Berita Hangat Hari Ini

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOMUNIKASI DALAM WAWANCARA TATAP (DIMODIFIKASI)

Agar memudahkan penjelasannya, model tersebut di atas tidak seratus persen dicontoh sama dengan sumber aslinya. Intinya, komunikasi dua arah di antara pewawancara dengan responden, di samping dipengaruhi oleh karakteristik dan kemampuan masing-masing pihak, di pengaruhi juga oleh variable lain, yaitu situasi di mana wawancara berlangsung dan isi pertanyaan. Misalnya, kalau pewawancara kemampuan berkomunikasinya kurang baik dan juga belum mengikuti pelatihan wawancara, respondennya tidak bisa baca tulis, maka bisa terjadi situasi yang disebut dengan istilah :”communication break-down”. Apalagi jika di ruang wawancara ada bapak Camat , lalu pertanyaannya tentang kebijakan kantor kecamatan dalam mendorong partisipasi masyarakat. Hasilnya sudah bisa diduga kira-kira bagaimana. 



Kekuatan dan Kelemahan Wawancara 

Bailey ( 1978) dalam bukunya Methods of Social Research menguraikan berbagai kekuatan dan kelemahan wawancara dalam suatu penelitian. Pertama adalah kekuatannya, yang terdiri atas : 

1. Flexibility . Pewancara dapat secara luwes mengajukan pertanyaan sesuai dengan situasi yang dihadapi pada saat itu. Jika dia menginginkan informasi yang mendalam maka dapat melakukan “probing”. Demikian pula jika ingin memperoleh informasi tambahan, maka dia dapat mengajukan pertanyaan tambahan. Bahkan jika sebuah pertanyaan dianggap kurang tepat ditanyakan pada saat itu, dia bisa menundanya. 

2. Response rate . Maknanya, wawancara cenderung ditanggapi secara lebih baik dibandingkan dengan kuesioner yang diposkan. Responden yang tidak mampu menulis atau membaca tetap bisa menjawab pertanyaan, demikian pula mereka yang malas menulis. Banyak responden yang lebih menyukai mengeluarkan pandangannya secara lisan daripada tulisan. 

3. Nonverbal behavior. Pewawancara dapat mengobservasi perilaku nonverbal, Misalnya rasa suka, rasa tidak suka, atau perilaku lainnya pada saat pertanyaan diajukan dan dijawab oleh responden. 

4. Control over environment : Pewawancara dapat mengatur lingkungan di mana wawancara dilakukan, misalnya di ruangan tersendiri, atau tanpa kehadiran orang lain. Hal ini mencegah terjadinya jawaban yang diintervensi pihak lain. 

5. Question order. Pertanyaan dapat diajukan secara berurutan sehingga responden dapat memahami maksud penelitian secara lebih baik. Hal ini juga dapat menjamin pertanyaan dapat terjawab semuanya, kecuali memang respondennya tidak bersedia menjawabnya. 

6. Spontaneity. Pewawancara dapat merekam jawaban-jawaban yang spontan. Dalam hal tertentu jawaban spontan bisa lebih jujur dan informative, kurang normative. 

7. Respondent alone can answer. Jawaban tidak dibuat oleh orang lain tetapi benar oleh responden yang telah kita tetapkan. 

8. Completeness. Pewawancara dapat memperoleh jawaban atas seluruh pertanyaan yang diajukan. 

9. Time of interview. Pewawancara dapat menyusun jadwal wawancara yang relatif pasti. Kapan, di mana, sehingga data yang diperoleh tidak keluar dari rancangan penelitian. 

10. Greater complexity of questionnaire. Kuesioner umumnya berisikan pertanyaan yang mudah dijawab oleh responden. Melalui wawancara, dapat ditanyakan hal-hal yang rumit dan mendetail. 

