Berita Hangat Hari Ini

Akar Darwinis dari Nazisme



Segi penting lain kebangkitan pandangan dunia Nazi adalah cara mereka merangkul teori evolusi Darwin. 

Ketika mengemukakan teorinya, Charles Darwin menyatakan bahwa ada pertarungan terus-menerus demi bertahan hidup di alam ini, dan bahwa beberapa ‘ras’ lebih diunggulkan dalam pertarungan itu, sementara ras-ras lain akan terkutuk untuk kalah dan ‘tersingkir’.  Seperti dapat diduga, pemikiran-pemikiran ini segera menjadi landasan ilmiah rasisme.  James Joll, seorang profesor selama bertahun-tahun di universitas-universitas seperti Oxford, Standford dan Harvard, menggambarkan pertalian ideologis antara Darwinisme dan rasisme dalam bukunya Europe Since 1870 (Eropa Sejak 1870), yang masih dipakai sebagai buku paket universitas (kutipan 3)

Kesetiaan Hitler pada teori Darwin tampak dalam bukunya Mein Kampf (Pertarunganku), pertarungan yang dimaksudkan tentulah pertarungan demi bertahan hidup yang dikemukakan Darwin.

Kaitan ideologis Hitler, dan selanjutnya kaum Nazi, dengan Darwinisme muncul dalam bentuk nyata bersama kebijakan-kebijakan yang mereka terapkan setelah berkuasa.  Kebijakan-kebijakan rasial Nazi ini dikenal sebagai ‘eugenik’, dan mewakili teori evolusi sebagaimana diterapkan ke masyarakat. 

Eugenik berarti penyingkiran orang-orang sakit dan cacat, dan ‘perbaikan’ ras manusia dengan cara meningkatkan jumlah orang-orang yang sehat.  Menurut teori eugenik, ras manusia dapat diperbaiki melalui cara yang sama dengan cara bibit-bibit hewan unggul dibentuk, yakni dengan mengawinkan hewan-hewan yang sehat.

Teori ini diajukan oleh keponakan Charles Darwin, Francis Galton, dan puteranya Leonardo Darwin.  Orang pertama yang terpengaruh dan menyebarkan teori ini di Jerman adalah seorang ahli biologi evolusionis terkenal, Ernst Haeckel, yang juga teman karib sekaligus pendukung Darwin.  Ia menganjurkan agar bayi-bayi yang cacat segera dibunuh, dan bahwa tindakan ini akan mempercepat evolusi masyarakat.  Dia bahkan berpendapat lebih jauh, dan menyatakan bahwa penderita lepra, penderita kanker, dan penyandang cacat mental, semuanya harus dihabisi tanpa ampun; jika tidak, orang-orang seperti mereka akan menjadi beban masyarakat dan memperlambat proses evolusi.

Haeckel meninggal dunia tahun 1919, namun gagasan-gagasannya diwariskan kepada kaum Nazi.  Sesaat setelah merebut kekuasaan, Hitler memberlakukan program resmi eugenik.  Kata-kata berikut dari buku Mein Kampf merangkum kebijakan baru itu: ‘Pendidikan mental dan fisik sangat penting bagi negara, pun penyaringan masyarakat setidaknya sama pentingya.  Negara bertanggung jawab menetapkan bahwa tidak patut bagi orang-orang berpenyakit keturunan atau jelas-jelas tak sehat untuk berketurunan...  Negara tidak boleh berbelas kasihan maupun menunggu negara-negara lain mengerti selagi memenuhi tanggung jawab itu...  Mencegah orang-orang penyandang cacat fisik atau tak sehat memiliki anak selama 600 tahun...  akan menghasilkan perbaikan dalam kesehatan manusia yang sekarang ini belum tercapai.  Jika orang-orang tersehat suatu ras berkembang biak secara terencana, hasilnya adalah ...  suatu ras tanpa benih-benih cacat fisik dan mental yang sejauh ini kita bawa bersama kita.’ (4)

