BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan mulai bulan Desember 2007 sampai Mei 2008. Tempat penelitian di Departemen/SMF Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan, Departemen/ SMF Rehabilitasi-Medis, dan Departemen/SMF Patologi Klinik RSU Dr. Soetomo Surabaya.
Pada penelitian ini yang menjadi populasi adalah penderita kanker ovarium stadium I–IV yang datang di Departemen/SMF Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSU Dr. Soetomo Surabaya. Sebagai sampel adalah penderita kanker ovarium stadium I–IV yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sampai memenuhi jumlah sampel. Sampel diambil dari populasi dengan metode consecutive sampling dan dilakukan randomisasi double blind untuk membagi sampel ke dalam kelompok paclitaxel-carboplatin infus 3 jam dan 24 jam. Sampel penelitian ini minimal 10 penderita masing-masing kelompok dengan total sampel 20.
Kriteria inklusi penelitian ini adalah penderita kanker ovarium stadium I–IV (sesuai FIGO) baik yang telah dilakukan optimal/suboptimal surgical staging/debulking, memenuhi syarat kemoterapi, yaitu normalitas status hematologi (Hb > 10 g%, leukosit > 3,0 x 103/μL atau < 12,0 x 103/μL, trombosit > 100.000) dan normalitas fungsi ginjal dan hepar, kemudian bersedia berpartisipasi dalam penelitian dengan menandatangani informed consent. Sedangkan kriteria eksklusi penelitian ini adalah penderita yang telah mendapat kemoterapi sebelumnya, menderita penyakit neuropati perifer yang lain (misal: diabetes mellitus). Kriteria drop out penelitian adalah bila penderita meninggal, atau penderita tidak datang berobat sesuai jadwal.
Kelayakan etik didapatkan dari Komisi Etik untuk penelitian ilmu dasar/klinik di RSU Dr. Soetomo Surabaya/Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Desember 2007 sampai Mei 2008 di Ruang Kandungan RSU Dr. Soetomo Surabaya. Selama periode tersebut terdapat 20 sampel yang dilibatkan dalam penelitian, yang terdiri dari 10 penderita kelompok infus paclitaxel 3 jam dan 10 penderita infus paclitaxel 24 jam. Setiap subjek penelitian dilakukan pemeriksaan neuropati perifer di Laboratorium EMG Rehabilitasi Medik dan neutropeni di Laboratorium Patologi Klinik sebelum dilakukan kemoterapi dan setelah kemoterapi pertama, kedua, dan ketiga. Penelitian ini menggunakan tingkat kemaknaan 0,05 (5%) sehingga apabila uji balistik didapatkan harga p ≤ 0,05 dikatakan bermakna, sedangkan bila didapatkan harga p ≥ 0,05 dikatakan tidak bermakna.
Rata-rata usia penderita kelompok infus 3 jam adalah 47,2 + 5,61, sama dengan kelompok infus 24 jam (47,3 + 5,88). Hasil dibuktikan dengan uji t 2 sampel bebas didapatkan harga p > 0,05 yang berarti bahwa secara statistik tidak didapatkan perbedaan bermakna rerata usia penderita. Rata-rata luas tubuh kelompok infus 3 jam adalah sama (1,50 + 0,12) dengan kelompok infus 24 jam 1,52 + 0,10. Hasil uji t 2 sampel bebas didapatkan harga p > 0,05 yang berarti bahwa secara statistik tidak didapatkan perbedaan bermakna rerata luas tubuh. Rata-rata kadar hemoglobin kelompok infus 3 jam adalah sama (11,9 ± 1,1) dengan kelompok infus 24 jam (12,1 ± 1,2). Hasil uji t 2 sampel bebas didapatkan harga p > 0,05 yang berarti bahwa secara statistik tidak didapatkan perbedaan bermakna rerata kadar hemoglobin. Rata-rata kadar albumin kelompok infus 3 jam adalah sama (3,5 ± 0,4) dengan kelompok infus 24 jam (3,6 ± 0,3). Hasil uji t 2 sampel bebas didapatkan harga p > 0,05 yang berarti bahwa secara statistik tidak didapatkan perbedaan bermakna rerata kadar albumin.
