Berita Hangat Hari Ini

SIFAT KIMIAWI DAN FISIK DDT

Senyawa yang terdiri atas bentuk-bentuk isomer dari 1,1,1-trichloro-2,2-bis-(p-chlorophenyl) ethane yang secara awam disebut juga Dichloro Diphenyl Trichloroethane (DDT) diproduksi dengan menyam­purkan chloralhydrate (CCl3CHO) dengan chlorobenzene (C6H5Cl), yang dikatalisasi oleh asam belerang (WHO, 1979; Tarumingkeng, 2007). Nama dagang DDT yang pernah ada di pasaran antara lain Anofex, Cezarex, Chlorophenothane, Clofenotane, Dicophane, Dinocide, Gesarol, Guesapon, Guesarol, Gyron, Ixodex, Neocid, Neocidol, dan Zerdane (WHO, 1979). 

Dichloro Diphenyl Trichloroethane terdiri atas campuran tiga bentuk isomer DDT (65-80% p,p'-DDT, 15-21% o,p'-DDT, dan 0-4% o,o'-DDT), dan dalam jumlah yang kecil sebagai kontaminan juga terkandung DDE [1,1-dichloro-2,2- bis(p-chlorophenyl) ethylene] dan DDD [1,1-dichloro-2,2-bis(p-chlorophenyl) ethane]. Dichloro Diphenyl Trichloroethane ini berupa tepung kristal putih, tak berasa dan tak berbau. Daya larutnya sangat tinggi dalam lemak dan sebagian besar pelarut organik, tak larut dalam air, tahan terhadap asam keras dan tahan oksidasi terhadap asam permanganat. 

Menurut Tarumingkeng (2007), dua sifat buruk yang menyebabkan DDT sangat berbahaya terhadap lingkungan hidup adalah: 

1. Sifat apolar DDT: ia tak larut dalam air, tetapi sangat larut dalam lemak. Makin larut suatu insektisida dalam lemak (semakin lipofilik) semakin tinggi sifat apolarnya. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab DDT sangat mudah menembus kulit. 

2. Sifat DDT yang sangat stabil dan persisten. Ia sukar terurai sehingga cenderung bertahan dalam lingkungan hidup, masuk rantai makanan (foodchain) melalui bahan lemak jaringan mahluk hidup. Itu sebabnya DDT bersifat bioakumulatif dan biomagnifikatif. 

Karena sifatnya yang stabil dan persisten, DDT bertahan sangat lama di dalam tanah, bahkan DDT dapat terikat dengan bahan organik dalam partikel tanah. 





CARA KERJA DDT 

Toksisitas DDT adalah sedang, dengan LD50 oral (tikus) 113 mg/kg (WHO, 2005). Insektisida ini bekerja melalui kontak kulit terhadap berbagai jenis serangga (Soedarto, 2008). Dichloro Diphenyl Trichloroethane mempengaruhi keseimbangan ion-ion K dan Na dalam neuron (sel saraf) dan merusak selubung saraf sehingga fungsi saraf terganggu (Tarumingkeng, 2001). Serangga dengan mutasi tertentu pada gen kanal sodiumnya resisten terhadap DDT dan insektisida sejenis lainnya (Denholm et al., 2002). 

PROSES TERJADINYA RESISTENSI DAN MEKANISME RESISTENSI 

Serangga dikatakan telah resisten terhadap suatu insektisida jika dengan dosis yang biasa digunakan, serangga tersebut tidak dapat dibunuh (Soedarto, 2008). Resistensi yang kadangkala diindikasikan oleh menurunnya efektivitas suatu teknologi pengendalian tidak terjadi dalam waktu singkat (Untung, 2004). Lamanya proses resistensi pada serangga terhadap insektisida sangat bervariasi, dari hanya satu sampai dua tahun, hingga puluhan tahun. Sebagai contoh, senyawa arsenik yang digunakan untuk mengendalikan kumbang kolorado pada kentang di Long Island (Amerika Serikat) sejak tahun 1880, baru menampakkan gejala resistensi pada tahun 1940-an, tetapi fenvalerat telah menyebabkan resistensi hanya dalam waktu tiga tahun, bahkan karbofuran tidak lagi efektif setelah dua tahun digunakan (Djojosumarto, 2006). Resistensi insektisida berkembang setelah adanya proses seleksi yang berlangsung selama banyak generasi. Resistensi merupakan suatu fenomena evolusi yang diakibatkan oleh seleksi pada serangga yang diberi perlakuan insektisida secara terus menerus. 