Sebagai akibat ideologi Hitler itu, kaum Nazi mengumpulkan orang-orang yang sakit mental, cacat, buta sejak lahir, dan mengidap penyakit keturunan, lalu mengirim mereka ke ‘pusat-pusat pemandulan (sterilisasi)’ khusus.  Berdasarkan undang-undang yang diterbitkan tahun 1933, 350 ribu orang sakit mental, 30 ribu orang gipsi dan ratusan anak-anak kulit berwarna dimandulkan dengan cara dikebiri, sinar-X, suntikan, atau sengatan listrik pada alat kelamin.  Sebagaimana dikatakan seorang perwira Nazi, ‘Nazisme itu sekedar ilmu biologi terapan’.(5)

Apa yang dianggap Nazi sebagai ‘biologi terapan’ sebenarnya teori evolusi Darwin, yang itu sendiri suatu  pelanggaran hukum-hukum dasar biologi.  Di masa kini, telah jelas dibuktikan bahwa baik konsep eugenik dan pernyataan-pernyataan kaum Darwinis lainnya, sama sekali tak berlandasan ilmiah.

Akhirnya, kita mesti amat menegaskan bahwa kelekatan kaum Nazi pada teori evolusi terkait dengan permusuhan mereka terhadap agama maupun kebijakan-kebijakan rasis mereka.  Sebagaimana telah kita ketahui, kaum Nazi memendam kebencian mendalam terhadap agama-agama Ilahiah, dan berniat menggantikannya dengan kepercayaan-kepercayaan pagan.  Orang-orang seperti mereka merasa perlu melakukan propaganda anti-agama dan pencucian otak, serta menyadari bahwa Darwinisme merupakan cara terefektif melakukan hal itu.  Buku Scientific Origin of National Socialism (Asal-Muasal Ilmiah Nazisme) membenarkan hal ini dengan kata-kata berikut, (kutipan 6)

Landasan utama yang mendasari sifat menindas dan kejam Nazi adalah ideologi-ideologi anti-agama dan Darwinis yang sama ini.

Akhlak Al Qur’an akan Melenyapkan  Anti-Semitisme
dan Semua Bentuk Rasisme
Kesimpulan yang kita peroleh sejauh ini adalah:
Anti-Semitisme adalah ideologi kaum anti-agama dan Darwinis, yang akarnya berhulu di neo-paganisme.  Karena alasan itulah, tak terbayangkan seorang Muslim mendukung atau merasa bersimpati pada ideologi itu.  Seorang anti-Semit juga musuh Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Daud, sebab mereka orang-orang yang dipilih Allah dan diutus untuk memberikan teladan bagi seluruh umat manusia.

Dengan cara serupa seperti anti-Semitisme, bentuk-bentuk lain rasisme (misalnya, kebencian kepada orang kulit berwarna) adalah juga penyimpangan-penyimpangan yang timbul dari beragam ideologi dan takhyul yang tak berkaitan dengan agama-agama Ilahiah.

Jika seseorang menelaah anti-Semitisme dan contoh-contoh rasisme lainnya, jelas tampak bagaimana semua itu membela gagasan-gagasan dan model-model masyarakat yang bertolak belakang dengan akhlak Al Qur’an.

Misalnya, rasa kebencian, kekerasan, dan kekejaman terletak di akar anti-Semitisme.  (Karena itulah para anti-Semit sebenarnya telah meniru agama-agama pagan suku-suku biadab kuno).  Seorang anti-Semit bahkan dapat melangkah lebih jauh dengan membela pembantaian dan penyiksaan bangsa Yahudi, tanpa membedakan apakah perempuan, anak-anak, atau manula.  Sebaliknya, akhlak Al Qur’an mengajarkan cinta, rasa sayang, dan welas asih.  Al Qur’an mengajarkan kaum Muslim berlaku adil dan pemaaf, bahkan terhadap musuh-musuh mereka.