Penelitian mendapatkan stadium kanker ovarium pada kelompok infus 3 adalah stadium IC (50 %) dan stadium IIIC (50 %), sedangkan pada kelompok infus 24 jam yaitu IC (60 %) dan stadium IIIC (40 %). Hasil uji Chi-square didapatkan harga p = 1,00 (> 0,05) yang berarti tidak ada perbedaan bermakna stadium klinis kanker ovarium. Upaya untuk mendapatkan sampel yang benar-benar homogen antara kedua kelompok, kami lakukan seoptimal mungkin yang terbukti melalui analisa statistik. Dari 20 sampel, tampak kedua kelompok secara statistik tidak menunjukkan perbedaan bermakna dalam hal usia, luas tubuh, kadar hemoglobin, kadar albumin, dan stadium klinis kanker, hal tersebut menunjukkan bahwa sampel pada penelitian ini dapat dikatakan homogen.
Didapatkan pula kejadian neutropeni pada kelompok infus 3 jam adalah setelah kemoterapi paxus-carbo I (20%), setelah paxus-carbo II (30%) dan setelah paxus-carbo III (30 %). Sedangkan pada kelompok 24 jam, kejadian neutropeni setelah kemoterapi paxus-carbo I (40%), setelah paxus-carbo II (50%) dan setelah paxus-carbo III (40%). Hasil uji Chi-square didapatkan harga p > 0,05 sehingga tidak ada perbedaan bermakna kejadian neutropeni pada pemberian kemoterapi pertama, kedua, dan ketiga antara kelompok infus 3 jam dan 24 jam.
Gambar 1. Perbedaan penurunan jumlah netrofil
Gambar 1 menunjukkan rata-rata jumlah netrofil yang terus menurun mulai kemo 1 sampai dengan kemo 3. Penurunan tersebut lebih besar pada infus 24 jam dibanding infus 3 jam. Uji t menunjukkan pada infus 24 jam, penurunan netrofil sebelum dengan setelah kemoterapi pertama didapatkan hasil yang signifikan (p < 0,0001), setelah kemoterapi kedua dengan kemoterapi pertama juga didapatkan hasil yang signifikan (p = 0,03) tetapi setelah kemoterapi ketiga dengan kemoterapi kedua didapatkan hasil yang tidak signifikan (p = 0,11). Sedangkan pada infus 3 jam dengan uji t, penurunan netrofil sebelum dengan setelah kemoterapi pertama didapatkan hasil yang signifikan (p < 0,0001), tetapi setelah kemoterapi kedua dengan kemoterapi pertama didapatkan hasil yang tidak signifikan (p = 0,281) dan setelah kemoterapi ketiga dengan kemoterapi kedua juga didapatkan hasil yang tidak signifikan (p = 0,252).
Hasil penelitian mendapatkan pada kelompok 3 jam antara sebelum kemo dengan setelah kemo pertama terjadi penurunan jumlah netrofil sebesar 19%, setelah kemo kedua dibandingkan dengan kemo pertama menurun 5,9% dan setelah kemo ketiga menurun lagi sebesar 1,2%. Pada kelompok 24 jam didapatkan antara sebelum kemo dengan setelah kemo pertama terjadi penurunan jumlah netrofil sebesar 23,8%, setelah kemo kedua dibandingkan dengan kemo pertama menurun 7,5% dan setelah kemo ketiga menurun lagi sebesar 8,6%. Pada uji t, perbandingan penurunan jumlah netrofil antara infus 3 jam dan 24 jam, secara statistik tidak didapatkan perbedaan yang bermakna dengan nilai p > 0,05 baik setelah kemo pertama, kedua maupun ketiga.
