Awal tahun 1935, sebuah kapal penumpang memulai perjalanannya dari Bremerhaven, Jerman, menuju Haifa di Palestina. Nama kapal ditulis pada lambung haluannya dalam abjad Ibrani: Tel Aviv. Namun, bendera yang berkibar di atas Tel Aviv berisi swastika Nazi. Ada kejanggalan serupa mengenai para pemilik dan anak buah kapal itu. Para pemilik Tel Aviv adalah orang Yahudi, dan Zionis. Akan tetapi, kaptennya seorang anggota Partai Pekerja Jerman Sosialis Nasional (Nazi).
Bertahun-tahun kemudian, seorang penumpang pada pelayaran itu akan menafsirkan suasana Tel Aviv sebagai suatu ‘kejanggalan yang abstrak’. Namun, persekongkolan Nazi-Zionis yang dilambangkan oleh Tel Aviv sama sekali bukan suatu kejanggalan. Sebaliknya, kapal itu cuma satu contoh sebuah kenyataan yang secara hati-hati disembunyikan oleh para penulis sejarah resmi. Perjalanan memukau Tel Aviv di bawah bendera Nazi diceritakan kembali oleh sejarawan Amerika, Max Weber, di dalam artikelnya yang berjudul Zionism and the Third Reich(Zionisme dan Reich Ketiga) (di dalam The Journal of Historical Review, Juli/Agustus 1993), tempat Weber mengutarakan aneka segi hubungan terselubung antara kaum Nazi dan Zionis.
Apakah alasan di balik persekutuan rahasia ini, yang sepintas amat sukar dipercaya? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus kembali ke masa silam.
Dari Diaspora Sampai Zionisme
Kaum Yahudi, salah satu bangsa tertua di dalam sejarah, telah tinggal di Palestina dan sekitarnya selama berabad-abad sebelum tahun 70 M . Tahun itu, tentara Romawi memadamkan pemberontakan kaum Yahudi di Palestina dan Yerusalem; mereka menghancurkan kuil Yahudi, dan mengusir sebagian besar kaum Yahudi dari Palestina.
Sejak saat itu dimulailah masa Diaspora, atau penyebaran kaum Yahudi, yang berlangsung selama berabad-abad. Kaum Yahudi tersebar ke seluruh penjuru dunia yang sudah dikenal. Sejumlah besar akhirnya menetap di Eropa, berangsur-angsur terpusat di Spanyol dan Eropa Timur. Fakta Diaspora yang patut dicatat adalah bahwa sebagian besar kaum Yahudi tak membaur ke dalam masyarakat tempat mereka tinggal.
Ada dua alasan mengapa kaum Yahudi gagal membaur. Pertama, mereka menganggap diri lebih unggul daripada kaum lain, berdasarkan atas keyakinan mereka yang berakar kuat di dalam kitab Perjanjian Lama bahwa mereka orang-orang pilihan Tuhan. Karena Yahudi itu kaum pilihan, percampuran atau pembauran dengan kaum yang lebih rendah tak bisa mereka terima, bahkan suatu kehinaan. Alasan kedua, yang hampir tak kalah pentingnya, adalah cara masyarakat-masyarakat lain memandang kaum Yahudi. Orang-orang Eropa khususnya kurang bersahabat terhadap kaum Yahudi. Selama Abad Pertengahan, kaum Nasrani memiliki rasa tak suka mendalam terhadap kaum Yahudi, yang tidak memuja Yesus Kristus dan telah menyerahkannya kepada orang-orang Romawi. Orang Katolik Eropa tak menyukai orang Yahudi, dan orang Yahudi pun tak menyukai orang Katolik Eropa.