Kelemahan : 

1. Cost. Biaya supervisi lapangan, biaya latihan pewawancara, biaya perjalanan serta pemondokan, imbalan bagi responden, dan lain sebagainya Di Amerika dan Eropa khususnya, biaya yang harus dikeluarkan untuk seorang responden bisa sampai dengan 100 dolar pada tahun 1995 (Cooper dan Emory). Artinya kalau respondennya 100 orang peneliti harus menyediakan uang sekitar 75 juta rupiah. Di Indonesia belum ada tarif yang bisa diterima umum ketika seorang peneliti mewawancarai responden 

2. Time. Waktu wawancara tidak dapat dilakukan kapan saja. Kadang responden hanya punya waktu sedikit, sehingga untuk menjawab seluruh pertanyaan diperlukan beberapa kali wawancara. Berdasarkan pengalaman, penelitian yang sampelnya banyak dan secara geografis berbeda domisilinya, bisa memakan waktu sekitar enam bulan . 

3. Interview bias. Walau telah dilakukan tatap muka, namun kesalahan bertanya dan juga kesalahan mentafsirkan jawaban, masih bisa terjadi. Sering terjadi atribut (jenis kelamin, etnik, status sosial, jabatan, usia, pakaian, penampilan fisik, dsb) responden dan juga pewawancara mempengaruhi jawaban. 

4. Inconvenience.. Karena kesibukan atau alasan lainnya, tidak sedikit responden mau diwawancarai. Namjun, karena sudah janji, responden tetap mau menjawab pertanyaan walau dalam kondisi tertekan, sakit, atau mengalami gangguan lainnya. Dan hal tersebut berpengaruh pada kualitas jawaban Berdasarkan banyak penelitian di bidang manajemen sumber daya manusia, pimpinan perusahaan lebih sering melarang peneliti mewawancari pegawainya. Kalau wawancara dilakukan di rumah juga sama. Mungkin mereka tidak punya waktu atau bisa juga karena mereka takut didatangi oleh orang asing. 

5. Less anonymity. Dibanding melalui kuesioner, melalui wawancara responden sulit menyembunyikan identitas dirinya . Artinya pewawancara bisa dipandang mempunyai potensi yang bisa mengancam dirinya, sehingga jawaban harus dilakukan secara ekstra hati-hati. Apalagi jika jawabannya direkam melalui pita perekam. 

6. Less standardized question wording. Pertanyaan sering kali kurang baku. Responden yang berbeda bisa ditanyakan dengan kalimat yang berbeda bahkan isinya berbeda pula. Fleksibilitas ternyata bisa merupakan kekuatan namun dapat pula merupakan kelemahan tenik wawancara. 



Syarat utama wawancara agar berhasil 

(1) Tersedianya informasi yang diperlukan dalam diri responden Peneliti harus mempunyai informasi lengkap tentang diri responden. Artinya apakah responden yang akan diwawancarainya mempunyai informasi yang ingin diperoleh peneliti. Ada istilah yang populer yaitu bahwa responden yang akan diwawancarai harus yang “rich information” 

(2) Responden harus benar-benar mengerti apa yang harus dilakukannya. Untuk itu maka peneliti harus dapat menjelaskan bagaimana seharusnya responden menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Peneliti boleh saja memberikan pelatihan singkat kepada responden. 

(3) Motivasi responden untuk mau bekerjasama harus tinggi. 

Motivasi responden merupakan tanggung jawab peneliti. Bagaimana cara mendorong responden mau menjawab dengan baik dan lengkap banyak ditentukan oleh pendekatan serta insentif yang diberikan oleh peneliti. 