Hasil penelitian mendapatkan kejadian neuropati pada kelompok infus 3 jam adalah setelah kemoterapi paxus-carbo I (30%), setelah paxus-carbo II (60%), dan setelah paxus-carbo III (50 %). Sedangkan pada kelompok 24 jam, kejadian neuropati setelah kemoterapi paxus-carbo I (20%), setelah paxus-carbo II (20%) dan setelah paxus-carbo III (20 %). Hasil uji Chi-square didapatkan harga p > 0,05 sehingga tidak ada perbedaan bermakna kejadian neuropati pada pemberian kemoterapi pertama, kedua dan ketiga pada kelompok infus 3 jam dan 24 jam.

Gambar 2. Perbedaan penurunan gelombang amplitudo
Gambar 2 menunjukkan rata-rata gelombang amplitudo yang terus menurun. Penurunan tersebut lebih besar pada infus 3 jam dibandingkan dengan infus 24 jam. Uji t menunjukkan pada infus 3 jam, penurunan gelombang amplitudo tampak nyata secara signifikan baik setelah kemoterapi pertama dengan sebelum kemoterapi (p = 0,05), setelah kemoterapi kedua dengan kemoterapi pertama (p = 0,009), dan setelah kemoterapi ketiga dengan kemoterapi kedua (p = 0,007). Sedangkan pada infus 24 jam penurunan gelombang amplitudo tampak nyata secara signifikan setelah kemoterapi pertama dengan sebelum kemo (p < 0,0001), setelah kemoterapi kedua dengan kemoterapi pertama (p = 0,04), tetapi tidak terjadi setelah kemoterapi ketiga dengan kemoterapi kedua (p = 0,15).
Penelitian mendapatkan pada kelompok 3 jam antara sebelum kemo dengan setelah kemo pertama terjadi penurunan gelombang amplitudo sebesar 16,8%, setelah kemo kedua dibandingkan dengan kemo pertama menurun 29,1%, dan setelah kemo ketiga menurun lagi sebesar 21,0%. Pada kelompok 24 jam didapatkan antara sebelum kemo dengan setelah kemo pertama terjadi penurunan jumlah netrofil sebesar 20,8%, setelah kemo kedua dibandingkan dengan kemo pertama menurun 12,3%, dan setelah kemo ketiga menurun lagi sebesar 9,3%. Pada uji t, secara statistik tidak didapatkan perbedaan yang bermakna dengan nilai p > 0,05 baik setelah kemo pertama, kedua, maupun ketiga.
Kombinasi golongan taxane (paclitaxel, docetaxel) dengan golongan platinum-based (cisplatin, carboplatin) adalah jenis resimen kemoterapi untuk kanker ovarium yang menjadi topik hangat untuk diteliti karena pada awalnya kombinasi obat ini digunakan sebagai kemoterapi pilihan kedua, tetapi sekarang telah menjadi pilihan utama. Perbedaan pada proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi (farmakokinetik-farmako-dinamik) bisa disebabkan oleh banyak faktor, antara lain faktor usia, faktor stadium klinis, status umum/ketahanan fisik, status gizi, besar dosis, dan durasi pemberian dari obat kemoterapi, sehingga memberikan dampak efek samping yang berbeda-beda.
Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari perbandingan efek samping neutropeni dan neuropati pemberian kemoterapi paclitaxel–carboplatin yang diberikan dalam infus selama 3 jam dengan yang diberikan dalam 24 jam pada penderita kanker ovarium yang telah dilakukan operasi surgical staging secara optimal sejak bulan Desember 2007 sampai bulan Mei 2008. Efek samping lain yang sering terjadi pada kemoterapi paclitaxel–carboplatin adalah reaksi hipersensitivitas. Sarjana Kris, tahun 1995 di AS melaporkan pada penelitian fase I dengan durasi infus 3 jam didapatkan kejadian reaksi hipersensitivitas sebesar 30–40%. Dikatakan risiko akan meningkat bila paclitaxel– carboplatin diberikan dalam waktu singkat. Dalam perjalanannya pemberian premedikasi dengan kortikosteroid sangat membantu mengurangi kejadian reaksi ini, sehingga pada penelitian selanjutnya, fase II, fase III, dan fase IV kejadian hipersensitivitas sangat jarang. Pada penelitian ini kami dapatkan 2 penderita dari kelompok 3 jam dan 1 penderita dari kelompok 24 jam yang mengalami reaksi hipersensitivitas, dimana ketiganya mengalami gajala ringan seperti urtikaria/gatal, dan tidak sampai terjadi syok. Diperlukan penatalaksanaan yang cepat dan tepat agar penderita tidak sampai jatuh pada kondisi yang buruk (syok) yaitu dengan kontrol airway, breathing, dan circulation meliputi evaluasi jalan nafas agar bebas/tidak ada sumbatan, pemberian masker oksigen, dan pemasangan infus (live saving).
Total sampel yang ikut dalam penelitian ini adalah 20 penderita dengan diagnosis kanker ovarium yang mendapat pengobatan pembedahan yang optimal (optimum surgical staging) dan dilanjutkan dengan adjuvan kemoterapi paclitaxel–carboplatin. Rata-rata usia penderita kelompok infus 3 jam (47,2 + 5,61), sama dibandingkan kelompok infus 24 jam (47,3 + 5,88). Hasil dibuktikan dengan uji t 2 sampel bebas didapatkan harga p > 0,05 yang berarti bahwa secara statistik tidak didapatkan perbedaan bermakna dalam hal usia penderita. Rata- rata luas tubuh kelompok infus 3 jam adalah sama (1,50 + 0,12) dibandingkan kelompok infus 24 jam (1,52 + 0,10). Hasil uji t 2 sampel bebas didapatkan harga p > 0,05 yang berarti bahwa secara statistik tidak didapatkan perbedaan bermakna dalam hal luas tubuh. Hasil uji Chi-square terhadap stadium kanker ovarium pada kedua kelompok didapatkan harga p = 1,00 (> 0,05) yang berarti tidak signifikan.
Kami mengamati banyak penderita kanker di ruang kandungan RSU Dr. Soetomo yang menjalani kemoterapi tiba-tiba kondisi umumnya memburuk, mengeluh panas dan lemah, dan akhirnya jatuh dalam kondisi sepsis. Setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut disimpulkan suatu febril neutropeni, suatu keadaan yang mengancam jiwa, dan memerlukan penanganan segera. Kami menganggap netrofil merupakan pertahanan tubuh pertama terhadap infeksi dimana netrofil adalah bagian terbesar dari lekosit yaitu sekitar 50–60%. Neutropeni adalah efek samping tersering dari pemberian semua jenis obat kemoterapi termasuk paclitaxel dan carboplatin.
Efek samping non-hematologi yang menimbulkan keluhan nyeri baru yang memperberat nyeri dari metastase kanker itu sendiri dan sulit untuk disembuhkan adalah neuropati perifer. Dari literatur dikatakan pemberian obat-obatan golongan neurotropik tidak banyak memberikan perbaikan terapi dan diduga pengaruh obat neurotropik yang bekerja memperbaiki enzim-enzim sel termasuk sel kanker akan menyebabkan progresivitas dari sel kanker itu sendiri (resisten). Saat ini derajat neuropati perifer berdasarkan WHO dan ECOG hanya berdasarkan keluhan subjektif saja, belum ada kesepakatan terhadap pemeriksaan objektif sebagai alat pemeriksaan baku emas (gold standard). Dari penelitian-penelitian sebelumnya dikatakan Nerve conduction study (NCS) merupakan alat pemeriksaan objektif yang cukup sering dipakai karena memiliki sensitivitas dan spesifitas yang baik untuk mengetahui gangguan awal dari keluhan neuropati perifer.