Keadaan-keadaan masa Diaspora mendorong kaum Yahudi mengambil status sosial tersendiri. Mereka tak senang dengan tatanan yang ada; pada saat yang sama, mereka memiliki kekuasaan mengubah tatanan itu. Kekuasaan mereka terletak pada uang. Sumber uang mereka adalah pekerjaan kaum Yahudi yang terpenting selama Abad Pertengahan, sebagaimana juga di masa kini, yakni, penarik riba (rentenir), atau meminjamkan uang dengan bunga. Pihak Gereja telah melarang jemaatnya untuk meminjamkan uang dengan bunga karena itu perbuatan dosa menurut doktrin Nasrani. Meminjamkan uang dengan bunga kepada selain Yahudi tidaklah dilarang dalam agama Yahudi. Jadilah, kaum Yahudi Eropa bersejati (identik) dengan praktik penarik riba. Lewat pekerjaan ini, yang diwariskan turun-temurun, kaum Yahudi mampu menimbun kekayaan yang besar. Pada akhir Abad Pertengahan, para penarik riba Yahudi meminjamkan uang kepada para pangeran, bahkan kepada para raja, dengan suku bunga tinggi.
Kaum Yahudi menggunakan kekuatan ekonomi yang mereka peroleh untuk mengikis tatanan yang mapan di Eropa. Mereka mendukung permusuhan terhadap Gereja Katolik, yang mencapai puncaknya di masa Reformasi Protestan. Satu bukti tentang hal ini adalah hubungan bersahabat di antara orang-orang Yahudi dan beberapa pendiri aliran Protestan seperti Jan Hus, John Calvin, dan Ulrich Zwingli, serta, pada awalnya, Martin Luther. Sumber-sumber Katolik terkadang menyatakan bahwa para pemimpin Protestan itu ‘setengah Yahudi’ atau ‘Yahudi terselubung’.
Reformasi Protestan melemahkan Gereja Katolik dan memberikan peluang bagi kaum Yahudi memperoleh hak-hak dan keistimewaan-keistimewaan tertentu, khususnya di Eropa Utara. Akan tetapi, bagi kebanyakan orang Yahudi, itu belumlah cukup. Kaum Yahudi mempunyai kekuatan ekonomi, namun kurang mempunyai kekuatan politik. Kekuatan politik saat itu dibagi di antara Gereja, para raja, dan para ningrat. Di sini, patut dicatat bahwa kaum Yahudi mulai memasuki sebuah kelas sosial yang berbeda dengan Gereja, kerajaan, atau keningratan. Kelas sosial baru ini adalah kaum borjuis.
Di abad ke-18 dan 19, para bankir Yahudi menjadi kekuatan ekonomi terpenting di Eropa. Selama abad ke-19, kekuatan dinasti perbankan Rothschild secara khusus menjadi buah bibir. Keluarga Rothschild dianggap sebagai raja-raja pembiayaan tingkat tinggi Eropa.
Golongan borjuis, yang di dalamnya kaum Yahudi berperan utama, mendapatkan kekuatan politik melalui Revolusi Perancis serta reformasi-reformasi dan perubahan-perubahan yang mengikutinya. Para pemimpin Masa Pencerahan, yang meletakkan dasar-dasar Revolusi Perancis, berkeberatan dengan peran agama dalam kehidupan masyarakat dan merintis demokrasi di atas monarki. Mengeluarkan agama dari kehidupan masyarakat berarti memperlakukan orang tanpa memandang keimanan agamanya. Jadi, di masa setelah Revolusi Perancis, kaum Yahudi di seluruh Eropa mulai memperoleh hak seperti kaum Nasrani. Kebanyakan negara-negara Eropa akhirnya menghapus pembatasan-pembatasan sosial dan hukum pada kaum Yahudi. Kini, Eropa dipimpin bukan oleh tatanan agama, melainkan tatanan sekuler, dan kaum Yahudi berbagi hak yang sama dengan pemeluk Nasrani. Sekarang pun, mereka dapat menapaki jabatan pemerintahan dan memperoleh kekuatan politik. Dan itulah yang terjadi.
Orang Yahudi pertama yang memasuki Majelis Perwakilan Tinggi Inggris adalah bankir dari keluarga Rothschild. Tak lama kemudian, seorang Yahudi lain, Benjamin Disraeli, menjadi perdana menteri Inggris Raya. Sementara itu, prasangka dan kebencian masyarakat terhadap kaum Yahudi menurun di benua Eropa, sebab pengaruh Nasrani melemah. Di semua negara di Eropa Utara, khususnya Inggris, kebencian yang mengakar terhadap kaum Yahudi kini ditukar dengan kecenderungan menghargai mereka dengan simpati dan membela hak-hak mereka.
