dengan memerhatikan saran dan pendapat Menteri Agama dan Majelis Ulama Indonesia.
Setelah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tersebut diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 proses peralihan itu dipertegas lagi dalam Ketentuan Peralihan Pasal 42 Undang-Undang ini bahwa pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan Tata Usaha Negara selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Maret 2004. Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan agama selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004. Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan militer selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004. Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud di atas ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Keputusan Presiden tersebut ditetapkan paling lambat: (a) 30 hari sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir; dan (b) 60 hari sebelum jangka waktu tersebut berakhir.
Selanjutnya ditentukan pula dalam Pasal 43 dan 44 bahwa sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial tersebut, maka: (a) semua pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, pengadilan negeri, pengadilan tinggi, pengadilan Tata Usaha Negara, dan pengadilan tinggi Tata Usaha Negara, menjadi pegawai pada Mahkamah Agung; (b) semua pegawai yang menduduki jabatan struktural pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tata Usaha Negara, dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, tetap menduduki jabatannya dan tetap menerima tunjangan jabatan pada Mahkamah Agung; (c) semua aset milik/barang inventaris di lingkungan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi serta Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara beralih ke Mahkamah Agung.
Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial tersebut: (a) semua pegawai Direktorat Pembinaan Peraclilan Aga-ma Departemen Agama menjadi pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung, serta pegawai pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama menjadi pegawai Mahkamah Agung; (b) semua pegawai yang menduduki jabatan struktural pada Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama menduduki jabatan pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung, sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan (c) semua aset milik/barang inventaris pada pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama beralih menjadi aset milik/barang inventaris Mahkamah Agung. Juga sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial tersebut: (a) pembinaan personel militer di lingkungan peradilan militer dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur personel militer; (b) semua Pegawai Negeri Sipil di lingkungan peradilan militer beralih menjadi Pegawai Negeri Sipil pada Mahkamah Agung.
Perubahan-perubahan yang dilakukan tersebut di atas, sejalan dengan semangat reformasi nasional yang berpuncak pada perubahan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi dalam penyelenggaraan negara Republik Indonesia. Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mau fidak mau telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang.Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya, diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Disamping perubahan yang menyangkut kelembagaan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dikemukakan di atas, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga telah memperkenalkan suatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. yaitu Komisi Yudisial. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan memiliki wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Dengan demikian, dalam sistem dan mekanisme penyelenggaraan kekuasaan kehakiman Republik Indonesia, Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi dapat didampingi oleh Komisi Yudisial sebagai lembaga penunjang (auxiliary state commission) yang berfungsi sebagai perekrut hakim agung dan pengawas kode etik hakim.
Mengingat perubahan mendasar yang dilakukan dalam perumusan materi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya yang berkenaan dengan penyelengaraan kekuasaan kehakiman, maka Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 perlu dilakukan perubahan secara komprehensif. Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai badanbadan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan. Selain itu dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan yang menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman serta panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan, pelaksanaan putusan pengadjlan, bantuan hukum, dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Untuk memberikan kepastian dalam proses pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan peralihan.
Dalam undang-undang, kekuasaan kehakiman itu sendiri dirumuskan sebagai kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Kekuasaan Kehakiman yang merdeka tersebut mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, puncak sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia sekarang terdiri atas sebuah Mahkamah Agung dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan di luar peradilan negara melalui perdamaian atau arbitrase. Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
Menurut Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman ketentuan Pasal 4 ayat (1), peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Ketentuan ini sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa:
“Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Ditentukan pula dalam ayat (2) bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Dalam penjelasan dinyatakan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan. Pemeriksaan dan penyelesaian perkara bersifat "sederhana" dalam arti dilakukan dengan prosedur acara yang efisien dan efektif serta biaya ringan. Yang dimaksud dengan “biaya ringan” itu adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat pencari keadilan (justice seekers, justitiabelen) dengan tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.
Dalam Pasal 4 ayat (3) dan (4) ditentukan bahwa:
“Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Sedangkan dalam ayat (4) ditentukan bahwa:
“Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipidana.”
