Berita Hangat Hari Ini

Mengapa perlu menggunakan Logika ?

Perlunya Ilmu Logika

Disadari atau tidak, akal manusia pada hakekatnya memerlukan suatu aturan dalam menganalisa berbagai masalah. Karena Ilmu Logika merupakan ilmuyang mengatur cara berpikir (analisa) manusia, maka keperluan kita kepada Ilmu Logika adalah untuk mengatur dan mengarahkan kita kepada suatu cara berpikir yang benar.

Kalau Anda bertanya: “Bagaimanakah dengan kekeliruan berpikir sebagian orang yang sudah mempelajari Ilmu Logika (Mantiq)?”
Jawaban kami:

- Dengan pertanyaan yang biasa disebut – dalam istilah bahasa Arab – dengan jawaban naqidh (kontra), yaituyang berarti jawaban dengan membalas pertanyaan, adalah:

“Bagaimanakah dengan kekeliruan berbicara pada sebagian orang yang sudah mempelajari bahasa tertentu, misalnya bahasa Inggris?”

- Dengan penjelasan adalah: “Dengan jawaban naqidh di atas dapatlah dimengerti bahwa belajar suatu ilmu tidak menjamin bahwa perbuatan sehari-hari seseorang itu terarahkan dengan ilmu yang dipelajarinya. Adakah ia mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari atau tidak. Sebab Ilmu Logika tidak mengajari orang untuk berpikir, melainkan mengajari orang untuk mengatur dengan baik pikirannya sehingga mencapai suatu hasil pemikiran yang benar, sebagaimana pelajaran bahasa Indonesia, ia tidak mengajari orang untuk berbicara tetapi mengajari orang untuk mengatur pembicaraan sehari-harinya. Kemudian ada hal lain yang sangat mungkin menjadi sebab adanya kesalahan berpikir pada sebagian atau banyak orang yang sudah mempelajari Ilmu Logika, yaitu adanya kesalahan dalam penerapan kaidah-kaidahnya.


Subyek Ilmu Logika

Yang menjadi subyek (pokok bahasan) Ilmu Logika adalah definisi dan argumen. Maka dari itu kadangkala ia membahas tentang ilmu-ilmu “Gambaran” (tashawwuri, concept). Yakni kepahaman yang belum terhukumi atau kepahaman tunggal. Tujuannya, supaya kita dapat menjabarkan dengan baik suatu kepahaman tunggal yang masih majhul. Tentunya, dengan memberikan rumus-rumus logis untuk itu. Subyek inilah yang disebut sebagai “definisi”.

Akan tetapi, kadangkala Ilmu Logika membahas ilmu-ilmu “keyakinan” (Tashdiqi, Assent). Yakni, kepahaman yang berhukum. Yang juga biasa disebut dengan statemen atau proposisi atau kalimat-berita. Tujuannya, supaya kita dapat membuktikan dengan baik atau mengetahiu kebenaran suatu proposisi atau statemen yang masih majhul. Tentu saja, dengan memberikan rumus-rumus argument yang tepat dan logis. Subyek inilah yang disebut sebagai “argument”.
Ilmu

Ada beberapa pembagian tentang ilmu. Sebelum kita memasuki pembagian ilmu yang kita perlukan dalam pembahasan ringkasan logika ini, perlu kami sajikan di sini pembagian menurut asal muasalnya:

1. Ilmu Panca indera (hissi,sense,external sense,sensory). Yaitu ilmu yang hanya kita dapati lewat panca indera.

2. Ilmu Khayal (imagination). Ilmu ini setingkat lebih tinggi dari ilmu panca indera, sebab disini dilakukan perbandingan atas apa-apa yang didapat dari ilmu panca indera. Maka yang satu – misalnya pohon kelapa – lebih tinggi dari yang lain – misalnya pohon jagung. Begitu juga batu, lebih keras dari tanah, lebih berat dari kapas (B.J-nya) dan seterusnya. Selain perbandingan, perpaduan juga dilakukan. Misalnya, perpaduan warna merah dengan baju, air, kertas, rumah, langit dan sebagainya. Perpaduan di sini kadangkala menghasilkan sesuatu yang tidak mempunyai wujud (eksistensi). Misalnya emasyang dipadu dengan gunung.

3. Ilmu Wahmi (estimative faculty). Yaitu mengetahui sesuatu yang tidak material dan tidak mempunyai ukuran. Seperti cinta kasih, marah, sedih dan lain sebagainya.

4. Ilmu Aqli (Intelectual). Yaitu ilmu yang dengannya manusia dikatakan manusia. Ilmu ini dicapai dengan kesempurnaan akal. Akal tersebut mengelola ilmu-ilmu sebelumnya, yaitu yang didapat dengan panca indera, khayal dan wahmi. Maka, ia – akal – mengambil kesimpulan-kesimpulan universal dari individu-individu yang ia bandingkan satu sama lain. Begitu juga ia – akal – mengambil hasil yang benar dari perbandingan-perbandingan yang ia lakukan, dan menolak hasil-hasil yang salah. Ilmu Logika justru diadakan demi meluruskan pekerjaan akal tersebut sehingga terlepas dari pengaruh-pengaruh panca indera, khayal dan wahmi yang salah, dan untuk mencapai kebenaran hakiki. Di samping itu ilmu akal bertugas memajukan ilmu-ilmu yang telah ia dapatkan.



