Istilah komunikasi politik lahir dari dua istilah yaitu “komunikasi“ dan “politik”. Hubungan kedua istilah itu dinilai besifat intim dan istimewa karena pada domain politik, proses komunikasi menempati fungsi yang fundamental. Bagaimanapun pendekatan komunikasi telah membantu memberikan pandangan yang mendalam dan lebih halus mengenai perilaku politik (Nasution, 1990: 9).
Banyak buku tentang komunikasi politik diawali dengan pengembaraan definisi, meskipun selalu diakui bahwa istilah komunikasi politik mencakup pemahaman yang sangat luas. Misalnya yang disebutkan oleh Denton dan Woodward, mengartikan komunikasi politik sebagai diskusi publik tentang alokasi sumber kekuasaan, kewenangan pemerintah baik eksekutif maupun legislatif, dan pemberian sanksi berupa mekanisme reward and punishment.
Tema – tema studi tentang komunikasi politik pada umumnya berkisar di seputar, bagaimana peranan komunikasi di dalam fungsi politik. Komunikasi politik mempersembahkan semua kegiatan sistem politik, baik masa kini maupun masa lampau sehingga aspirasi dan kepentingan dikonversikan menjadi berbagai kebijaksanaan. Pemikiran tersebut berangkat dari pemikiran bahwa komunikasi adalah suatu proses yang menyatu dengan gejala politik (Panuju, 1997 : 40)
Lasswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah dengan menjawab pertanyaan mendasar : Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect? (Effendy, 2001: 10). Laswell ingin menyebut komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu.
Beberapa ahli lainnya mendefinisikan komunikasi sebagai pengalihan informasi untuk memperoleh tanggapan (Aranguren), saling berbagai informasi, gagasan atau sikap (Schramm),saling berbagai unsur-unsur perilaku, atau modus kehidupan melalui perangkat-perangkat aturan (Cherry),penyesuaian pikiran, penciptaan perangkat simbol bersama di dalam pikiran para peserta (Merilland), pengalihan informasi dari satu orang atau kelompok kepada yang lain, terutama dengan menggunakan simbol (Theodorson). Dari berbagai definisi komunikasi itu Nimmo menjelaskan bahwa kita akan menemukan kesamaan pada penekanan-penekanan tertentu (dalam Nimmo, 2000: 5).
Tidak berbeda dengan pengertian komunikasi, para ahli mendefinisikan politik secara beragam. Lasswell mendefinisikan politik sebagai who gets what, when, and how. Sedangkan Easton mengartikan politik adalah pembagian nilai-nilai oleh yang berwenang. Dahl menyatakan politik sering dairtikan sebagai kekuasaan dan pemegang kekuasaan. Politik menurut Banfield adalah pengaruh. Menurut Weinstein, politik adalah tindakan yang diarahkan untuk mempertahankan atau memperluas tindakan lainnya. Bentley melihat politik juga mencakup sesuatu yang dilakukan orang, politik adalah kegiatan (Nimmo, 2000: 5).
Dan Nimmo mengartikan politik sebagai kegiatan yang secara kolektif mengatur perbuatan mereka di dalam kondisi konflik sosial. Setiap manusia, dipandang Nimmo selalu berbeda dan hal itu yang menyebabkan konflik. Mereka berselisih, memperkenalkan masalah dan menyelesaikannya, maka itulah politik. Lebih jauh, Nimmo memberikan kesimpulan pandangan Mark Roelofs bahwa “komunikasi meliputi politik”. Bila orang mengamati konflik, mereka menurunkan makna perselisihan itu melalui komunikasi (Nimmo, 2000: 8).
Salah satu definisi komunikasi politik yang cukup tegas dan gampang diungkapkan Michael Schudson ( 1997 : 311 ). Menurutnya, Komunikasi politik adalah “any transmission of message that has or is intended to have, an effect on the distribution or use of power in society or on attitude toward to use of power”. Gejala komunikasi politik, lanjut schudson, bisa dilihat dari 2 arah. Pertama, bagaimana institusi – institusi negara yang bersifat formal / suprastuktur politik menyampaikan pesan-pesan politik kepada publik. Kedua bagaimana Infrastuktur politik untuk merespons dan mengartikulasikan pesan politik terhadap suprastuktur.