Di alam frekuensi alel individu rentan lebih besar dibandingkan frekuensi alel individu resisten, dan frekuensi alel homosigot resisten (RR) berkisar antara 10-2 sampai 10-13. Karena adanya seleksi yang terus menerus jumlah individu yang peka dalam suatu populasi semakin sedikit. Individu resisten kawin satu dengan lainnya, sehingga menghasilkan keturunan yang resisten pula. Populasi yang tetap hidup pada aplikasi insektisida permulaan akan menambah proporsi individu yang tahan terhadap senyawa dan meneruskan sifat ini pada keturunan mereka (Untung, 2004). 

Beberapa serangga telah resisten terhadap DDT. Setelah DDT ditemukan, serangga yang tidak memiliki resistensi bawaan dan terkena zat kimia ini akan punah dari populasinya. Sejalan dengan waktu, serangga resisten yang sebelumnya sedikit menjadi bertambah banyak. Akhirnya, seluruh spesies tersebut menjadi populasi dengan anggota-anggota yang resisten terhadap DDT. Ketika ini terjadi DDT menjadi tidak efektif lagi terhadap spesies serangga tersebut (Yahya, 2004). 

Pengguna insektisida sering menganggap bahwa serangga yang tetap hidup belum menerima dosis letal, sehingga mereka meningkatkan dosis dan frekuensi aplikasi. Tindakan ini yang mengakibatkan semakin menghilangnya proporsi serangga yang peka dan meningkatkan proporsi serangga yang tahan dan tetap hidup. Dari generasi ke generasi proporsi individu resisten dalam suatu populasi akan semakin meningkat dan akhirnya populasi tersebut akan didominasi oleh individu yang resisten. Resistensi tidak akan menjadi masalah sampai suatu populasi didominasi oleh individu-individu yang resisten, sehingga pengendalian serangga menjadi tidak efektif lagi. 

Salah satu faktor yang mempengaruhi laju perkembangan resistensi adalah tingkat tekanan seleksi yang diterima oleh suatu populasi serangga. Pada kondisi yang sama, suatu populasi yang menerima tekanan yang lebih keras akan berkembang menjadi populasi yang resisten dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan populasi yang menerima tekanan seleksi yang lemah. 

Menurut Untung (2004), mekanisme resistensi suatu serangga terhadap insektisida dapat dibagi menjadi 3 yaitu: 

1. Peningkatan detoksifikasi insektisida oleh karena bekerjanya ensim-ensim tertentu. 

Dichloro Diphenyl Trichloroethane didetoksifikasi menjadi DDE, DDA, atau kelthane oleh karena bekerjanya ensim dehidroklorinase (Beament & Treherne, 2003). 

2. Penurunan kepekaan tempat sasaran insektisida pada tubuh serangga. 

Diperkirakan bahwa kepekaan terhadap DDT di tempat sasaran dapat berubah oleh karena perubahan suhu. Pada penelitian menggunakan neuron sensori pada kaki lipas menunjukkan bahwa DDT lebih efektif merangsang sel sensori pada suhu rendah (160C) dari pada suhu tinggi (300C) (Beament & Treherne, 2003). 

3. Penurunan laju penetrasi insektisida melalui kulit atau integumen. 

Dalam bentuk suspensi, DDT bekerja lebih kuat terhadap larva nyamuk pada suhu rendah dari pada suhu tinggi. Namun, jika diinjeksikan pada larva, DDT bekerja lebih kuat pada suhu tinggi dari pada suhu rendah. Berdasarkan pengamatan tersebut, disimpulkan bahwa DDT diabsorbsi lebih banyak pada suhu rendah dari pada suhu tinggi (Beament & Treherne, 2003). 