Dalam penjelasan dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “dipidana” dalam rumusan ayat (4) di atas adalah bahwa unsurunsur tindak pidana dan pidananya ditentukan dalam undang-undang.
Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Pengadilan membantu pencari keadilan (justice seekers atau justisiabelen) dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.[13] Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain menurut apa yang ditentukan oleh undang-undang. Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.
Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. Yang dimaksud dengan rehabilitasi di sini adalah pemulihan hak seseorang berdasarkan putusan pengadilan pada kedudukan semula yang menyangkut kehormatan, nama baik, atau hak-hak lain. Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud di atas dipidana. Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam Undang-Undang.
Kekuasaan kehakiman itu sendiri merupakan pilar ketiga dalam sistem kekuasaan negara modern. Dalam bahasa Indonesia, fungsi kekuasaan yang ketiga ini seringkali disebut cabang kekuasaan yudikatif, dari istilah Belanda judicatief. Dalam bahasa Inggris, di samping istilah legislative dan executive, tidak dikenal istilah judicative, sehingga untuk pengertian yang sama biasanya dipakai istilah judicial, judiciary, atau judicature. Sedangkan yang biasa dianggap sebagai pilar keempat atau “the fourth estate of democracy” adalah pers bebas (free press) atau prinsip independence of the press. Karena itu, jika dalam pengertian fungsi negara (state functions), dikenal adanya istilah trias politica, dalam sistem demokrasi secara lebih luas juga dikenal adanya istilah “quadru politica”.
Dalam sistem negara modern, cabang kekuasaan kehakiman atau judiciary ini merupakan cabang yang diorganisasikan secara tersendiri sebagai salah satu esensi kegiatan bernegara powers is particularly important for the judiciary.” Bahkan, boleh jadi, karena Montesquieu sendiri adalah seorang hakim (Perancis), maka dalam bukunya, l'Esprit des Lois is memimpikan pentingnya pemisahan kekuasaan yang ekstrim antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan terutama kekuasaan yudisial. Dalam praktek di kemudian hari, impian Montesquieu ini tidak pemah terbukti, terutama dalam hubungan antara fungsi legislatif dan eksekutif. Namun, dalam konteks fungsi kekuasaan kehakiman, apa yang dimimpikannya itu justru menjadi pegangan universal di dunia seluruh dunia. Karena itu, sampai sekarang, prinsip the independence of judiciary menjadi salah satu ciri terpenting setiap negara hukum yang demokratis. Tidak ada negara yang dapat disebut negara demokrasi tanpa praktek kekuasaan kehakiman yang independen. Bahkan, oleh Mukti Arto dikatakan, keberadaan lembaga pengadilan itu sangat penting karena tiga alasan, yaitu: (a) pengadilan merupakan pengawal konstitusi; (b) pengadilan bebas merupakan unsurnegara demokrasi;dan (c) pengadilan merupakan akar negara hukum.
Baik di negara-negara yang menganut tradisi civil law maupun common law, baik yang menganut sistem pemerintahan parlementer maupun presidensil, lembaga kekuasaan kehakiman selalu bersifat tersendiri. Misalnya, di negara yang menganut sistem parlementer, terdapat percampuran antara fungsi legislatif dan eksekutif. Di Inggris, misalnya, untuk menjadi menteri seseorang justru disyaratkan harus berasal dari anggota parlemen. Parlemen dapat membubarkan kabinet melalui mekanisme “mosi tidak percaya”. Sebaliknya, pemerintah juga dapat membubarkan parlemen dengan cara mempercepat pemilihan umum. Namun, meskipun demikian, cabang kekuasaan kehakiman atau judiciary tetap bersifat independen dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnva.
Saking independennya, dalam tradisi Amerika Serikat dan di banyak negara lain, cabang kekuasaan kehakiman itu seeing kali mengesampingkan berlakunya (setting aside) sesuatu peraturan undang-undang yang ditetapkan oleh parlemen dalam memutuskan sesuatu perkara konkrit demi menegakkan keadilan dalam penyelesaian perkara yang bersangkutan.