Relasi komunikasi politik antara supra dan infrastruktur politik dengan gamblang bisa dipetakan ketika semua komponen yang bermuatan dengan komunikasi politik digambarkan. Realitas komunikasi politik sangat bergantung pada sistem komunikasi politik yang dalam dasaran tataran politiknya tidak selalu persis mencerminkan sistem politik itu sendiri. (Ali, 1999 : 76 – 79)
Namun demikian diantara beberapa definisi yang disebutkan, Brian Mc Nair memberikan penekanan bahwa definisi komunikasi politik mencakup retorika politik baik verbal maupun tertulis, termasuk yang saat ini berkembang adalah bahasa politik. Tidak hanya secara retorik tetapi juga paralinguistik seperti bahasa tubuh dan tindakan berpolitik semisal boikot dan protes. (Mc Nair, 1999 : 4 – 12)
Singkatnya, seluruh diskursus politik termasuk dalam komunikasi politik. Salah satu point penting dalam karya Mc Nair adalah diberikannya gambaran elemen – elemen komunikasi politik sehingga dapat lebih mudah dipahami. Elemen – elemen komunikasi politik tersebut digambarkan Brain Mc Nair adalah sebagai berikut :
Kebanyakan penelitian komunikasi tidak seimbang antara penelitian mengenai akibat yang ditimbulkan oleh komunikasi di satu sisi dan peran komunikator itu dalam mendesain isi pesan di sisi lain. Dalam studi komunikasi misalnya, penelitian lebih banyak menitikberatkan pada masalah efek atau pengaruh media terhadap khalayak daripada apa yang sebenarnya mempengaruhi isi media. Keadaan ini juga berlaku pada penelitian komunikasi politik.
Menggunakan paradigma Peter D. Moss, wacana media massa, termasuk di dalamnya berita surat kabar, merupakan bagian dari konstruksi budaya yang dihasilkan ideologi karena, sebagai produk media massa, berita surat kabar menggunakan kerangka tertentu untuk memahami realitas sosial. Lewat narasinya, surat kabar menawarkan definisi-definisi tertentu mengenai kehidupan manusia ; siapa pahlawan dan siapa penjahat ; mana yang baik dan mana yang buruk bagi rakyat ; apa yang layak dilakukan dan apa yang tidak layak digunakan ; trend mana yang pantas dan mana yang sudah usang; nilai-nilai mana yang harus diperjuangkan ; tindakan apa yang harus dilakukan ; solusi apa yang harus diambil dan ditinggalkan (Mulyana dalam Eriyanto, 2002: x).
Moss mengartikan ideologi sebagai seperangkat asumsi budaya yang menjadi “normalitas alami dan tidak pernah dipersoalkan lagi”. Pandangan ini sejalan dengan hipotesis Sapir-Whorf yang dikenal dalam linguistik bahwa bahasa itu tidak sekedar deskriptif yakni sebagai sarana untuk melukiskan sesuatu, tetapi juga dapat mempengaruhi cara kita melihat lingkungan kita (Farb dalam Rahmat, 2001: 117). Implikasinya bahasa juga dapat digunakan untuk memberikan aksen tertentu terhadap suatu peritiwa atau tindakan, misalnya dengan menekankan, mempertajam, memperlembut, mengagungkan, melecehkan, membelokkan, atau mengaburkan peristiwa atau tindakan tersebut.
Wartawan media massa cenderung memilih seperangkat asumsi tertentu yang berimplikasi bagi pemilihan judul berita, struktur berita, dan keberpihakannya kepada seseorang atau sekelompok orang, meskipun keberpihakannya itu sering tidak disadari. Melalui penggunaan bahasa sebagai simbol yang utama, para wartawan mampu menciptakan, memelihara, mengembangkan, dan bahkan meruntuhkan suatu realitas. Ketika kita menyimak suatu wacana di media, sesungguhnya kita telah digiring untuk menyepakati apa yang ditanamkan oleh media.