Selain faktor-faktor tersebut di atas, faktor lain yang dapat mempengaruhi terjadinya resistensi serangga terhadap insektisida adalah stadium serangga, generation time serangga dan kompleks genetik (genetic complex) serangga. Insektisida yang bekerja terhadap semua stadium serangga, artinya dapat membunuh stadium telur, larva, pupa, maupun dewasa, akan lebih cepat terjadi resistensi terhadapnya dibandingkan dengan insektisida yang hanya bekerja terhadap satu stadium dari serangga. Serangga-serangga yang mempunyai siklus hidup pendek sehingga dalam setahun terdapat banyak generasi, akan lebih cepat menjadi resisten terhadap insektisida dibandingkan dengan serangga-serangga yang hanya mempunyai satu generasi dalam setahun (siklus hidupnya panjang). Dalam hal kompleksitas dari gen, semakin banyak gen yang mengatur kemampuan resistensi serangga terhadap insektisida, semakin lambat terjadi resistensi. Jika jumlah gen pengatur resistensi sedikit, serangga cepat resisten terhadap insektisida (Soedarto, 2008). 

PEMBAGIAN RESISTENSI 

Menurut Soedarto (2008), resistensi dibagi menjadi resistensi bawaan (natural resistancy) dan resistensi yang didapat (acquired resistancy). 

1. Resistensi bawaan 

Serangga yang secara alami sensitif terhadap suatu insektisida akan menghasilkan secara alami keturunan yang juga sensitif terhadap insektisida tersebut. Sedangkan serangga yang secara alami sudah resisten terhadap suatu insektisida, keturunannya juga akan resisten terhadap insektisida bersangkutan. Selain itu, serangga yang sensitif terhadap suatu insektisida jika mengalami mutasi (yang terjadi satu kali setiap beberapa ratus atau ribu tahun) dapat berkembang menjadi serangga yang resisten terhadap insektisida tersebut. 

2. Resistensi didapat 

Akibat pemberian dosis insektisida yang di bawah dosis lethal dalam waktu yang lama, serangga target yang sebelumnya sensitif dapat menyesuaikan diri berkembang menjadi resisten terhadap insektisida tersebut. 

Berdasar atas jenis insektisida yang tidak lagi peka terhadap serangga, resistensi dibedakan menjadi resistensi silang (cross resistance) dan resistensi ganda (double resistance) (Hoedojo & Zulhasril, 2000; Soedarto, 2008). 

3. Cross resistance 

Resistensi serangga yang terjadi terhadap dua insektisida yang satu golongan atau satu seri, misalnya resisten terhadap malathion dan diazinon (satu golongan) atau kebal terhadap DDT dan metoksiklor (satu seri). 

4. Double resistance 

Resistensi serangga yang terjadi terhadap dua insektisida yang berbeda golongannya atau serinya, misalnya resisten terhadap malathion dan DDT (beda golongan) atau DDT dan dieldrin (beda seri). 

Jika satu jenis serangga telah resisten terhadap suatu insektisida, maka dosis insektisida harus dinaikkan. Jika dosis insektisida terus-menerus dinaikkan, maka pada dosis tertentu akan dapat membahayakan kesehatan manusia dan hewan serta berdampak buruk pada lingkungan hidup. Karena itu, insektisida harus diganti dengan jenis atau golongan lain atau diciptakan insektisida baru untuk memberantas serangga tersebut (Soedarto, 2008). Saat ini laju penemuan insektisida baru sangat lambat, hal ini dapat disebabkan antara lain: 1) peningkatan biaya penelitian untuk menemukan insektisida baru yang memenuhi syarat, 2) peningkatan biaya dan persyaratan registrasi insektisida yang semakin ketat, 3) peningkatan biaya produksi, serta 4) semakin ketatnya kompetisi antar produsen insektisida (Untung, 2004). 



KESIMPULAN DAN SARAN 

Saat ini terjadi resistensi beberapa serangga terhadap DDT yang disebabkan oleh ”ulah” pengguna DDT yang tidak mengerti akan mekanisme terbentuknya populasi serangga yang resisten. Penggunaan insektisida untuk pengendalian atau pemberantasan serangga, sebaiknya tidak terus menerus menggunakan satu jenis atau satu golongan insektisida tertentu saja, tetapi diselingi dengan penggunaan insektisida dari jenis atau golongan lainnya, sehingga menghambat atau memperlambat terjadinya resistensi serangga terhadap insektisida tertentu..

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SIFAT KIMIAWI DAN FISIK DDT "

Post a Comment