Berita Hangat Hari Ini

PANDANGAN DUNIA SPIRITUAL ISLAM



DAN PERAN SENTRAL MANUSIA DALAM KOSMOS*

M. Samsul Hady§

Pendahuluan
Banyak kalangan, termasuk juga beberapa ilmuan muslim, yang berpikir agak serampangan dengan menyatakan bahwa agama dan ilmu pengetahuan merupakan dua entitas yang berbeda dan terpisah satu sama lainnya. Pandangan dunia agama—termasuk di dalamnya Islam—bersifat apriori yang bertitik tolak dari sebuah keyakinan untuk sampai kepada kesimpulan yang sejalan dengan keyakinannya yang bersifat absolut; sedangkan ilmu pengetahuan bertitik tolah dari sebuah keraguan dan kesimpulan-kesimpulannya bersifat tentatif dan verifiabel. Dengan demikian, menurut mereka, Islam sebagai sebuah agama tidak memiliki perspektif ilmiah mengenai kehidupan, termasuk tidak memiliki perspektif mengenai kosmologi dan kosmologi, yang keduanya merupakan ilmu pengetahuan (sains). Mereka tampaknya tidak akrab dengan sumber-sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan al-Hadis, serta khazanah pemikiran Islam, sehingga dengan tanpa beban meremehkan Islam dalam persoalan-pesoalan ilmu pengetahuan.
Al-Qur’an mengungkapkan pandangan dunia (world view)-nya  yang tidak semata-mata menekankan dunia fisik, melainkan dunia spiritual. Para ulama melihat alam semesta tidak terutama pada alam itu sendiri, tetapi pada hubungan-hubungan analogis dan alegorisnya, serta peran manusia dalam keseluruhan sistem yang mengaturnya. Kosmolog muslim membuat teoretisasi yang membedakan dalam pandangan dunia Islam adanya tiga realitas kosmologis (makrokosmos, al-‘a>lam al-kabi>r; mikrokosmos, al-‘a>lam as}-s}agi>r; dan metakosmos). Makrokosmos adalah alam semesta pada umumnya, mikrokosmos adalah manusia, dan metakosmos adalah Allah. Jika kedua alam  (makrokosmos dan mikrokosmos) itu diciptakan oleh Allah, rabb al-‘a>lam>n, apakah mungkin kedua alam itu tidak saling berhubungan, atau keduanya terpisah dari hubungannya dengan Sang Pencipta. Kaum arif (al-‘a>rifu>n) dari kalangan muslim seringkali mencoba menemukan misteri-misteri yang tersembunyi atau sangat tersembunyi di balik teks-teks ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi mengenai saling hubungan antara tiga realitas di atas, serta makna serta peran sentral manusia di dalam rangkaian hubungan itu. Al-Qur’an menekankan berbagai fenomena alam tersebut sebagai tanda-tanda Allah (a>ya>tulla>h) yang harus dicermati dan diambil pelajaran oleh manusia—ciptaan-Nya yang paling mulia—sehingga mendatangkan hikmah atau signifikansinya bagi kehidupan manusia. Pemikiran mereka tidak pernah jauh dari keinginan mencari jejak-jejak Sang Pencipta untuk menemukan cara yang paling bijak untuk mendekatkan diri dan mengabdi kepada-Nya.
Tulisan ini membahas berturut-turut konsepsi mengenai dunia spiritual Islam, makna totalitas manusia dalam hubungannya dengan alam semesta dan Tuhan, serta membangun spiritualitas sebagai strategi menjalankan peran sentral manusia di dalam kosmos.