Pada karakteristik umum dari 20 sampel tampak kedua kelompok tidak didapatkan tanda dan gejala neutropeni serta neuropati perifer sebelum kemoterapi. Secara statistik tidak didapatkan perbedaan bermakna dalam hal usia penderita, luas tubuh, serta stadium klinis, dan sebelum dilakukan uji statistik untuk membandingkan infus paclitaxel–carboplatin dalam 3 jam dan infus dalam 24 jam dilakukan uji homogenitas. Dari uji Kolmogorov-Smirnov Z didapatkan semua nilai p > 0,05 yang berarti semua sampel adalah homogen, dengan demikian tidak mempengaruhi hasil perbandingan selanjutnya.
Neutropeni secara umum merupakan efek samping dari semua kemoterapi yang diperberat dengan bertambahnya usia, status gizi yang kurang/tidak seimbang, gangguan fungsi ginjal dan hepar, riwayat kemoterapi/radiasi sebelumnya, faktor infeksi, pasca operasi/luka terbuka dan oleh invasi sel kanker itu sendiri ke dalam sumsum tulang/progresivitas dari kanker, artinya kejadian neutropeni penderita kanker ovarium stadium lanjut akan lebih besar. Derajat neutropeni didasarkan pada hasil perhitungan absolute neutrophil count (ANC) di bawah 2000 sel/mm3. ANC merupakan jumlah sel darah putih dan fraksi sel polimorfonuklear (PMN) serta band form yang dinyatakan dengan rumus ANC = sel darah putih (sel/mm3) x persen (PMNs + bands) : 100.
Pada penelitian ini didapatkan kejadian neutropeni pada kelompok 24 jam adalah 50%, sedangkan pada kelompok 3 jam adalah 30%. Dari kelompok 24 jam kami dapatkan 2 penderita neutropeni derajat 1, 2 penderita neutropeni derajat 2 dengan jumlah lekosit < 4,0 x 103/μL dan jumlah netrofil kurang dari 1.500 sel/mm3 dan 1 penderita dengan derajat 3 dimana jumlah lekosit < 4,0 x 103/μL dan jumlah netrofil kurang dari 1.000 yang memerlukan terapi injeksi G-CSF. Pada kelompok 3 jam, kami dapatkan 3 penderita neutropeni derajat 1 yang tidak memerlukan terapi G-CSF. Tidak didapatkan perbedaan bermakna setelah kemo pertama, kedua, dan ketiga antara kedua kelompok dengan hasil uji statistik p > 0,05. Penurunan jumlah netrofil lebih besar pada infus 24 jam dibanding infus 3 jam. Uji t menunjukkan pada infus 24 jam, penurunan netrofil sebelum dengan setelah kemoterapi pertama didapatkan hasil yang signifikan (p < 0,0001), setelah kemoterapi kedua dengan kemoterapi pertama juga didapatkan hasil yang signifikan (p = 0,03) tetapi setelah kemoterapi ketiga dengan kemoterapi kedua didapatkan hasil yang tidak signifikan (p = 0,11). Pada infus 3 jam, penurunan netrofil sebelum dengan setelah kemoterapi pertama didapatkan hasil yang signifikan (p < 0,0001), tetapi setelah kemoterapi kedua dengan kemoterapi pertama didapatkan hasil yang tidak signifikan (p = 0,281), dan setelah kemoterapi ketiga dengan kemoterapi kedua juga didapatkan hasil yang tidak signifikan (p = 0,252). Hal ini menguatkan teori bahwa penurunan jumlah netrofil terberat/terbesar adalah setelah pemberian kemoterapi pertama karena adanya syok organ dan sel jaringan lalu akan mengalami adaptasi dengan cara meningkatkan produksi sel progenitor/stem cell setelah beberapa kali menerima kemoterapi. Kejadian neutropeni pada kelompok 3 jam terjadi pada pasien dengan stadium lanjut (III C), sedangkan pada kelompok 24 jam didapatkan kenyataan yang berbeda bahwa kejadian neutropeni juga terjadi pada pasien dengan stadium dini. Hal ini dapat disimpulkan bahwa kejadian neutropeni pada kelompok 3 jam kemungkinan besar tidak hanya dipengaruhi oleh karena faktor lamanya waktu pemberian (time dependent) dan besarnya dosis (dose dependent) tetapi juga dipengaruhi faktor ekstrinsik lainnya, misalnya jarak pemberian/interval kemoterapi selanjutnya, kadar hemoglobin, profil lipid/albumin, juga diduga dipengaruhi oleh faktor intrinsik seperti progresivitas sel kanker stadium lanjut ke dalam sumsum tulang yang dapat mempengaruhi ikatan/komunikasi antar sel dibandingkan kelompok 24 jam.18-20
