Paradigma Penelitian
Kerangka teoritis dalam penelitian kualitatif adalah dengan menggunakan metode menemukandengan menganalisis data yang diperoleh secara sistematis. Penyusunan teorinya dimulai dari dasar-dasar. Jadi teori ini memenuhi dua kriteria, yaitu cocok dengan situasi empiris, dan melakukan fungsi teori yaitu meramalkan, menerangkan, menafsirkan (Moleong, 2002 : 17).
Atas dasar itu penulis mengelaborasi kerangka teoretis dalam penelitian ini selama proses pengumpulan, pengolahan, dan analisis data. Dari semua data, baik teks media maupun hasil wawancara, penulis baru menemukan teori apa yang relevan dengan hasil penelitian yang muncul. Apabila penempatan bagian kerangka teoretis sistematikanya diletakkan sebelum bagian analisis data, hal itu semata-mata didasarkan atas kelaziman dan agar tidak terjadi pengulangan pada penyajian teoritiknya.
Memilih paradigma adalah sesuatu yang wajib dilakukan oleh peneliti agar penelitiannya dapat menempuh alur berpikir yang dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Melalui paradigma seorang peneliti akan memiliki cara pandang yang memandunya selama melakukan proses penelitian. Para ahli memang memberikan pembagian yang berbeda dalam pengelompokan paradigma ilmu pengetahuan. Namun ada kesamaan di antaranya yaitu setidaknya memuat elemen : ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Paradigma adalah pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan (dicipline). Jadi sesuatu sesuatu yang menjadi pokok persoalan dalam satu cabang ilmu menurut versi ilmuwan tertentu. Paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang mesti dijawab, bagaimana harus menjawabnya, serta aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam rangka menjawab persoalan-persoalan tersebut ( Ritzer, 2000: 8).
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Konsekuensinya penulis harus menggunakan asumsi-asumsi epistemologis, ontologis, dan aksiologis yang sejalan dengan paradigma konstruktivisme. Ontologis merujuk pada hakikat apa yang dikaji, tentang hal ada (existence), epistemologis pada cara mendapatkan pengetahuan yang benar (how you know), sedangkan aksiologis mengacu pada nilai kegunaan (what for). Bagi paradigma konstruktivisme, ketiga asumsinya sangat berbeda dengan asumsi-asumsi pada paradigma positivisme. (Lincoln and Denzin, 1994 : 118 – 137, Salim, 2006 : 88 – 91, Zen, 2004 : 97 – 100)
Asumsi ontologis pada paradigma konstruktivisme adalah besifat relatif. Tidak ada suatu realitas yang dapat dijelaskan secara tuntas oleh suatu ilmu pengetahuan. Artinya, realitas sosial dari suatu masalah yang diteliti merupakan realitas sosial buatan yang memiliki unsur relativitas yang cukup tinggi dan berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Dengan demikian dalam konteks penelitian ini, realitas adanya komunikasi politik calon gubernur pada pemilihan Gubernur Jawa Timur Tahun 2008 tidak dapat dilepaskan dalam konteks waktu dan kondisi politik yang terjadi saat itu. Di antara realitas itu saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktivis, realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial (Hidayat, 1999 : 39). Individu bukanlah manusia korban fakta sosial, namun mesin produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dan mengkonstruksi dunia sosialnya (Bungin, 2001: 8).
Asumsi epistemologis dalam pendekatan ini bersifat subjektif-dialektikal. Dalam bahasa lain, hubungan periset dan obyek yang diteliti bersifat interaktif. Artinya pemahaman atau temuan suatu realitas yang terdapat di dalam teks media merupakan hasil dari penalaran peneliti secara subjektif dan sebagai hasil kreatif peneliti dalam membentuk realitas. Peneliti juga berusaha masuk ke dalam objek penelitian melalui wawancara mendalam (in-depth interview) guna memperoleh gambaran pengetahuan secara dialektikal antara peneliti dengan praktisi pers.
Asumsi aksiologis dalam paradigma ini adalah peneliti bertindak sebagai passionate participant, yakni berperan sebagai fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas pelaku sosial. Dalam hal ini nilai, etika, moral, dan pilihan-pilihan lain dari peneliti merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Realitas sosial secara objektif memang ada, tetapi maknanya berasal dari dan oleh hubungan subjektif individu dengan dunia objektif.
Sementara dalam aspek metodologis, konstruktivisme menentang penelitian yang dilakukan di laboratorium. Penelitian harus dilakukan di alam bebas, dalam kondisi wajar, dan tidak ada unsur campur tangan dari peneliti. Sederhananya, penelitian disetting dalam konteks yang alamiah. Data yang ada dan ditemukan di lapangan akan ”memunculkan” teori, bukan dibuat sebelumnya dengan menggunakan hipotesis seperti pada penelitian kuantitatif.
Analisis framing, sebagai teknik analisis dalam penelitian ini, termasuk ke dalam paradigma konstruksionis. Maka, agar tidak tercerabut dari akar paradigmatiknya, pembahasan paradigma konstruksionis adalah hal yang wajib. Esensi pembahasan ini karena dalam paradigma konstruksionis sangat berbeda dengan paradigma positivistik, satu paradigma yang muncul terlebih dahulu.
Sering kali orang melawankan paradigma konstruksionis dengan paradigma positivis. Dengan istilah yang berbeda, para ahli membuat dikotomi antar dua paradigma ini. Namun demikian, pada dasarnya mereka ingin menunjukkan perbedaan antarkeduanya. Maka, agar lebih jelas melihatnya, penulis ingin merangkum perbedaan diantara keduanya dalam tabel 1 di bawah ini.
Perbedaan Paradigma Pemberitaan Positivis dan Konstruksionis
Positivis | Konstruksionis |
1. Ada fakta riil yang diatur oleh kaidah-kaidah tertentu yang berlaku universal | 1.Fakta merupakan konstruksi atas realitas. Kebenaran suatu fakta bersifat relatif, berlaku dalam konteks tertentu. |
2. Media sebagai saluran pesan | 2. Media sebagai agen konstruksi pesan |
3. Berita adalah cermin dan refleksi dari kenyataan. Karena itu, berita haruslah sama dan sebangun dengan fakta yang hendak diliput. | 3.Berita tidak mungkin merupakan cermin dan refleksi dari realitas. Karena berita yang terbentuk merupakan konstruksi atas realitas. |
4.Berita bersifat objektif : Menyingkirkan opini dan pandangan subjektif dari pembuat berita | 4.Berita bersifat subjektif : Opini tidak dapat dihilangkan karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif. |
5.Wartawan sebagai pelapor. | 5.Wartawan sebagai partisipan yang menjembatani keanekaragaman subjektivitas pelaku sosial |
6. Nilai, etika, opini, dan pilihan moral berada di luar proses peliputan berita | 6.Nilai, etika, atau keberpihakan wartawan tidak dapat dipisahkan dari proses peliputan dan pelaporan suatu berita. |
7. Nilai, etika, dan pilihan moral harus berada di luar proses penelitian | 7. Nilai, etika, dan pilihan moral bagian tak terpisahkan dari suatu penelitian |
8. Berita diterima sama dengan apa yang dimaksudkan oleh pembuat berita | 8.Khalayak mempunyai penafsiran sendiri yang bisa jadi berbeda dari pembuat berita. |
Tabel 1 : Perbedaan Paradigma Positivis dan Konstruksionis (Diadopsi dari Eriyanto, 2002 ; 19 - 84)
0 Response to " Kerangka Teoritis Dalam Penelitian Kualitatif"
Post a Comment