Dari pengamatan sepintas saja tampak bahwa jika dibandingkan dengan makhluk lainnya, manusia menujukkan karakteristik yang sangat unik: berbeda dalam berbagai dimensi, aspek, struktur, hal, sifat, dan aktivitasnya. Namun, di balik itu, pada saat yang sama, manusia juga dalam berbagai tataran eksistensinya tampak memiliki keserupaan-keserupaan dengan ciptaan lainnya dalam alam semesta. Mungkin berdasarkan kenyataan ini, dan juga kenyataan-kenyataan tersembunyi lainnya, sehingga kebanyakan—kalau bukan keseluruhan—kosmolog Muslim menyebut manusia sebagai mikrokosmos untuk membedakannya dengan makrokosmos, kendatipun pada umumnya orang memahami bahwa ia merupakan bagian alam semesta, atau yang “selain-Nya.” Ibnu ‘Arabi, misalnya menyimpulkan bahwa manusia adalah makhluk serba mencakup (al-kawn al-ja>mi‘), untuk merujuk kepada manusia sempurna (al-insa>n al-ka>mil), yakni mencakup al-haqqiyah dan al-khalqiyyah.[1]
Keunikan manusia dari makhluk lain di alam semesta diungkapkan dalam al-Qur’an, misalnya dalam ayat-ayat:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ, ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ (التين: 4-5)
(Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya).
قَالَ يَاإِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ (ص: 1)
(Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?").
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا (الأحزاب:72)
(Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh).
Perbedaan mendasar kedua adalah bahwa makhluk-makhluk lainnya mempunyai jalur-jalur yang pasti dan tidak pernah menyimpang darinya—jalur-jalur dibatasi oleh berbagai kualitas terbatas yang dimanifestasikannya. Sebaliknya, manusia tidak mempunyai hakikat yang pasti karena mereka memanifestasikan keseluruhan. Keseluruhan sama sekali tidak bisa didefinisikan, karena ia identik dengan “bukan sesuatu,” bukan kualitas atau kualitas-kualitas khusus. Karena itu, manusia—bertolak belakang dengan makhluk-makhluk lainnya—adalah misteri. Hakikat utama manusia tidak diketahui. …[2]
Hakikat manusia, seperti dalam catatan Murata di atas, tidak diketahui. Ini tampaknya sejalan dengan pandangan banyak pemikir Muslim yang menyatakan bahwa hakikat manusia adalah ruhnya, sementara ruh itu sendiri diungkapkan oleh al-Qur’an sebagai entitas yang hanya diketahui oleh Allah.[3]Demikian pula, al-Qur’an mengungkapkan bahwa faktor kesempurnaan—karenanya bermakna juga totalitas—manusia terletak pada ru>h} yang dihembuskan Allah kepadanya:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا (الإسراء: 85)
(Dan mereka bertanya kepadamu tentang ar-ru>h}. Katakanlah: "Ar-Ru>h}itu urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan, kecuali sedikit saja.(".
فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ (الحجر: 29, ص: 72)
(Dan ketika Aku sempurnakan kejadiannya maka Kutiupkan kepadanya ru>h}-Ku; karenanya, hendaklah kamu tersungkur bersujud kepadanya.").
Faktor-faktor kesempurnaan manusia seperti: (1) kejadian manusia dalam bentuk terbaik (ah}sanu taqwi>m), (2) dicipta dengan kedua Tangan Allah (khalaqtu bi yadayya), sementara makhluk lain hanya dengan perintah “Kun” (jadilah!), (3) dicipta berdasarkan bentuk atau citra Allah (ala> s}u>rat Alla>h), (4) ditiupkannya ru>h} Allah (ru>h}ulla>h) kepadanya, serta (5) manusia merupakan puncak penciptaan dengan kesempurnaan yang semakin meningat, semuanya itu telah menjadikannya makhluk yang paling refresentatif dan kualitatif mengemban tugas sebagai khalifah Allah (khali>fatulla>h), mewakili Allah pada tataran makhluk. Menyandang status sebagai khalifah Allah berarti bahwa hanya manusialah—dengan kualitas-kualitas yang dimilikinya, atau dengan totalitasnya—yang dapat menguasai alam semesta, menjamin keharmonisan, dan sekaligus dalam pengertian sebaliknya, hanya manusialah yang mampu mengacaukan alam semesta.