Pemisahan kekuasaan juga terkait erat dengan independensi peradilan. Prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers) itu menghendaki bahwa para hakim dapat bekerja secara independen dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan legislatif. Bahkan, dalam memahami dan menafsirkan undang-undang dasar dan undang-undang, hakim harus independen dari pendapat dan bahkan dari kehendak politik para perumusn undang-undang dasar dan undang-undang itu sendiri ketika perumusan dilakukan. Meskipun anggota parlemen dan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat mencerminkan kedaulatan rakyat dalam menentukan kebijakan kenegaraan, tetapi kata akhir dalam memahami maksudnya tetap berada di tangan para hakim.
Lagi pula, sebagai buatan manusia, hukum dan peraturan perundang-undangan sering kali memang tidak sempurna. Terkadang, ada saja undang-undang yang agak kabur perumusannya sehingga membuka kemungkinan banyak penafsiran mengenai pengertian-pengertian yang terkandung di dalamnya. Akibatnya, undang-undang atau peraturan yang demikian itu menyebabkan terjadinya kebingungan dan ketidakpastian (rechtsonekerheid) yang luas. Karena itu, dibutuhkan hakim yang dapat menafsirkan kandungan norma yang terdapat di dalamnya secara tepat dan adil sehingga dapat dijadikan dasar untuk memutuskan persoalan yang timbal dengan putusan yang menjadi solusi terakhir. Untuk itulah, dibutuhkan hakim yang benarbenar kompeten, berintegritas, dan dapat dipercaya. Untuk memenuhi kebutuhan itu, maka dibutuhkaa pengaturan yang tepat mengenai ripe manusia seperti apa yang seharusnya diangkat menjadi hakim.
Banyak sekali komentar dan pandangan negatif terhadap hakim mengenai sejauh mana hakim dapat bekerja dengan objektif, dan apakah tidak mungkin terjadi bahwa hakim yang dikonstruksikan sebagai manusia bebas dan tidak berpihak kecuali kepada kebenaran tidak akan “bias”. Apakah benar bahwa seorang hakim baik secara sadar ataupun tidak sadar tidak akan dipengaruhi oleh sikap “prejudice” yang disebabkan oleh latar belakang sosial dan politik kehidupannya sendiri dalam memutus setiap perkara yang untuk itu ia diharapkan bersikap objektif dan imparsial. Sikap “bias” itu terkadang dipengaruhi pula oleh cara hakim sendiri dalam memahami atau memandang kedudukan dan fungsinya Misalnya, dalam memutus sesuatu perkara, pasti ada yang pihak senang dan ada pihak tidak senang, termasuk dalam perkara yang bersangkutan dengan pertentangan antara negara dengan warga negara. Dalam hal demikian, apakah hakim akan tetap dapat bersikap netral atau akan merasa menjadi “hero” bagi rakyat dalam menghadapi negara.
Dalam kegiatan bernegara, kedudukan hakim pada pokoknya bersifat sangat khusus. Dalam hubungan kepentingan yang bersifat triadik (triadic relation) antara negara (state), pasar (market), dan masyarakat madani (civil society), kedudukan hakim harus berada di tengah. Demikian pula dalam hubungan antara negara (state) dan warga negara (citizens), hakim juga harus berada di antara keduanya secara seimbang. Jika negara dirugikan oleh warga negara, karena warga negara melanggar hukum negara, maka hakim harus memutuskan hal itu dengan adil. Jika warga negara dirugikan oleh keputusan-keputusan negara, baik melalui perkara Tata Usaha Negara maupun perkara pengujian peraturan, hakim juga harus memutusnya dengan adil. Jika antar warga negara sendiri ataupun dengan lembaga-lembaga negara terlibat sengketa kepentingan perdata satu sama lain, maka hakim atas nama negara juga harus memutusnya dengan adilnya. Karena itu, hakim dan kekuasaan kehakiman memang harus ditempatkan sebagai cabang kekuasaan tersendiri.
Oleh sebab itu, salah satu ciri yang dianggap terpenting dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaal) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy) adalah adanya kekuasaan kehakiman yang independen dan tidak berpihak (independent and impartial). Apa pun sistem hukum yang dipakai dan sistem pemerintahan yang dianut, pelaksanaan “the principles of independence and impartiality of the judiciary” harus benar-benar dijamin di setiap negara demokrasi konstitusional (constitutional democracy).