Shoemaker dan Reese (1996 : 125) secara ekstensif menganalisis cara melihat deviasi media. Salah satu basis deviasi media adalah kriteria seleksi berita. Mungkin pada saat redaktur harus menentukan apakah berita ini layak dimuat atau tidak, memiliki news value atau tidak, dimuat di halaman berapa, di sinilah basis utama terjadinya deviasi media. Akan tetapi Shoemaker memberikan rambu – rambu bahwa ideologi dan paradigma media bukanlah barang statis, melainkan secara kontinyu terus direnegosiasi.
Media yang ‘ditunggangi’ kepentingan – kepentingan akan menimbulkan persoalan ‘obyektivitas pengetahuan’, yaitu persoalan apakah informasi yang disampaikan di dalamnya mengandung kebenaran (truth) atau kebenaran palsu (pseudo-truth); bersifat netral atau berpihak ; meprepresentasikan fakta atau rekayasa fakta ; menggambarkan realitas atau menstimulasi realitas.
Media juga membuat pernyataan tentang politik menurut cara pandang media sendiri dalam bentuk komentar, editorial dan pertanyaan wawancara. Pernyataan ini memiliki pengaruh signifikan dalam lingkungan politik yang lebih luas. Hubungan diantara media dan proses politik bersifat dialektik, melibatkan aksi dan reaksi. Media melaporkan dan menganalisis peristiwa – peristiwa politik, tetapi media juga merupakan bagian dari proses politik itu.
Ketika Edmund Burke mendeskripsikan embrio pemikiran media adalah “kekuatan keempatan” setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif pada abad 18, Burke telah memikirkan pentingnya demokrasi yang sehat. Saat itu yang diidealkan media massa sebagai kekuatan keempat adalah media yang merepresentasikan kekuatan independen. Tidak hanya menyampaikan berita politik, tetapi juga menjaga masyarakat dari penyimpangan kekuasaan. (Mc Nair, 1999 : 48).
Berita adalah realitas yang telah dikonstruksikan, sebab apa yang dilaporkan wartawan dalam teks – teks berita sebenarnya tak lebih dari menceritakan hasil reportasenya, dan dalam hal ini ia telah melakukan apa yang disebut sebagai suatu usaha mengkonstruksikan realitas.
Karena secara sederhana, kegiatan mengkonstruksikan realitas itu sendiri diartikan sebagai “setiap upaya menceritakan sebuah peristiwam keadaam benda atau apapun. Dengan demikian, sesungguhnya yang diliput media bukan murni realitas yang kita alami sehari – hari, karena media sebenarnya tidak mampu melaporkan suatu peristiwa secara persis seperti apa yang terjadi.
Bahasa adalah unsur penting dalam konstruksi realitas. Oleh karena itu jika dicermati secara teliti maka keseluruhan isi media massa sebenarnya adalah bahas. Baik verbal (lisan atau tulisan) maupun non verbal (gambar, foto, gerak – gerik, grafik, angka, tabel, dan lain – lain). Namun dalam media massa, bahasa sebenarnya tidak lagi semata sebagai alat untuk menggambarkan realitas, tetapi juga bisa menentukan citra atau gambaran yang akan muncul di benak khalayak tentang realitas itu sendiri.
Penyebabnya karena bahasa mengandung makna. Pilihan kata serta cara penyajian realitas ikut menentukan konstruksi realitas dan sekaligus menentukan makna yang muncul darinya. Dengan demikian, media massa mempunyai peluang besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang di hasilkan lewat beritanya, yang merupakan hasil dari konstruksi media massa terhadap realitas.
Dari pendapat di atas dapat dilihat bahwa tampilan media atas suatu peristiwa sebenarnya adalah konstruksi makna yang memiliki jarak dengan realitas sebenarnya. Bentuk berita yang memaparkan fakta-fakta sekalipun bukanlah peristiwa yang sebenarnya. Di dalamnya telah dilakukan proses persepsi selektif oleh wartawan dan dewan redaktur. Inilah yang menyebabkan mengapa berita ada yang ditampilkan dalam ukuran yang besar atau kecil, di depan atau di belakang, panjang atau pendek, komentar siapa yang banyak ditampilkan, sampai bagian mana yang dianggap kurang penting sehingga bisa dihilangkan.