Mengingat peliknya tema ini, di bawah ini dijelaskan beberapa di antara lima faktor kesempurnaan yang dikemukakan di atas, namun penjelasan tersebut ditempuh dengan memilih headline tertentu dengan cara yang sedikit berbeda.
1. Dua Tangan Allah
Istilah “dua tangan Allah” muncul dalam Qs. Sha>d: 1. Bagi kalangan tradisi hikmah, istilah dua tangan Tuhan itu dipandang sebagai salah satu simpul yang merangkum dan menyimpan banyak misteri dalam tataran hubungan antara manusia (mikrokosmos) dengan alam semesta (makrokosmos). Dua tangan Tuhan itu menunjuk kepada dua kategori nama-nama dan sifat-sifat Allah, yaitu sifat jala>liyyah dan sifat jama>liyyah. Sifat jala>liyyah adalah sifat-sifat Allah yang mencerminkan keagungan, kebesaran, kekuasaan, dan kekerasan-Nya. Sifat-sifat ini dikenal juga dengan sifat-sifat maskulin yang terungkap dalam nama-nama seperti al-‘Azhi>m, al-Qadi>r, dan al-Qahha>r. Sedangkan sifat jama>liyyah adalah sifat-sifat yang mencerminkan kemurahan, kelembutan, kasih-sayang dan penerimaan-Nya. Sifat-sifat ini disebut juga sifat feminin Allah, seperti dalam nama-nama ar-Rah}ma>n, ar-Rah}i>m, at-Tawwa>b, dan al-Gha>fir. Dua kategori nama dan sifat Allah ini bekerja sedemikian rupa untuk mempertahankan alam semesta. Kendatipun aktualisasi nama-nama dan sifat-sifat jala>liyyah (maskulin) cenderung tak tertahankan, terutama ketika Allah menunjukkan kekuasaan dan kekerasannya, misalnya dalam bentuk petaka dan penderitaan manusia dan bencana alam, namun di balik semua itu, sesungguhnya sifat-sifat jama>liyyah yang lebih dominan pada Diri Allah.[4]
Dua tangan Tuhan juga mengungkapkan misteri keserbamencakupan manusia dari sisi bahwa manusia mencerminkan dengan sempurna dua karakteristik polar Allah, al-Awwal dan al-A, serta az}-Z{a>hir dan al-Ba>t}in, sebagaimana dinyatakan-Nya dalam Qs. Al-H{adi>d: 3, yaitu:
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (الحديد: 3)
)Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Z{a>hir dan Yang Ba>t}in; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu).
Manusia mencerminkan Yang Awal karena ru>h} manusia adalah makhluk yang pertama kali yang diciptakan Allah, dan merupakan ru>h} alam semesta—seperti pendapat Ibnu ‘Arabi di atas. Dalam literatur sufi, ruh yang merupakan ciptaan pertama itu disebut sebagai Nu>r Muh}ammad, atau dalam literatur filsafat Islam dikenal dengan Akal Pertama (al-‘Aql al-Awwal), sebagai wujud kedua setelah Allah. Sedangkan manusia sebagai akhir adalah karena manusia adalah tujuan akhir penciptaan alam semesta, dan juga karena manusia adalah tahapan akhir dari evolusi penciptaan kosmos yang bersifat progresif dan semakin meningkat kesempurnaannya. Dengan demikian, tidak ada makhluk yang lebih sempurna dari manusia.