Hasil penelitian ini sama dengan penelitian sarjana Kris pada penderita kanker payudara (dosis paclitaxel 190 mg/m2), Schiller dan Sarosy pada kanker ovarium stadium lanjut (paclitaxel 210 mg/m2 dan 250 mg/m2 + G-CFS) menyatakan pada penelitian infus 24 jam tidak ada perbedaan bermakna antara kejadian neutropeni dibandingkan dengan infus 3 jam. Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh sarjana Donehower dan sarjana Brown dimana didapatkan angka kejadian neutropeni lebih besar pada kelompok 1–6 jam. Sedangkan Sarjana Ohtsu14 dengan dosis infus 3 jam adalah 210 mg/m2 dan infus 24 jam adalah 135 mg/m2. Angka kejadian neutropeni infus 3 jam lebih kecil dari 24 jam (40,7% versus 66,7%). Sarjana Wiernik, dkk dengan dosis paclitaxel 250 mg/m2 dan Sarjana Ohnuma dengan 200 mg/m2 juga mendapatkan kejadian neutropeni akan meningkat sebanding dengan semakin besar dosis (dose dependent) dan semakin lamanya durasi (time dependent) pemberian infus paclitaxel–carboplatin. Sarjana Jennens dengan dosis masing-masing 175 mg/m2 mendapatkan kejadian neutropeni tidak adanya perbedaan bermakna antara infus 3 jam dan 6 jam, tetapi didapatkan peningkatan kejadian neutropeni pada infus 24 jam. Sarjana Peretz menyatakan perbedaan yang signifikan terhadap kejadian neutropeni antara infus 3 jam dengan 24 jam yaitu 30% dan 69%, pada pemberian paclitaxel 175 mg/m2 (n = 521).
Dari data penelitian (tidak ditampilkan) timbulnya neutropeni paling banyak setelah pemberian paclitaxel– carboplatin pertama dan mulai stabil pada pemberian kemoterapi yang kedua maupun ketiga. Hal ini disebabkan sudah terjadi adaptasi pada sel progenitor/stem cell. Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara infus 3 jam dengan 24 jam setelah pemberian kemoterapi pertama (20% versus 40%) Granulositopenia akut terjadi 6–12 hari sesudah pemberian kemoterapi, dengan pemulihan yang berlangsung dalam 10–14 hari. Hal ini menjadi pertimbangan kapan waktu yang tepat untuk pemberian kemoterapi seri selanjutnya yaitu ± 21 hari kemudian. Selain besarnya dosis, lamanya pemberian infus kemoterapi, dan stadium klinis, faktor-faktor lain yang mempengaruhi terjadinya neutropeni adalah faktor usia dan malnutrisi. Gambar 1 menunjukkan pemberian paclitaxel–carboplatin infus 24 jam menyebabkan terjadinya penurunan jumlah netrofil yang lebih berat dibandingkan dengan infus 3 jam. Secara teoritis, hal ini disebabkan oleh karena kejadian neutropeni meningkat pada infus 24 jam disebabkan lamanya konsentrasi obat kemoterapi dalam plasma pada steady state yang berada diatas nilai ambang fisiologis (Vss ↑ dan MRT ↑) memberikan waktu yang lebih lama untuk aliran darah membawa zat aktif obat kemoterapi dari kompartemen sentral menuju kompartemen jaringan, menembus ke dalam jaringan organ tubuh khususnya sumsum tulang mempengaruhi tahap-tahap pembelahan dan maturasi sel hematopoetik/sel hemositoblas akibat gangguan transport spindle mitosis yang menyebabkan defek maturasi dan berkurangnya jumlah netrofil.8,14,15
