Berita Hangat Hari Ini

Penentu Agenda Media

Shoemaker dan Reese (1991; 1996) menyatakan, isi media massa tidak bisa dilepaskan dari pengaruh faktor internal media (level individu, rutinitas media, organisasi media) dan faktor eksternal media (ekstramedia dan ideologi). 

Artinya isi media tampak seperti yang kita konsumsi disebabkan oleh beberapa faktor tersebut. Faktor individu terkait dengan karakteristik pekerja media (pengalaman, latar belakang profesional, sikap, perilaku, keyakinan, dan lain-lain). Rutinitas media terkait dengan gate-keeping processes dan ketersediaan sumber-sumber informasi. Level organisasi media menyangkut persoalan struktur organisasi dan kebijakan di newsroom. Faktor ekstra media meliputi persoalan pengiklan, khalayak sasaran, pasar, kontrol pemerintah, dan perkembangan teknologi. Sementara level ideologi berhubungan dengan kontrol sosial dan kognisi sosial yang ada di masyarakat. 

Mengapa persoalan tugas penegakan hukum lebih menonjol dibanding tugas-tugas kepolisian yang lain? Dengan mengacu pada kondisi internal media, adanya dugaan rekayasa kasus yang menimpa Bibit-Chandra telah menyentuh aspek substil para pekerja media yang menempatkan mereka tidak hanya sekedar penyebar informasi saja namun juga pelaku kontrol sosial yang aktif. Aspek idealisme profesional para pekerja media meletup ketika ketidakadilan tampak kasat mata di depan mereka. Kesewenang-wenangan kepolisian dalam memperlakukan Bibit-Chandra sebagai pejabat negara telah melukai hati seluruh pekerja media ketika pada saat bersamaan Anggodo yang jelas-jelas berlaku lajak dengan menyuap dan berniat membunuh Chandra mendapat perlakuan istimewa dari kepolisian. Pekerja media segera merasakan adanya ketidakadilan yang telanjang di depan mata. Segera proses penseleksian sudut pandang dan bidik atas peristiwa tersebut berlangsung (gate keeping process). Semua media hampir sama dalam menggunakan sudut pandangnya. Kebijakan newsroom masing-masing media nampaknya sepakat untuk menempatkan diri pada posisi pembela hati nurani masyarakat dengan mendukung si “Cicak” yang dilemahkan oleh si “Buaya” sebagai news value strategis dan penting. 

Kondisi eksternal media pada saat itu sangat diwarnai oleh kognisi sosial yang menempatkan si “Buaya” dalam sasaran bidikan karena adanya arogansi individual dan institusional kepolisian. Bagaimana seorang Susno Duadji memberi label “Cicak” untuk KPK dan “Buaya” untuk kepolisian menggambarkan arogansi individual tersebut. Secara institusional arogansi ditunjukkan dengan adanya niatan pihak kepolisian untuk menyita rekaman KPK yang menggegerkan tersebut. Dalam kesehariannya ideologi pasar memang menjadi kiblat para pelaku media. Dalam kasus “Cicak vs Buaya” ideologi pasar koheren dengan idealisme media sebagai kontrol sosial untuk mewakili kepentingan publik. Pada akhirnya semua informasi tentang “Cicak vs Buaya” menjadi komoditas ekonomi-politik yang sangat laku di khalayak media. Namun yang tidak kalah penting dari semua itu adalah adanya situasi kebebasan yang luar biasa dirasakan oleh kalangan media pasca reformasi. Media menjadi ruang publik strategis dan penting pada saat sistem komunikasi otoritarian semasa Orde Baru beralih menjadi sistem komunikasi demokratis pada Era Reformasi sekarang ini. 



Media dan Ketergantungan Manusia Modern 

Mengapa kepolisian harus concern dengan media massa untuk melaksanakan tugas dan fungsinya? Sebagai lembaga negara yang bertugas tidak hanya untuk menegakkan hukum, tapi juga memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, seharusnya kepolisian RI bisa menampilkan diri lebih utuh dalam semua pelaksanaan tugas dan fungsinya tersebut. Kebutuhan komunikasi melalui media massa merupakan keharusan mutlak mengingat jangkauan sasaran kegiatan yang meluas di seluruh Indonesia. Hal itu disebabkan khalayak jaman kontemporer seperti sekarang ini lebih banyak mengandalkan pengalaman bermedia sebagai pendefinisi realita yang utama dibanding pengalaman personal mereka. 

Situasi semacam itu dengan tepat digambarkan oleh Ball-Rokeach dan DeFleur (McQuail dan Windahl, 1984) melalui teori dependensia mereka. Menurut kedua tokoh ini, anggota khalayak masyarakat modern sampai pada situasi ketergantungan luar biasa pada informasi dari media massa sebagai sumber pengetahuan dan orientasi mereka untuk mengetahui apa yang sedang terjadi dengan masyarakat mereka. 

Para petani yang ditembak dengan peluru karet di Sumatra Selatan mulai menggugat perlakuan polisi yang mereka rasakan tidak sesuai dengan hak asasi mereka sebagai manusia dengan melaporkannya ke Komnas HAM di Jakarta. Demikian halnya dengan Rizal, dosen sejarah UI, melaporkan secara resmi ke divisi Propam (Profesi dan Pengamanan) Polri dan Kontras serta melakukan jumpa pers dengan niatan untuk menyadarkan para korban penganiayaan akibat salah prosedur yang dilakukan polisi tanpa mengindahkan hak asasi manusia. Sekaligus juga membantu lancarnya jalannya reformasi di tubuh kepolisian RI. Apa yang dilakukan petani Sumsel dan Rizal tersebut tidak lepas dari eksposure media massa yang telah mereka terima selama ini. Perjuangan sekecil apapun apabila didukung opini publik melalui media massa akan hebat hasilnya. Dukungan koin untuk Prita adalah contoh lain bagaimana media massa menunjukkan kekuatannya. 

Epilog 

Penetrasi media massa sekarang ini sungguh luar biasa. Belum lagi informasi yang mengalir dengan cepat melalui media modern semacam internet dan hand phone. Dalam situasi sekarang, apabila kepolisian tidak bijak memperlakukan media, dikhawatirkan kasus “Cicak vs Buaya” atau “Kadal vs Komodo” akan berulang di kemudian hari. Sebuah pelajaran penting bagi segenap anggota kepolisian RI untuk lebih mengedepankan praktek kepolisian yang profesional apabila menghendaki citra institusi kepolisian kembali menjulang. 

Pada akhirnya, reformasi kultural di tubuh Polri tidak akan bisa berjalan dengan maksimal apabila tidak ada perubahan dalam praktek kepolisian yang ada. Segenap polisi yang ada hendaknya mampu bertindak sebagai agen sosial yang mampu memproduksi nilai-nilai baru dalam semua praktek kepolisian dengan lebih mengedepankan nilai-nilai sipilistik yang menekankan demokrasi dan partisipasi dibandingkan nilai-nilai militeristik yang menekankan otorikrasi dan mobilisasi. Dalam proses transformasi tersebut media bisa menjadi mitra strategis. 





Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Penentu Agenda Media "

Post a Comment