Lembaga peradilan tumbuh dalam sejarah umat manusia dimulai dari bentuk dan sistemnya yang sederhana. Lama-lama bentuk dan sistem peradilan berkembang menjadi semakin kompleks dan modern. Karena itu, seperti dikemukakan oleh Djokosutono, ada empat tahap sekaligus empat macam rechtspraak yang dikenal dalam sejarah, yaitu:
1) Rechtspraak naar ongeschreven recht (hukum adat), yaitu pengadilan yang didasarkan atas ketentuan hukum yang tidak tertulis, seperti pengadilan adat.
2) Rechtspraak naar precedenten, yaitu pengadilan yang didasarkan atas prinsip preseden atau putusan-putusan hakim yang terdahulu, seperti yang dipraktikkan di Inggris.
3) Rechtspraak naar rechtsboeken, yaitu pengadilan yang didasarkan atas kitab-kitab hukum, seperti dalam praktek dengan pengadilan agama (Islam) yang menggunakan kompendium atau kitab-kitab ulama ahlussunnah waljama'ah atau kitab-kitab ulama syi’ah, dan
4) Rechtspraak naar wetboeken, yaitu pengadilan yang didasarkan atas ketentuan undang-undang ataupun kitab undang-undang. Pengadilan ini jutaan sarjana dengan pengertian yang boleh jadi berbeda-beda dan satu era ke era yang lain. Jika orang bertitik tolak dari konsep negara hukum (rechtsstaat), maka orang akan tiba pada pemberian kualifikasi kepada konsep rechtsstaat yang diidealkan, yaitu antara lain rechtsstaat yang demokratis (democratirche rechtsstaat). Sebab banyak negara hukum yang tidak demokratis, salah satu conttshnya adalah Jerman di bawah Hider. Jika orang bertitik tolak dari konsep democrat', maka kualifikasi dapat pula diberikan sesuai dengan penekanan yang hendak diberikan pada konsep ideal demokrasi itu, misalnya, participatory democracy, pluralistic democrat', constitutional democracy, dan sebagainya. Merupakan penjelmaan dari paham hukum positif atau moderne wetgeving yang mengutamakan peraturan perundang-undangan yang bersifat tertulis (schreven wetgeving).
Pengadilan adalah lembaga kehakiman yang menjamin tegaknya keadilan melalui penerapan undang-undang dan kitab undangundang (wet en wetboeken) dimaksud. Strukturnya dapat bertingkat-tingkat sesuai dengan sifat perkara dan bidang hukum yang terkait. Ada perkara yang cukup diselesaikan melalui peradilan pertama dan sekaligus terakhir, ada pula perkara yang diselesaikan dalam dua tingkat, dan ada pula perkara yang diselesaikan dalam tiga tahap, yaitu tingkat pertama, tingkat banding, dan tingkat kasasi. Selain itu, seperti pembagian menurut van Vollenhoven, “justitierecht” atau “the law of the administrasion of
Justice” sendiri terbagi lagi menjadi empat, yaitu:
1) Staatsrechtelijke Rechtspleging (peradilan tata negara)
2) Privaatsrechttelijke Rechtspleging (peradilan perdata)
3) Strafsrechtelijke Rechtspleging (peradilan pidana), dan
4) Administratiefrechtelijke Rechtspleging (peradilan tata usaha negara).
Di samping itu, dalam sistem peradilan di Indonesia dewasa ini, terdapat empat lingkungan peradilan, yang masing-masing memunyai lembaga pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding. Pada tingkat kasasi, semuanya berpuncak pada Mahkamah Agung (MA). Pengadilan tingkat pertama dan kedua dalam keempat lingkungan peradilan tersebut adalah:
1. Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi (PT) dalam lingkungan peradilan umum
2. Pengadilan Agama (PA) dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA) dalam lingkungan peradilan agama
3. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
4. Pengadilan Militer (PM) dan Pengadilan Tinggi Militer dalam lingkungan peradilan militer.
Di samping itu, dewasa ini, dikenal pula adanya sembilan bentuk pengadilan khusus, baik yang bersifat tetap ataupun ad hoc, yaitu:
(i) Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM)
(ii) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
(iii) Pengadilan Niaga
(iv) Pengadilan Perikana
(v) Pengadilan Hubungan Kerja Industria
(vi) Pengadilan Pajak
(vii) Pengadilan Ana
(viii) Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
(ix) Mahkamah Pelayaran
(x) Pengadilan Adat di Papua
(xi) Pengadilan Tilang.