Orang-orang anti-Semit dan rasis lainnya tidak rela hidup damai dengan orang-orang dari etnis atau kepercayaan berbeda.  (Misalnya, kaum Nazi, yang adalah kaum rasis Jerman, dan kaum Zionis, mitra sejajar Yahudinya, menentang gagasan tentang bangsa Jerman dan Yahudi hidup bersama, dan masing-masing berpikir hal itu akan membawa kerusakan bagi bangsa masing-masing).  Sebaliknya, Al Qur’an mendorong manusia dari beragam kepercayaan hidup bersama secara damai dan tenteram di bawah suatu bangunan sosial yang sama, seperti Al Qur’an juga tak membolehkan terjadinya pembedaan perlakuan (diskriminasi) di antara ras-ras. 

Sudut pandang yang diajarkan di dalam Al Qur’an tak membuat penilaian umum berdasarkan ras, bangsa, maupun agama.  Selalu ada warga yang baik dan buruk di setiap masyarakat.  Al Qur’an membuat pembedaan amat jelas.  Setelah merangkum bahwa sebagian kaum ahli kitab mengingkari Allah dan agamanya, Al Qur’an melanjutkan dengan menekankan bahwa hal itu suatu pengecualian dan mengatakan:

Mereka itu tidak sama; di antara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari dan mereka juga bersujud.  Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf, serta mencegah dari yang mungkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.  Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala)nya; dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa.  (QS.  Ali Imran, 3: 113-115)

Al Qur’an memang membedakan antara mereka yang tidak percaya dan mereka yang menolak mengakui Allah dan agamaNya, dan memerintahkan bahwa mereka yang tak menunjukkan permusuhan terhadap agama Allah harus diperlakukan dengan baik:
  
Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.  Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil.  Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu.  Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.  (QS.  Al-Mumtahanah, 60: 8-9).
Allah memerintahkan bahwa konsep keadilan harus diterapkan bahkan kepada musuh-musuh kaum Muslim:

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.  Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.  Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.  Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.  (QS.  Al Maidah, 5: 8)

Kesimpulan

Untuk merangkum apa yang telah kita tinjau sejauh ini:

1.  Sebagaimana telah kita ketahui, akhlak Al Qur’an menyingkirkan segala bentuk rasisme.  Karena itu, seorang Muslim yang taat kepada Al Qur’an tidak akan pernah terlibat rasisme, dan tidak memandang rendah orang lain karena ia dari ras yang berbeda.

2.  Al Qur’an memerintahkan agar agama-agama lain diperlakukan dengan sikap amat santun dan ramah, selama tidak berperilaku memusuhi kaum Muslimin dan Islam.  Karena itulah, seorang Muslim yang taat pada petunjuk Al Qur’an harus berlaku ramah dan penuh pengertian kepada pemeluk-pemeluk agama lain, khususnya kaum ahli kitab.

3.  Ideologi-ideologi rasis seperti Nazisme dan filsafat-filsafat anti-Semit adalah ajaran-ajaran sesat yang sama sekali tidak memiliki tempat dalam agama, yang akarnya berhulu ke kebudayaan-kebudayan pagan kuno.  Pastilah tidak mungkin bagi Muslim mana pun menghargai sedikit jua ajaran-ajaran semacam itu.

Pandangan kita tentang masalah-masalah Yudaisme dan genosida bergantung kepada acuan-acuan dasar ini.

Sesungguhnya, buku ini telah disiapkan dengan rujukan ketat kepada acuan-acuan itu.  Dalam bab-bab selanjutnya, akan dijelaskan bagaimana tekanan Nazi kepada kaum Yahudi dikecam tanpa pamrih.  Juga, akan dijelaskan bagaimana pandangan kaum Nazi dan kaum Zionis bahwa ‘ras yang berbeda tak boleh bercampur’ adalah sebuah kesalahan besar, dan membela konsep ‘keanekaan ras, asal etnis, dan pandangan, hidup berdampingan dengan damai.’

Keinginan kami adalah melihat seluruh gerakan anti-Semit seperti Nazisme dan ideologi-ideologi seperti Zionisme yang terlibat rasisme atas nama kaum Yahudi semuanya musnah, sebagaimana kami menginginkan terbinanya suatu tatanan dunia yang berdasarkan keadilan, tempat seluruh ras dan agama dapat hidup bersama. 


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Akar Darwinis dari Nazisme"

Post a Comment