Berita Hangat Hari Ini


Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality) menjadi terkenal ketika diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Kedua pemikir ini hanya meneruskan apa yang digagas oleh Giambitissta Vico yang kemudian banyak disebut sebagai cikal bakal konstruktivisme. Kalau kita mau menelaah, gagasan konstruktivisme ada jauh sebelum Berger yaitu ketika dalam aliran filsafat Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, atau sejak Plato menemukan akal budi serta ide (Bungin, 2001 : 10).
Seperti semua gerakan, konstruksi sosial tidak sepenuhnya konsisten dan mempunyai beragam versi, Meskipun demikian, sebagaian besar mempunyai serangkaian asumsi yang sama. Robyn Penman seperti yang ditulis oleh Littlejohn (2005 : 176) merangkum asumsi-asumsi Konstruksi Realitas Sosial sebagai berikut :
  1. Tindakan komunikatif bersifat sukarela. Seperti halnya perspektif interaksionisme simbolik, kebanyakan konstruksionis sosial memandang komunikator sebagai makhluk pembuat pilihan. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa setiap orang memiliki pilihan bebas. Lingkungan sosial memang membatasi apa yang dapat dan sudah dilakukan, tetapi dalam kebanyakan situasi, ada elemen pilihan tertentu.
  2. Pengetahuan adalah sebuah produk sosial. Pengetahuan bukan sesuatu yang  ditemukan secara objektif, melainkan diturunkan dari interaksi di dalam kelompok-kelompok sosial. Selanjutnya, bahasa membentuk realitas dan makna menentukan mengenai apa yang kita ketahui.
  3. Pengetahuan bersifat kontekstual. Pengertian kita terhadap peristiwa selalu merupakan produk interaksi di tempat dan waktu tertentu serta pada lingkungan sosial tertentu. Oleh karena itu, pemahaman kita atas suatu hal akan terus berubah sesuai dengan berjalannya waktu.
  4. Teori-teori menciptakan dunia-dunia. Teori-teori dan aktivitas ilmiah serta penelitian pada umumnya bukanlah alat-alat yang objektif untuk suatu penemuan, melainkan ia lebih berperan dalam menciptakan pengetahuan. Dengan demikian, pengetahuan sosial selalu menyela dalam proses-proses yang tengah dikaji. Pengetahuan itu sendiri membawa pengaruh pada apa yang sedang diamati dan diteliti.
  5. Pengetahuan sarat dengan nilai. Apa yang kita amati dalam suatu penelitian atau apa yang kita jelaskan dalam suatu teori senantiasa dipengaruhi oleh nilai-niai yang tertanam di dalam pendekatan yang dipakai.


Berangkat dari apa yang dikemukakan pemikir komunikasi di atas, dapat dianalisis lebih dalam bahwa pemikiran konstruksionis bahwa dalam konteks media massa sebagai sumber informasi juga tidak bebas nilai. Artinya, menurut paradigma konstruksionis, berita – berita yang disajikan kepada khalayak adalah berita yang sarat dengan muatan nilai – nilai dari pengelola medianya.
Masih dalam kerangka asumsi dasar konstruksionis, dapat kita tarik dalam konteks media massa bahwa pemaknaan terhadap realitas seringkali didasarkan pada kerangka berpikir dan kerangkan pengalaman pembaca yang bersifat interaktif. Sebagai hasilnya, pengetahuan yang dimiliki oleh pengelola media massa sangat berpengaruh pada hasil karya jurnalistiknya. Interaksi satu orang pengelola media dengan sebuah realitas sosial tentu akan berbeda dengan interaksi pengelola media lain terhadap realitas itu.
Dalam analisis lebih lanjut, Penmann (dalam Zen, 2004 : 101) menguraikan empat kualitas komunikasi jika dilihat dari perspektif konstruksionis. Pertama, komunikasi itu besifat konstitutif ; artinya komunikasi itu sendiri yang menciptakan dunia kita. Kedua, komunikasi itu bersifat kontekstual ; artinya komunikasi hanya dapat dipahami dalam batas-batas waktu dan tempat tertentu. Ketiga, komunikasi itu bersifat beragam ; artinya komunikasi itu terjadi dalam bentuk-bentuk yang berbeda. Keempat, komunikasi itu bersifat tidak lengkap ; artinya komunikasi itu ada dalam proses, dan oleh karenanya selalu berubah.
Realitas tidak dibentuk secara ilmiah. Tidak juga merupakan sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia juga dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman semacam ini, realitas berwajah ganda atau plural. Setiap orang mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Dengan demikian wajar bila seseorang akan mentafsirkan realitas sesuai kerangka berpikir (frame of reference) dan kerangka pengalamannya (frame of experience).
Salah satu pendekatan bagaimana orang-orang memahami kompleks dan tindakan politik adalah pendekatan konstruksionis. Menurut Neuman, pendekatan konstruksi realitas  merupakan sebuah perspektif teori baru yang memfokuskan pada interaksi timbal balik diantara media massa dan bagaimana orang-orang apa yang terjadi di balik realitas kehidupan mereka. Kita seharusnya berpikir bahwa media sebagai sebuah situs sesungguhnya merupakan kontes simbolik yang kompleks dengan berbagai pemahaman.
Dalam perspektif ini, Peter Berger dan Thomas Luckman (1990 ; xx) kenyataan sosial lebih diterima sebagai kenyataan ganda daripada hanya suatu kenyataan tunggal. Kenyataan kehidupan sehari – hari memiliki dimensi – dimensi obyektif dan subyektif. Masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat. Apabila bila penulis menggunakan teori tersebut sebagai sebuah pisau analisis dalam melihat komunikasi politik selama pemilihan Gubernur Jawa Timur Tahun 2008, maka setiap konflik sebagai perwujudan komunikasi politik calon gubernur tidak dapat ditampilkan secara linier dalam realitas simbolik media. Hal ini karena satu media sebagai sebuah institusi juga memiliki ideologi, visi, misi, dan kebijakan redaksional sendiri yang berbeda dengan media massa lainnya.

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

0 Response to " "

Post a Comment