Pengadilan HAM, Pengadilan Tipikor, Pengadilan Niaga, dan Pengadilan Perikanan, termasuk ke dalam lingkungan peradilan umum, sedangkan yang lainnya, seperti Pengadilan Pajak dan Pengadilan Hubungan Kerja Industrial dapat digolongkan termasuk lingkungan peradilan Tata Usaha Negara. Mahkamah Syari'ah di Aceh termasuk ke dalam dua lingkungan sekaligus, yaitu lingkungan peradilan umum untuk hal-hal yang berkaitan dengan kewenangan peradilan umum, dan termasuk juga lingkungan peradilan agama untuk hal-hal yang berkaitan dengan kewenangan peradilan agama. Menurut ketentuan Pasal 15, pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang diatur dengan undang-undang. Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pcngadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.
Banyaknya dibentuk berbagai pengadilan yang bersifat khusus ataupun yang bersifat ad hoc ini memang perlu disoroti secara tersendiri. Kreatifitas yang tumbuh di berbagai sektor pemerintahan untuk membentuk lembaga-lembaga, komisikomisi, dan badan-badan baru dapat dinilai baik-baik saja sekiranya hal itu benar-benar didasarkan atas pertimbangan yang sangat matang dari semua aspeknya. Namun, sering kali kreatifitas ini dikembangkan tidak berdasarkan atas pengkajian yang ma-tang dan mendalam. Akibatnya, pembentukan lembaga-lembaga dan termasuk pengadilan-pengadilan khusus dan yang bersifat ad hoc ini menimbulkan masalah tersendiri, seperti ketidaksiapan aparatur dan aparat yang tersedia serta menyebabkan terjadinya “redundancy” dan “ineficieng” yang bersifat “high cost”.
Sebagai contoh, berdasarkan ketentuan Pasal 71 UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, maka untuk pertama kali telah dibentuk beberapa pengadilan perikanan, yaitu di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual. Namun, karena alasan ketidaksiapan aparat dan aparatur serta kesulitan-kesulitan dalam koordinasi antarinstansi dan ketidakharmonisan antar peraturan yang terkait, pelaksanaan togas dan fungsi pengadilan-pengadilan perikanan tersebut ditangguhkan oleh pemerintah paling lambat sampai tanggal 6 Oktober 2007. Penangguhan dimaksud dilakukan oleh presidcn dengan menetapkan Perpu Nomor 2 Tahun 2006 tentang Penangguhan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Pengadilan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Kasus penangguhan pelaksanaan Undang-Undang ini jelas merupakan bukti mengenai tidak siapnya aparat dan aparatur untuk melaksanakan ketentuan Pasal 71 ayat (5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.Pertanyaan yang dapat diajukan di balik ini adalah, mengapa dulu di tahun 2004, presiden justru mengesahkan Undang-Undang ini, jika ternyata kemudian diketahui bahwa dalam pelaksanaannya kita belum siap?
Di samping pengadilan perikanan itu, ada pula Mahkamah Pelayaran dan bahkan ada lagi Pengadilan Adat yang juga memiliki kekhususan. Pengadilan Adat diatur dan diperkenalkan kernbali oleh Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Juga, ada badan-badan quasi-pengadilan yang berbentuk komisi yang bersifat ad hoc. Misalnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Banding Mereka, dan sebagainya. Semua lembaga peradilan atau semi atau quasi peradilan itu memiliki kedudukan khusus dalam sistem hukum Indonesia. Fungsinya adalah untuk menjamin agar hukum dan keadilan dapat ditegakkan dan diwujudkan dengan sebaik‑baiknya.
0 Response to "Kedudukan Kekuasaan Kehakiman di Negara Republik Indonesia. "
Post a Comment