Yang terpenting dari ‘hak-hak’ itu adalah impian indah kaum Yahudi selama berabad-abad, yaitu cita-cita pulang ke Palestina. Ya, sejak pengusiran mereka pada tahun 70 M , kaum Yahudi mempertahankan ikatan batin kepada tanah itu. Selama abad-abad panjang menghuni Eropa, mereka melihat diri sendiri sebagai orang yang terasingkan, dan memimpikan suatu kepulangan, suatu hari, ke “tanah air” mereka. Selama upacara-upacara tahun baru Yahudi, harapan yang menggetarkan tentang “tahun depan di Yerusalem” selalu diungkapkan. Kaum Yahudi sangat ingin tinggal tidak di tanah-tanah biasa, melainkan di Kanaan (Palestina), Tanah yang Dijanjikan Tuhan kepada mereka, kaum pilihanNya. Sampai saat itu, kaum Yahudi meyakini bahwa kepulangan ke Palestina hanya akan mungkin dengan pertolongan seorang juru selamat yang disebut Messiah. Akan tetapi, pada pertengahan abad ke-19, dua orang rabbi (pendeta Yahudi) merumuskan penafsiran baru atas doktrin ini. Keduanya, Rabbi Judah Alkalay dan Rabbi Zevi Hirsch Kalisher, menyatakan bahwa tak usah lagi menunggu datangnya Sang Messiah. Menurut penafsiran mereka atas naskah kuno suci Yahudi, kaum Yahudi dapat pulang ke Palestina lewat kekuatan politik dan ekonomi sendiri, dengan bantuan kekuatan-kekuatan besar Eropa. Ini akan menjadi langkah awal datangnya Messiah.
Penafsiran rabbi ini mempengaruhi para nasionalis muda Yahudi yang kurang taat agama, yang jatidiri keyahudiannya berdasarkan pada kesadaran akan ras dan bangsa. Tak terbantahkan, yang paling terkenal di antara mereka adalah seorang wartawan muda Austria bernama Theodor Herzl. Dengan menjelmakan penafsiran ulang doktrin kedua rabbi menjadi suatu gerakan politik aktif, Herzl mendirikan Zionisme politik. Zionisme mengambil namanya dari Gunung Zion yang suci di Yerusalem; tujuannya adalah pulangnya kaum Yahudi sedunia ke Palestina. Herzl memimpin kongres Zionis pertama di Basel, Swiss. Di sana mereka mendirikan World Zionist Organisation (Organisasi Zionis Dunia). Kelompok ini akan mengarahkan gerakan Zionis dengan penuh kesabaran dan keteguhan hingga berdirinya negara Israel. WZO mempunyai dua tujuan utama: menjadikan Palestina tempat yang cocok bagi pemukiman kaum Yahudi, dan mendorong seluruh kaum Yahudi, mulai dengan yang di Eropa, berpindah ke Palestina.
Dalam beberapa tahun saja, kemajuan yang cukup berarti telah tercapai ke arah tujuan pertama. Dengan menerbitkan Deklarasi Balfour di tahun 1917, Pemerintah Inggris mengumumkan bahwa negerinya mendukung pendirian tanah air Yahudi di Palestina, yang direbut Inggris dari Khilafah Utsmaniyyah selama Perang Dunia I. Deklarasi Balfour adalah sebuah kemenangan besar bagi kaum Zionis. Inggris, kekuatan militer dan politik terbesar di dunia saat itu, telah sangat terbuka menyatakan mendukung mereka. Deklarasi itu menunjukkan kepada banyak orang, termasuk banyak orang Yahudi yang menganggap Zionisme sepotong mimpi belaka, betapa kuat sesungguhnya gerakan Zionis.
Tujuan kedua gerakan, yaitu pemukiman kembali kaum Yahudi dari Diaspora ke Palestina, jauh kurang berhasil. Ini menciptakan masalah besar bagi kaum Zionis. Meskipun banyak seruan dari WZO, kaum Yahudi Diaspora, khususnya yang di Eropa, yang paling bernilai bagi kaum Zionis, memutar punggung pada kepulangan terencana ke Palestina. Alasan penolakan mereka bukanlah semata-mata ketakpedulian.
0 Response to "KISAH TAK TERUNGKAP PERSEKONGKOLAN NAZI-ZIONIS "
Post a Comment