Manusia mencerminkan z}a>hir(ketampakan) dan ba>t}in (ketersembunyian) Allah. Dalam hadis Khazanah Tersebunyi terungkap bahwa Allah dalam kesendirian-Nya adalah Realitas Tersembunyi, yang sama sekali tidak dikenal oleh apa pun. Karena Allah suka untuk dikenal, maka Dia menciptakan makhluk sebagai cerminan-Nya. Setiap makhluk membawakan cerminan Allah dengan cara yang berbeda-beda, kecuali manusia yang mencerminkan Allah dalam pengertian yang paling sempuna. Alam semesta, atau selain-Nya, adalah z}uhu>rulla>h (ketampakan Allah, yakni aspek yang tampak dari Allah), yang dalam beberapa teori sufistik disebut sebagai aspek nasu>t-Nya. Ketampakan Allah dan bagaimana Allah menampakkan Diri juga dikenal dengan tajalli. Dalam diri manusia, dimensi jasmaninya merupakan z}uhu>rulla>h dan dimensi ruhaninya adalah cerminan ketersembunyian-Nya.
Analisis mengenai dua tangan Allah di atas, di mana dua tangan Allah dalam berbagai maknanya tercakup dalam diri manusia, maka selanjutnya akan tampak bahwa dualitas—atau lebih tepat disebut polaritas, atau dualitas polar, untuk menunjukkan dua sisi atau dua aspek atau dua dimensi yang saling berkaitan—dalam diri manusia juga merangkum dualitas polar segala sesuatu di alam semesta, dalam berbagai bentuk dan wujudnya, seperti siang dan malam, jauh dan dekat, tinggi-rendah, kesatuan dan keragaman, feminin dan maskulin atau laki dan perempuan[5]atau jantan dan betina, dan seterusnya. Al-Qur’an dalam banyak tempat menekankan prinsip dualitas polar segala sesuatu ini dalam terma umumnya yaitu keberpasangan (azwa>jan). Prinsip keberpasangan merupakan prinsip eksistensial, sehingga mengikat segala sesuatu. Dalam al-Qur’an ditemukan banyak penjelasan mengenai keberpasangan segala sesuatu, baik dalam menyangkut mikrokosmos maupun makrokosmos, sembari menekankan makna dan signifikansinya bagi kehidupan manusia. Di antara penjelasan di maskud adalah:
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (الزاريات: 49)
(Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلًا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ ءَاتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ (الأعراف: 189)
(Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan Dia menciptakan dari jiwa yang satu itu isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang sempurna, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur").
خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَأَنْزَلَ لَكُمْ مِنَ الْأَنْعَامِ ثَمَانِيَةَ أَزْوَاجٍ يَخْلُقُكُمْ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ خَلْقًا مِنْ بَعْدِ خَلْقٍ فِي ظُلُمَاتٍ ثَلَاثٍ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ (الزمر:6)
(Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya pasangannya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan pasangan dari binatang ternak; Yang menciptakanmu dalam perut ibumu dalam tahapan-tahapan penciptaan: dalam kegelapan selama tiga tahapan. Itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain-Nya; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?).
فَجَعَلَ مِنْهُ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَى (القيامة: 39)
(Lalu Allah menjadikan daripadanya pasangan laki laki dan perempuan).
وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَى (النجم:45)
(Dan bahwa Dialah yang menciptakan keberpasangan laki-laki dan perempuan).
فِيهِمَا مِنْ كُلِّ فَاكِهَةٍ زَوْجَانِ (الرمن:52)
(Di dalam kedua surga itu terdapat segala macam buah-buahan yang berpasangan).
وَالْأَرْضَ مَدَدْنَاهَا وَأَلْقَيْنَا فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْبَتْنَا فِيهَا مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ (ق:7)
(Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya setiap pasangan yang indah).
أَوَلَمْ يَرَوْا إِلَى الْأَرْضِ كَمْ أَنْبَتْنَا فِيهَا مِنْ كُلِّ زَوْجٍ كَرِيمٍ (الشعراء: 7)
(Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, begitu banyak Kami tumbuhkan di dalamya setiap pasangan yang mengagumkan?)
وَهُوَ الَّذِي مَدَّ الْأَرْضَ وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْهَارًا وَمِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ جَعَلَ فِيهَا زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (الرعد: 3)
(Dan Dialah Tuhan yang menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan sungai-sungai. Dan menjadikan setiap buah-buahan berpasang-pasangan. Allah menutup malam dengan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan).
0 Response to "Totalitas manusia"
Post a Comment