Lebih lanjut, menarik untuk menyimak hipotesis Sapir-Whorf (Littlejohn, 2005 : 197) yang menyatakan bahwa manusia tidak hidup di keseluruhan dunia, namun hanya di sebagiannya, bagian yang diberitahukan oleh bahasa. Bahasa menyediakan suatu jaringan jalan yang berbeda bagi setiap masyarakat. Sebagai akibatnya akan memusatkan pada realitas-realitas tertentu. Dalam konteks ini berita suratkabar merupakan suatu cara untuk menciptakan realitas yang diinginkan mengenai peristiwa atau kelompok orang yang dilaporkan. Oleh karena berita telah melewati proses seleksi dan reproduksi, berita suratkabar sebenarnya merupakan laporan yang artifisial, tetapi diklaim sebagai sesuatu yang objektif oleh surat kabar tersebut. Dengan kata lain berita surat kabar bukan sekedar menyampaikan, melainkan juga menciptakan makna.
Pembaca sering tidak menyadari bahwa isi media (media content)sangat dipengaruhi faktor-faktor ekstramedia sehingga khalayak harus diingatkan bahwa realitas media bukan merupakan cermin dari realitas yang ada, melainkan hanya merupakan alat untuk memotret sisi-sisi tertentu dari realitas yang telah dipilih produsen berita. Oleh karena itu, khalayak hendaknya cermat dalam memilah, memilih, dan memaknai setiap pesan-pesan yang ditampilkan media.
Komunikasi politik adalah komunikasi yang bercirikan politik yang terjadi di dalam sebuah sistem politik. Komunikasi politik dapat berbentuk penyampaian pesan-pesan yang berdampak politik dari penguasa politik kepada rakyat banyak ataupun penyampaian dukungan atau tuntutan oleh rakyat bagi penguasa politik.
Komunikasi politik menyalurkan aspirasi dan kepentingan politik rakyat yang menjadi input sistem politik dan pada waktu yang bersamaan komunikasi politik juga menyalurkan kebijakan yang diambil atau output dari sistem politik. Dengan demikian melalui komunikasi politik maka rakyat dapat memberikan dukungan, menyampaikan aspirasi dan melakukan pengawasan terhadap sistem politik. Melalui itu pula rakyat akan mengetahui apakah dukungan, aspirasi, dan pengawasan itu tersalurkan atau tidak sebagaimana dapat mereka simpulkan dari kebijakan politik yang diambil.
Para ilmuwan politik mengartikan komunikasi politik sebagai kegiatan politik yang merupakan penyampaian pesan-pesan yang bercirikan politik oleh aktor-aktor politik kepada pihak lain. Hakikat komunikasi politik adalah upaya untuk mewujudkan tujuan pemikiran politik yang melibatkan berbagai pihak sebagaimana mereka harapkan.
Analisis paling banyak dari isi berita politik di media adalah mempertanyakan luasnya bias politik yang terjadi, khususnya bias ideologi. Reese and Shoemaker (1996 ; 251 – 254) mendefinisikan bias sebagai “sebuah tendensi yang konsisten dari kebenaran obyektif dengan penyimpangan baik ke kanan maupun ke kiri. Pada surat kabar dan informasi hal itu mengarah pada tendensi atau berpihak ke salah satu posisi”.
Karena pentingnya berita media sebagai forum partisan, banyak studi menganggap berita cenderung mengarah kepada iklan daripada memberikan argumentasi yang rasional. Ada beberapa tipologi dari bias berita menggunakan konsep obyektivitas, yaitu apakah bias berita itu (1) bias terbuka dan (2) bias tertutup ataukah (3) bias berita yang diharapkan atau (4) bias berita yang tidak diharapkan. Demikian empat tipe dari bias berita.
Partisan mengacu pada konsep memasukkan isi seperti memasukkan kepentingan kandidat pada editorial, kolom opini, akses slot pada televisi dan radio, dan iklan. Dalam banyak kasus, isinya dapat secara terbuka atau partisan secara tidak sengaja. Problem mengukur bias media tidak ada yang referensi yang cocok apabila kita membandingkan isi media. Mengukur bias media memerlukan standard fairness yang bisa diterima, tetapi hal itu tidak mudah. Menguji deviasi politik media selalu diletakkan pada analisis media yang bersangkutan.
