Sebagai sebuah pendekatan analisis, framing adalah versi yang relatif baru pendekatan analisis wacana. Bersama critical discourse analysis dan semiotik, analisis framing lahir karena “kejenuhan” ilmuwan, teoritisi, dan periset komunikasi akan penelitian kuantitatif yang menemui hambatan ketika peneliti bermaksud mengetahui ideologi di balik berita. Seperti pendekatan komunikasi lain yang sifatnya interdisipliner, analisis ini juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran dan teori psikologi.
Ditilik dari akar sejarahnya, analisis ini memang banyak digunakan untuk meneliti di bidang komunikasi politik. Dengan kemampuannya menyibak tabir di balik realitas yang nampak, framing kemudian banyak dikembangkan dalam sub disiplin komunikasi yang lain. Melalui framing kita dapat mengetahui hendak ke mana berita tersebut diarahkan, untuk kepentingan apa, dan bagaimana arah kecenderungan pemberitaan media dalam menyikapi sebuah isu.
Ide dasar dari analisis jenis ini adalah bagaimana sebuah teks media dipandang sebagai sistem yang ada diantara bagian-bagian penting yang terorganisir, yang menunjukkan advokasi terhadap gagasan-gagasan tertentu serta memberikan sarana untuk khalayak dalam memproses teks. Secara lebih sederhana, Eriyanto (2002: 3) menggambarkan analisis framing sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas dibingkai oleh media. Pembingkaian tersebut melalui proses konstruksi artinya realitas sosial dimaknai dan dikonstruksi menurut makna tertentu.
Frame menurut Robert M, Entman (dalam Eriyanto, 2002: 64) adalah pemilihan (selection) dan penonjolan hal yang penting (salience). Proses framing merupakan proses seleksi dari berbagai realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibanding yang lain. Entman juga menyertakan penempatan-penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada sisi yang lain.
Frame menurut Gamson dan Modigliani (dalam Sobur, 2001 ; 162 ) merupakan cara pandang sebagai kemasan yang mengandung konstruksi makna atas peristiwa yang akan diberitakan. Menurut mereka, frame adalah cara bercerita atau gugusan ide – ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peritiwa – peritiwa yang berkaitan dengan obyek suatu wacana.
Framing oleh Pan Kosicki (2001 ; 38) diartikan sebagai proses untuk memaknai secara kognitif dan memberikan artikulasi sebuah kenyataan. Framing dianggap sebagai alat yang digunakan untuk melakukan encoding, mentafsirkan, serta memunculkan informasi yang dapat dikomunikasikan dan dihubungkan dengan kebiasaan dan konvensi pekerjaan jurnalistik. Framing merupakan sebuah skema intepretasi. Oleh karena itu framing dapat dikaji sebagai suatu strategi untuk mengkonstruksi dan memproses wacana berita atau sebagai karakteristik wacana itu sendiri.
Meskipun para ahli berbeda dalam mengartikan framing, tetapi kita dapat menarik benang merah diantaranya untuk dijadikan sebagai pisau analisis. Yaitu hampir semua sepakat bahwa framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksi. Muara akhirnya adalah ada beberapa bagian yang ditonjolkan dan beberapa bagian lain yang disembunyikan. Akibatnya khalayak akan mengingat hal-hal tertentu yang ditampilkan dan mengesampingkan hal yang tidak muncul.
Agar tidak tercerabut dari konteks dan nuansa sosial budayanya, setiap studi terhadap media massa perlu mempertimbangkan konteks sosial dan sejarah yang melatarbelakanginya. Salah satu pendekatan yang bisa menjadi alternatif untuk melihat realitas lain di balik wacana media adalah analisis framing. Sebagai suatu metode analisis teks, analisis framing banyak mendapat pengaruh dari teori sosiologi dan psikologi. Dari sosiologi terutama sumbangan dari Peter Berger dan Erving Goffman, sedangkan teori psikologi terutama yang berhubungan dengan skema dan kognisi. Untuk memperkaya intepretasi kita dapat memanfaatkan teori-teori kritis dan hermeunetik, misalnya dari Juergen Habermas, Teun Van Dijk, Umberto Eco, Paul Ricoreur, Louis Althusser. Bahkan teori-teori pasca modernis dari Michael Foucalt, Pierre Bourdieau, dan Jacques Derrida (Beilharz, 2003: 127).
Dengan framing, media massa akan mengarakan audiensnya untuk memaknai realitas yang ada menurut kehendaknya. Ada hal – hal yang ingin ditonjolkan dalam rangka membangun citra dan membentuk persepsi khalayak tentang sebuah isu. Kemudian di sisi lain, ada hal yang direduksi atau bahkan tidak ditampilkan sama sekali agar khalayak hanya melihat sisi – sisi yang ditonjolkan oleh media. Ketika media menyajikan berita kepada pembacanya ada bantuan “alat” yang digunakan untuk membangun citra. Alat itu berupa data, kutipan narasumber, foto, grafik, maupun narasi yang dimunculkan sesuai kepentingan pembuatnya.
Analisis framing memiliki potensi untuk menjelaskan persoalan yang sama menjadi sangat berbeda ketika dikonstruksi dan direkonstruksi media. Dengan peristiwa yang sama persis, media massa akan mampu menimbulkan kesan yang berbeda kepada pembaca. Dalam konteks politik, apalagi selama masa kampanye, konstituen tentu akan lebih banyak memperbincangkan, memikirkan, dan sampai tingkat tertentu berpotensi untuk dijadikan landasan dalam menentukan sikap politik berdasarkan berita yang muncul dan ditonjolkan media.
Berdasarkan hal di atas, penelitian ini bermaksud memberikan gambaran bagaimana media memberitakan komunikasi politik antara pasangan calon gubernur selama masa kampanye pemilihan Gubernur Jawa Timur Tahun 2008. Artinya dalam tataran praksis, bagaimana media mencitrakan hubungan dan komunikasi politik diantara masing – masing pasangan calon gubernur
0 Response to "Melihat Framing Sebagai Sebuah Teknik Analisis"
Post a Comment