Pada penelitian ini didapatkan efek samping neuropati perifer pada kelompok 24 jam adalah 30%, sedangkan pada kelompok 3 jam adalah 60% dengan hasil uji statistik p > 0,05 sehingga disimpulkan tidak ada perbedaan yang bermakna. Namun, didapatkan perbedaan nyata bahwa kejadian neuropati perifer pada infus 3 jam terjadi setelah pemberian paclitaxel–carboplatin kedua (60%), sedangkan pada infus 24 jam tidak dapat perbedaan baik setelah pemberian kemo pertama, kedua, maupun ketiga (20%). Pada kelompok 3 jam, kecenderungan terjadinya neuropati tampak nyata setelah kemoterapi kedua dimana uji statistik didapatkan hasil yang bermakna (p = 0,031), sedangkan pada kelompok infus 24 jam, kecenderungan terjadinya neuropati tidak ada perbedaan bermakna bermakna antara sebelum kemo dengan setelah kemo pertama (p = 0,500), setelah kemo kedua (p = 0,500) maupun setelah kemo ketiga (p = 0,500). Hal ini diperkuat dari pemeriksaan NCS, tampak bahwa terjadi penurunan dari gelombang amplitudo lebih besar pada infus 3 jam dibandingkan dengan infus 24 jam. Uji t menunjukkan pada infus 3 jam, penurunan gelombang amplitudo tampak nyata secara signifikan baik setelah kemoterapi pertama dengan sebelum kemoterapi (p = 0,05), setelah kemoterapi kedua dengan kemoterapi pertama (p = 0,009), dan setelah kemoterapi ketiga dengan kemoterapi kedua (p = 0,007). Sedangkan pada infus 24 jam penurunan gelombang amplitudo tampak nyata secara signifikan setelah kemoterapi pertama dengan sebelum kemo (p < 0,0001), setelah kemoterapi kedua dengan kemoterapi pertama (p = 0,04), tetapi tidak terjadi setelah kemoterapi ketiga dengan kemoterapi kedua (p = 0,15).
Pada penelitian ini, kami dapatkan 1 penderita dari kelompok infus 3 jam mengalami peningkatan derajat neuropati, baik dari keluhan subjektif maupun dari pemeriksaan NCS (derajat 2–3) setelah kemoterapi seri kedua sehingga kami mengurangi dosis paclitaxel sebesar 20%. Satu penderita dari kelompok infus 3 jam setelah kemoterapi seri pertama mengalami keluhan kesemutan dan hasil NCS menunjukkan neuropati pada n. Suralis, tetapi setelah kemoterapi selanjutnya keluhan subjektif dan dari pemeriksaan NCS kembali normal (reversible). Hal ini disimpulkan bahwa penderita tersebut mengalami gangguan neuropati ringan dimana n. Suralis hanya mempunyai fungsi sebagai sensoris saja. Sebagian besar penderita baik dari kelompok 3 jam maupun 24 jam dari pemeriksaan NCS mengalami neuropati perifer pada n. Peroneus dibandingkan n. Tibialis. Dari literatur hal ini dimungkinkan karena diameter n. Peroneus lebih kecil dari n. Tibialis sehingga jumlah serabut syaraf yang menyusunnya juga lebih sedikit dan apabila jumlah serabut saraf yang terkena sama banyak antara n. Tibialis dan n. Peroneus maka dari pemeriksaan yang terlihat tidak normal dahulu adalah n. Peroneus.21
Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh sarjana Smith dalam National Surgical Adjuvant Breast and Bowel Project B-26 terhadap pasien kanker payudara, neuropati perifer grade 3–4 terjadi pada 22% pasien yang menerima infus paclitaxel 3 jam (250 mg/m2, n = 279) dan 13% pasien dengan infus paclitaxel 24 jam (250 mg/m2, n = 284). Pada percobaan randomisasi fase III paclitaxel (135 atau 175 mg/m2) pada karsinoma ovarium, tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap kejadian neuropati perifer grade 3–4 yaitu 0,7% pada 3 jam (n = 187) dan 0,6% pada 24 jam (n = 204). Sarjana Peretz pada penderita kanker payudara membandingkan paclitaxel 175 mg/m2 (n = 521) antara infus 3 jam dan 24 jam terdapat kejadian neuropati perifer adalah 78% versus 65% (tidak signifikan).