Lebih dari itu, isi media mempunyai pengaruh bagi terjadinya perubahan sosial. Isi media tidak hanya manifestasi budaya. Penulis buku ini memberikan gambaran bahwa isi media adalah sebuah sumber kebudayaan. Bahwa isi media adalah elemen budaya, kemudian merangkainya, membingkainya, dan mengembalikanya kepada khalayak. Artinya, ada beberapa faktor ekstra media yang masuk dan mempengaruhi tampilan media secara keseluruhan.
Hal lain yang patut dijadikan perhatian dalam menganalisis isi media adalah adanya pengaruh ideologi terhadap isi media. Littlejohn (2005 : 396) mengartikan sebuah ideologi sebagai sekumpulan pemikiran yang membentuk struktur realitas suatu kelompok. Sebuah sistem perwakilan yang mengatur bagaimana individu dan kelompok memandang dunia. Ideologi didefiniskan sebagai seperangkat sistem arti, nilai, dan kepercayaan yang dapat diabstraksikan sebagai cara pandang. Dengan kata lain, ideologi juga dapat diartikan sebagai seperangkat kerangka berpikir yang melaluinya kita dapat melihat dunia dan menjadi dasar kita mengambil tindakan.
Sebagai arena perang simbolik, setidaknya media massa dapat menjadi saluran pihak-pihak yang bertikai untuk memanipulasi opini publik. Dengan frame yang dimiliki, masing-masing pihak yang berkepentingan berusaha menonjolkan basis penafsiran, klaim atau argumentasi tertentu sebagai upaya menyerang pihak lawan dan mengklaim kebenaran pihaknya. Semua itu dilakukan sebagai cara atau strategi untuk memperoleh dukungan publik.
Dalam konteks kampanye Pemilu/Pilkada, pada dasarnya, kampanye politik adalah penciptaan, penciptaan ulang, dan pengalihan lambang siginifikan secara sinambung melalui komunikasi. Kampanye menggabungkan partisipasi aktif yang melakukan kampanye dan pemberi suara. Mereka yang melakukan kampanye baik kandidat, penasihat, konsultan maupun tim pendukung berusaha mengatur kesan pemberi suara tentang mereka dengan mengungkapkan lambang–lambang yang oleh mereka diharapkan akan mengimbau para pemilih.
Media yang digunakan oleh para pelaku kampanye, promotor dan jurnalis yang memainkan peran untuk menciptakan dan memodifikasi lambang – lambang signifikan. Para pemberi suara secara selektif memperhatikan hal – hal tertentu dalam kampanye, memperhitungkan dan menginterpretasikannya. Konsekuensinya, imbauan yang melakukan kampanye itu lebih dari sekadar kesan pada susunan saraf pemberi suara; pemberi suara melakukan lebih dari hanya membuka mata mereka, sehingga rangsangan dapat menghujani retina mereka. (Nimmo, 2000 : 83).
Terhadap peran media, Mc Nair (1999 : 12) memberikan perhatian khusus bahwa media memliki peran penting dalam proses komunikasi politik. Baik sebagai penyalur komunikasi politik dan sebagai media pengirim pesan – pesan politik yang dikonstruksi oleh jurnalis. Politisi harus menggunakan media agar pesan – pesannya tersampaikan kepada audiencesesuai yang diharapkan. Media, tentu saja, bukanlah sekadar reportase yang sederhana dalam pemberitaan yang netral dan imparsial. Banyak sekali pengaruh politik yang mengelilinginya. Meskipun sering dibantah oleh para wartawan, semakin banyak analisis komunikasi yang menunjukkan bahwa media dalam memberitakan event – event politik menjadi subyektif dan bias.
Berangkat dari itulah, komunikasi politik di media massa sebenarnya pada hakikatnya adalah arena pertarungan simbol – simbol kepentingan. Dengan kekuatan yang dimiliknya, media massa adalah sarana yang banyak diperebutkan oleh pihak – pihak yang berkepentingan. Dengan demikian, tidak mengherankan apabila ada adagium bahwa dalam konteks pemilihan umum, mereka yang berkuasa di media massa mereka itulah yang akan akan memegang tampuk kekuasaan. Fenomena seperti itu juga terjadi menjelang dan pada saat pelaksanaan pemilihan Gubernur Jawa Timur Tahun 2008.
0 Response to "Komunikasi Politik di Media"
Post a Comment