Setelah kita mengetahiu asal-muasal ilmu tersebut, di sini perlu kami sajikan 3 pembagian lain terhadap ilmu, demi memperjelas subyek ilmu logika yang telah kami singgung di depan, dan demi memudahkan kita mendefinisikan ilmu dan ilmu logika.

Pembagian pertama, adalah pembagian ilmu dilihat dari hubungannya dengan keyakinanan.

Kalau kita bayangkan tentang langit, bumi, sudut, keseluruhan, manis, panas, bagian dan lain-lain, yang ada dalam akal, yang merupakan informasi atau ilmu kita, di sini kita tidak dapat mempercayai atau meyakini kebenaran atau kesalahannya. Inilah yang dimaksudkan dengan ilmu gambaran, yaitu “Ilmu (Pengetahuan)Yang Tidak Disertai Dengan Suatu Keyakinan”. Tetapi kalau kita bayangkan hal-hal seperti berikut ini: langit itu tinggi, bumi itu bulat, jumlah sudut segi empat sama dengan jumlah sudut tegak lurus, bagian lebih besar dari keseluruhan dan lainnya, di sini kita meyakini baik kesalahan atau kebenarannya. Hal ini karena pahaman tersebut mengandung hukum. Dengan demikian maka keyakinan kita itulah yang menjadikan ilmu kita sebagai ilmu keyakinan. Yaitu “keyakinan kita pada kebenaran atau kesalahan (Kebohongan)Suatu Hukum”.

Hal-hal yang berhubungan dengan ilmu gambaran adalah sebagai berikut:

1. Kata tunggal (mufrad, singular). Mencakup kata benda, kerja dan bantu. Seperti rumah, menulis dan “di” pada “di pasar”.

2. Hubungan Hukum dalam proposisi yang diragukan kebenaran atau kesalahannya. Sebab kalau kita sudah yakin maka termasuk tashdiqi. Misalnya, ketika orang meragukan proposisi “Muhammad itu Nabi”.

3. Hubungan bukan hukum. Seperti pada kalimat-kalimat perintah, larangan, pertanyaan dll.



Di sini, kalimat-kalimat tersebut – seperti, “Pergilah!”, “Jangan pergi!”, dsb – tidak bias disifati dengan salah atau benar. Maka, kita tidak bias meyakini kebenaran atau kesalahannya. Tentu, karena pada hubungan bukan hukum itu tidak mengandung hukum.

Kalau anda berkata, “Sebagian besar – atau bahkan semuanya – dari kalimat-kalimat perintah, larangan, pertanyaan, dll, dapat disifati dengan salah (bohong) atau benar. Dengan demikian kita dapat meyakini kebenaran atau kesalahannya. Misalnya, perintah orang tua kita kepada kita, “Shalatlah!”. Di sini kita dapat yakin (percaya) bahwa orang tua kita, betul-betul menginginkan kita shalat. Begitu pula kalau ada orang bertanya sesuatu, dia tidak akan keluar dari dua sifat, benar atau bohong. Kalau dia tahu tetapi bertanya, maka dia bohong, sebab kebiasaan orang bertanya adalah orang yang tidak tahu. Begitu pula dia benar atau sebaliknya.

Jawabannya adalah: Yang anda sifati dengan benar atau salah (bohong) bukanlah perintah atau larangan itu sendiri. Tetapi pengetahuan lain yang anda dapat dari kalimat-kalimat perintah atau larangan itu.

Sebenarnya ketika anda mendengar perintah atau pertanyaan itu, anda mengetahui 2 hal (ilmu). Pertama, kepahaman (ilmu) anda pada kalimat-kalimat itu sendiri. Kedua, kepahaman lain yang ketahiu di balik kalimat-kalimat itu, yaitu anda memahami bahwa pada umumnya orang yang memerintahkan suatu pekerjaan, ia menginginkan pekerjaan itu dilakukan oleh yang diperintah. Atau pada umumnya, orang yang tidak tahulah yang bertanya, bukan sebaliknya.

Kemudian, kalau penyuruh dalam menyuruh itu betul-betul, dan kalau penanya itu tidak tahu betul terhadap masalah yang ditanyakannya, anda – bahkan kita – katakan benar. Dan kalu sebaliknya, anda katakan salah (bohong).

Pembahasan kita adalah ilmu (pengetahuan) yang pertama, bukan yang kedua. Karena yang kedua, yang disifati, pada hakekatnya adalah pengetahuan anda sendiri – kalau tepat maka benar, kalau tidak maka salah (bohong). Bukan kalimat perintah atau Tanya itu sendiri.

4. gabungan tak berhukum. Seperti buku Ahmad, merah delima, yang pergi, kalau kamu pergi dan lain-lain.



Tetapi, kalau kita katakana, “Ini buku Ahmad”, maka telah menjadi hubungan hukum. Yaitu menghukumi “Ini” dengan “buku Ahmad”. Begitu juga kalau kita katakana, “Kalau kamu pergi aku juga pergi”.

Sedangkan ilmu keyakinan hanya berhubungan dengan proposisi – gabungan dari DHH, yaitu Dihukum, Hukuman dan Hubungan.

Perlu diketahui bahwa ilmu keyakinan ini dibagi menjadi dua:

1. Yakin, yaitu meyakini kebenaran atau kesalahan suatu hukum dengan tidak memungkinkan lagi kebalikannya.

2. Zhan, yaitu meyakini kebenaran atau kesalahan suatu hukum, namun masih memungkinkan kebalikannya.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Mengapa perlu menggunakan Logika ?"

Post a Comment