Menurut Sarjana Rowinsky dan Donehower, efek samping terjadinya neuropati perifer lebih disebabkan oleh besarnya dosis. Mereka membuktikan pada penderita kanker ovarium yang rekuren dengan memberikan dosis paclitaxel antara 135 mg/m2 hingga 250 mg/m2 pada infus 3 jam dibandingkan 24 jam tidak didapatkan perbedaan yang signifikan dan terjadinya neuropati adalah setelah beberapa seri, tetapi dengan dosis > 250 mg/m2 maka keluhan neuropati perifer akan timbul lebih awal dan tidak terpengaruh oleh lamanya infus.18
Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh Sarjana Otsu dengan dosis infus 3 jam adalah 210 mg/m2, n = 27 dan infus 24 jam adalah 135 mg/m2, n = 15. Angka kejadian neuropati perifer infus 3 jam lebih besar dari 24 jam (63% versus 6,4%). Menurut Sarjana McPhee, faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya efek samping neuropati perifer akibat kemoterapi adalah besarnya dosis, usia, status gizi, penyakit diabetes mellitus, mengkonsumsi alkohol dalam waktu yang lama, dan jarak kemoretapi dengan operasi surgical staging.21
Gambar 2 menunjukkan pemberian paclitaxel–carboplatin infus 3 jam memiliki kecenderungan terjadi neuropati perifer lebih besar yang dibuktikan dengan penurunan gelombang amplitudo n. Peroneus dibandingkan dengan infus 24 jam. Secara teoritis, kejadian neuropati perifer meningkat pada infus 3 jam disebabkan dugaan bahwa konsentrasi maksimal (Cmax) yang dicapai dalam waktu yang singkat (tmax) disertai pemberian dosis lebih tinggi sebagai penentu utama hanya terdapat pada kompartemen sentral tetapi tidak sampai masuk pada kompartemen jaringan menyebabkan distribusi (MRT) dan eliminasi akan menjadi jenuh sebanding dengan lama paparan dan dosis obat akan menghambat sel badan neuron dan sel Schwann yang mempunyai kecepatan sirkulasi pembuluh darah sangat baik dan siklus selnya berlangsung cepat, fase G2/M berlangsung 3–4 jam. Pada akhirnya hal ini menyebabkan terhambatnya proliferasi sel dan regenerasi tidak berjalan dengan baik.11
KESIMPULAN
Tidak didapatkan peningkatan yang bermakna terhadap kejadian neutropeni maupun neuropati perifer pada infus paclitaxel 24 jam dibandingkan infus 3 jam pada terapi adjuvan paclitaxel–carboplatin. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mencari efek samping yang lain dari pemberian kemoterapi paclitaxel–carboplatin dengan dosis dan durasi yang berbeda, juga efek samping neutropeni dan neuropati perifer dengan masa observasi yang lebih lama dengan pemberian kemoterapi paclitaxel–carboplatin dengan dosis dan durasi yang sama. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk pertimbangan pemberian kemoterapi paclitaxel–carboplatin pada kasus kanker ginekologi dengan biaya yang efisien dan murah.
0 Response to "PENELITIAN TENTANG KANKER"
Post a Comment