Teknik Wawancara 

Lebih mudah membicarakan teknik wawancara dibanding dengan melaksanakannya. Kondisi lapangan yang sangat bervariasi, menyebabkan apa-apa yang seharusnya dilakukan oleh pewawancara menjadi kurang atau bahkan tidak terjadi. Pewawancara tidak sekedar harus mengerti apa yang seharusnya dilakukan, tetapi juga harus kreatif menangani persoalan yang muncul di lapangan. Tidak jarang responden memberikan respons yang tidak sesuai dengan harapan pewawancara. Tugas pewawancara tidak hanya bertanya, tetapi juga mendengarkan dengan seksama, merekam apa yang didengarnya, dan melakukan pertanyaan ulang dan mendalam jika diperlukan. Agar tugas-tugas tersebut dapat dilakukannya dengan baik, maka pewawancara harus melatih diri dan mempersiapkan proses wawancara sebaik mungkin. Di bawah ini disajikan tahapan-tahapan yang secara umum dilakukan oleh sebagian besar pewawancara pada saat mereka berupaya mencari informasi dari responden penelitiannya. 



Pelatihan 

Setiap interaksi yang berlangsung dalam situasi sosial yang berbeda mempunyai dampak psikologis yang berbeda pula. Artinya walau pewawancara sudah mempunyai pengalaman dalam mewawancarai responden, namun penyelenggaraan pelatihan buat pewawancara masih diperlukan. Sasaran yang ingin dicapai oleh pelatihan wawancara adalah memberikan bekal kepada pewawancara berbagai pengetahuan dan ketrampilan dalam melaksanakan wawancara yang sesuai dengan karakteristik penelitian. Soal waktu, tempat, dan hal-hal yang bersifat teknis proses pelatihan, sangat relatif. Yang bersifat prinsip adalah isi pelatihan itu sendiri. Beberapa butir isi pelatihan yang umumnya disarankan adalah : 



1. Penjelasan tentang tujuan dan kegunaan penelitian 

2. Penjelasan tentang karakteristik (umum) responden yang akan diwawancarai. Usia, jenis kelamin, pendidikan, budaya, kondisi ekonomi, status sosial, dan lain sebagainya 

3. Penjelasan peran apa yang harus dibawakan oleh pewawancara 

4. Penjelasan tentang konsep penelitian 

5. Penjelasan tentang butir-butir pertanyaan yang akan diajukan (maksud pertanyaan tersebut apa?) 

6. Penjelasan tentang cara pencatatan, perekaman jawaban responden 

7. Penjelasan tentang cara “probing” 

8. Penjelasan tentang cara pengisian dan arti semua tanda yang ada dalam daftar pertanyaan 

9. Prosedur wawancara, mulai dari memperkenalkan diri sampai dengan menutup wawancara. 

10. Antisipasi menghadapi masalah yang tidak diinginkan 

11. Latihan praktek wawancara di dalam kelas dan di lapangan (cari yang telah dikenal responden) 

12. Diskusi tentang hasil latihan praktek wawancara. 

Di samping isi pelatihan, kualifikasi pewawancara juga harus diperhatikan. Pada saat seleksi calon pewawancara hendaknya dipilih mereka yang memiliki “good communication skills dan tingkat toleransi akan perubahan waktu, dan juga penuh kesabaran. 



Meningkatkan penerimaan responden 

Sasaran awal yang harus bisa dicapai oleh pewawancara adalah terbangunnya hubungan yang akrab dengan responden. Menurut Cooper dan Emory (1995) ada tiga hal yang bisa meningkatkan penerimaan responden dalam wawancara 

1. Upayakan agar responden percaya bahwa pengalaman yang segera akan terjadi, menyenangkan dan memuaskan dirinya. Umumnya responden mau dengan terbuka menyatakan pendapatnya dan juga bekerjasama jika pewawancara menunjukan perilaku yang bisa dipercaya. Misalnya,jika proses wawancara akan direkam melalui “tape recorder” sebaiknya minta persetujuan responden. Atau jika responden minta identitasnya tidak disebutkan dalam laporan, pewawancara harus bisa memberikan jaminan. 

2. Upayakan responden merasa bahwa wawancara yang berlangsung dengan dirinya memang sangat berguna. Untuk itu pewawancara harus bisa menjelaskan dengan baik maksud dan kegunaan penelitian itu, tidak hanya bagi diri peneliti, tetapi juga bagi pihak-pihak lain termasuk mungkin si responden tersebut. 

