Dalam analisis kebijakan perlindungan sosial, yang perlu mendapat perhatian lebih serius adalah orang-orang yang memiliki tingkat kerentanan tinggi menjadi miskin karena berbagai sebab. Karena kemiskinan disini diartikan sebagai miskin ekonomis yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar, maka tingkat kerentanan juga diukur dari kemampuan ekonomis seseorang.
Badan Pusat Statistik (BPS) membagi kategori kemiskinan menjadi: (a) sangat miskin (chronic poor, apabila kemampuan suatu keluarga memenuhi konsumsinya setara Rp 120.000,- per orang per bulan), (b) miskin (poor, apabila kemampuan suatu keluarga memenuhi konsumsinya setara Rp 150.000 per orang per bulan), dan (c) mendekati miskin (near poor, apabila kemampuan suatu keluarga memenuhi konsumsinya Rp 175.000 per orang per bulan). Dalam kaitan kategori itu maka secara teknis dapat dikatakan bahwa penduduk yang dalam kategori near poor atau di atasnya sedikit, meskipun dia saat ini tidak miskin (tidak berada di bawah garis kemiskinan) sangat rentan menjadi miskin apabila terjadi guncangan keuangan (financial shock) seberapapun kecilnya. Pengkategorian teknis seperti itu, sekali lagi didasarkan pada pertimbangan bahwa orang yang memiliki tingkat kemampuan ekonomis lebih rendah, cateris paribus, memiliki kerentanan yang lebih tinggi menjadi miskin dibandingkan dengan orang yang memiliki kemampuan ekonomis lebih tinggi.
Pengukuran yang ideal tentang kerentanan seseorang adalah yang memperhitungkan tidak saja kemampuan ekonomisnya (misalnya dilihat dari besarnya penghasilan/pengeluaran, tabungan dan aset) tetapi juga yang memperhitungkan risiko yang dihadapinya. Orang yang memiliki kemampuan ekonomis tinggi tetapi memiliki risiko yang tinggi juga, maka orang tersebut lebih rentan dibandingkan dengan orang yang memiliki kemampuan ekonomis di bawahnya tetapi faktor risikonya sangat kecil.
Secara teoritis, pengukuran kerentanan seperti itu dapat dilakukan melalui model statistik (regresi logistik ataupun probit). Yang lebih menjadi masalah bukan pada bagaimana mengukurnya, tetapi lebih pada perumusan indikator dan ketersediaan datanya.
Salah satu studi yang telah melakukan analisis kerentanan (vulnerability) untuk konteks data Indonesia adalah studi yang telah dilakukan oleh Sudarno dkk.[1]Dengan menggunakan analisis kerentanan tersebut, Sudarno mengelompokkan penduduk menjadi penduduk miskin kronis, penduduk miskin transien, dan penduduk rentan.
| | Current Consumption | | | |
| | C < ĉ | C ≥ ĉ | | |
Vulnerability to Poverty | V ≥ 0.5 | A | D | E (c) < ĉ | Expected Consumption |
B | E | E (c} ≥ ĉ | |||
V < 0.5 | C | F |
Keterangan:
C = current consumption
E [c] = expected consumption
Ĉ = poverty line
V = vulnerability to poverty
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa penduduk miskin adalah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (ĉ) yang tingkat konsumsinya saat ini lebih rendah dari garis kemiskinan. Penduduk miskin tersebut dapat dikelompokkan lagi menjadi dua kelompok, yaitu:
(a) Miskin kronis, yaitu penduduk yang memiliki tingkat konsumsi saat ini dan konsumsi ke depan (expected consumption) tetap yaitu di bawah garis kemikinan;
(b) Miskin transien, yaitu penduduk yang meskin yang memiliki tingkat konsumsi saat ini dibawah garis kemiskinan tetapi memiliki probabilitas menjadi tidak miskin di masa yang akan datang karena memiliki potensi penghasilan dari usahanya.
Sementara itu, penduduk tidak miskin (non poor) yaitu penduduk yang berada di atas garis kemiskinan menurut tingkat konsumsi saat ini. Penduduk tidak miskin dapat dikelompokkan lagi menjadi:
(a) Penduduk rentan (low vulnerability); dan
(b) Penduduk sangat rentan (high vulnerability).
0 Response to "Pengukuran Penduduk Rentan "
Post a Comment