3. Upayakan agar responden memiliki rasa aman dan nyaman. Responden seringkali curiga terhadap pewawancara. Sehingga dalam menjawab pertanyaan, mereka ekstra hati-hati. Pewawancara harus bisa memberi jaminan bahwa jawaban responden tidak membuat dirinya menjadi terancam, atau hal lain yang sejenis. 



Mengajukan pertanyaan 

Ajukan pertanyaan sesuai dengan pedoman wawancara (interview schedules), jika ingin memperoleh jawaban yang lebih mendalam, lakukan “probing”. Walau sudah ada pedoman wawancara, jika terpaksa pewawancara dapat menambah pertanyaan lain yang dianggap penting. Jika ada pertanyaan yang seharusnya ditanyakan, tetapi sudah terjawab (dalam jawaban atas pertanyaan lain atau berdasarkan pengamatan), maka lewatkan saja. Upayakan suasana wawancara tidak seperti interogasi. Komunikasi dua arah sebaiknya diciptakan. Kadang jawaban responden tidak sesuai dengan apa yang ditanyakan. Sebelum “ke mana-mana”, seharusnya pewawancara memperjelas pertanyaan tadi dengan kata-kata/bahasa/susunan kalimat yang lain yang diperkirakan lebih bisa dipahami. Jika responden tidak mau menjawab satu pertanyaan tertentu, sebaiknya tidak dipaksa. Alihkan dahulu ke pertanyaan lain dan pada akhir wawancara boleh dicoba dengan cara lain mengajukan pertanyaan yang belum dijawabnya. 



Merekam jawaban responden 

Perlu diingat benar oleh pewawancara bahwa wawancara dengan seorang responden hanya dilakukan satu kali. Artinya pewawancara harus benar-benar bisa merekam jawaban responden dengan baik (benar dan lengkap). Paling ideal, seorang pewawancara dibantu oleh orang lain yang tugasnya adalah merekam jawaban responden. Jika tidak mungkin upayakan jawaban responden direkam melalui alat perekam elektronik (tape recorder). Apabila kedua hal tersebut tidak mungkin dilakukan maka pewawancara harus mampu merekam sendiri jawaban responden. 

Umumnya, biarkan responden menjawab pertanyaan, dan pewawancara segera mencatat semua yang dikatakannya. Apabila ada kata atau kalimat yang kurang jelas maka pewawancara dapat meminta responden menjelaskan ulang kata atau kalimat tadi. Agar jawaban yang direkam relatif lengkap upayakan pewawancara memiliki singkatan-singkatan, atau tanda-tanda baca lainnya yang tertentu yang dimengertinya. Untuk meyakinkan apakah yang dicatat benar atau sesuai dengan apa yang dimaksud oleh responden, tidak ada salahnya intisari jawaban responden dikatakan ulang oleh pewawancara. 



Mengakhiri wawancara 

Walau pewawancara sadar bahwa wawancara hanya dilakukan satu kali, namun untuk menjaga kemungkinan negatif, sebaiknya diakhir wawancara, pewawancara harus memberi kesan bahwa dia masih ingin melakukan pembicaraan lagi. Dengan demikian, agar pewawancara dapat diterima kembali maka akhir dari suatu wawancara haruslah baik pula. 



Wawancara melalui telepon 

Jika jumlah pertanyaan tidak banyak dan hanya memerlukan jawaban pendek, wawancara melalui telepon dapat dilakukan. Data yang diambil dengan cara ini memang lebih cepat diperoleh. Dalam satu hari, jika pewawancara sudah memperoleh seluruh nomor telepon responden maka paling tidak 50 responden dapat dihubungi. Kelemahan utama cara ini adalah keengganan responden untuk menjawab karena dia belum mengenal / melihat diri pewawancara, karena berdasarkan satu penelitian ternyata “response rate”nya lebih rendah ketimbang “face-to-face interview” (Cooper, 1995) 





Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOMUNIKASI DALAM WAWANCARA TATAP (DIMODIFIKASI) "

Post a Comment