Dunia Spiritual Islam
Para kosmolog Muslim mencari-cari petunjuk al-Qur’an dan al-Hadis untuk dapat memahami korespondensi-korespondensi dan analogi-analogi kualitatif tiga realitas kosmologis: alam semesta (makrokosmos), manusia (mikrokosmos) dan Allah (Metakosmos). Mereka tertarik kepada berbagai perumpamaan (parables, mis\a>la>t, ‘iba>ra>t) dan keserupaan-keserupaan (similarities, tasybi>ha>t) dalam sumber-sumber Islam. Mereka ingin menemukan berbagai macam hubungan pada berbagai tataran dan aras kualitatif. Metodologi yang mereka gunakan untuk menguak berbagai perumpamaan dan keserupaan dalam Kitab Suci—juga karena semua itu dipandang oleh mereka sebagai tanda-tanda Allah (‘a>ya>tulla>h)—adalah ta’wi>l (hermeneutika esoteris),[1]sebuah metodologi yang sangat populer di kalangan ahli hikmah. Dalam hal ini Sachiko Murata menjelaskan:
Yang berkaitan erat dengan tipe pemikiran analogis dalam astrologi adalah ta'wil atau interpretasi esoteris atas al-Qur'a>n. Ini banyak dilakukan oleh para sufi dan juga otoritas-otoritas Syiah tertentu. Seringkali tujuan ta'wil menunjukkan bagaimana ayat-ayat al-Qur'a>n yang berbicara tentang kosmos, atau kisah-kisah nabi, memiliki pengertian lain sesuai dengan tataran dan aras serta situasi batiniah individu manusia. Mikrokosmos "sesuai" dengan makrokosmos. Pada tataran dan aras ini, al-Qur'a>n melukiskan drama jiwa manusia dalam hubungannya dengan Allah.[2]
Pada awalnya, ta'wi>l boleh jadi tampak arbitrer. Akan tetapi, tidak demikian halnya jika orang mempertimbangkan pemikiran analogis yang darinya lahir sebuah tradisi. Kunci ta'wi>l bisa dicari dalam teks-teks yang membicarakan korespondensi antara makrokosmos dan mikrokosmos—teks-teks yang kerap kali berakar dalam pengetahuan Yunani. Dalam teks-teks semisal ini, astrologi ditempatkan dalam konteks pemikiran analogis lebih luas.[3]
Jika orang tidak menyadari dan tidak mengetahui logika internal dari segenap analogi dan korespondensi ini, maka model penafsiran ini tampak arbitrer atau sembarangan. Namun, jika orang mempunyai latar belakang dalam literatur kosmologis yang membicaarakan hubungan antara tanda-tanda di segenap cakrawala dan jiwa, maka ia bakal melihat bahwa sebuah karya semisal Ta'wi>l al-Qur'a>n karya ‘Abd Al-Razza>q Kasya>ni> berakar dalam tradisi ini, dan mengambil beberapa analogi yang boleh dikata masih orisinal.[4]
Sebelum menunjukkan banyak kosmolog Muslim yang menaruh perhatian pada korespondensi-korespondensi kualitatif kosmologi dan psikologi, kiranya  akan sangat berguna jika menjelaskan makna Tanda-tanda Allah (a>ya>tulla>h) yang merupakan sumbu dan tenaga pemikiran para kosmolog Muslim itu. Mereka tidak pernah lepas dari paradigma berpikir bahwa segala sesuatu adalah tanda-tanda Allah.
Al-Qur’an berulang kali menegaskan bahwa segala sesuatu adalah tanda-tanda (âyât) Allah,[5]dalam artian bahwa segala sesuatu menggambarkan hakikat dan realitas Allah. Akibatnya, banyak pemikir Muslim, khususnya para ahli kosmologi, melihat segala sesuatu di alam semesta sebagai refleksi nama-nama dan sifat-sifat Ilahi. Nama-nama dan sifat-sifat ini menggambarkan dan melukiskan berbagai kualitas, seperti keagungan, keindahan, kehidupan, pengetahuan, dan sebagainya. Oleh karena itu dimensi kualitatif segala sesuatu—sejauh dapat dibedakan dari dimensi kuantitatif atau material—menjadi sangat menarik perhatian.
Prinsip bahwa segala sesuatu selain Allah adalah tanda-tanda Allah, sebagaimana diungkapkan oleh al-Qur’an, diungkapkan pula dengan cara lain dalam sebuah hadis qudsi yang sangat populer di kalangan sufi dan dijadikan basis konseptualnya dalam memandang hubungan-hubungan kosmologis. Hadis Qudsi itu berbunyi:  كنت كنزا مخفيا فأحببت ان أعرف فخلقت الخلق فبى عرفونى ("Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakanlah makhluk dan melalui Aku mereka pun kenal pada-Ku" ). [6]
Hadis tersebut jelas menunjukkan bahwa dunia, atau alam semesta, atau ciptaan (makhluk) merupakan lokus di mana Khazanah Tersembunyi itu diketahui oleh makhluk. Sebaliknya, ciptaan-ciptaan Allah atau alam semesta itulah yang memberitahukan adanya Khazanah Tersembunyi, yaitu Allah. Proses pengenalan diri Allah kepada makhluk dan melalui makhluk ini disebut-sebut oleh banyak ahli kosmologi Islam dengan istilah z}uhu>r(manifestasi) dan tajalli> (pengungkapan diri) Allah, sekaligus untuk menjelaskan hubungan alam semesta dengan Allah.
Alam semesta dalam eksistensi dan fungsinya sebagai cerminan Allah, maka berarati juga  mencerminkan seluruh nama dan sifat-sifat Allah. Sifat sifat Allah dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu sifat-sifat jala>liyyah dan jama>liyyah. Sifat jala>liyyah (maskulin) adalah sifat-sifat keagungan dan kekerasan; sementara sifat jama>liyyah (feminin) adalah sifat-sifat keindahan dan kelembutan). Kendatipun secara keseluruhan atau bersama-sama alam semesta mencerminkan Allah atau sebagai tanda-tanda (a>ya>t) Allah; namun, setiap makhluk secara sendiri-sendiri mencerminkan salah satu sisi dari dua kategori sifat-sifat Allah. Manusia (mikrokosmos)—berbeda dengan makhluk-makhluk lain di alam semesta (makrokosmos)— mencerminkan kedua sisi sifat-sifat Allah. Inilah yang disimbolkan dengan dua tangan Allah yang diungkapkan dalam Qs. Sha>d, 38:75: قالَ يَاإِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ(Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangimu untuk sujud kepada apa yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?"). Dalam hadis disebutkan juga bahwa Adam (manusia) diciptakan berdasarkan shu>rahAllah (والله خلق آدم على صورته). Dengan demikian, hanya mamnusialah yang mewakili gambaran dan citra lengkap Realitas Ilahi; sementara segala sesuatu lainnya memberikan bambaran dan citra tidak sempurna, yang didominasi oleh satu tangan saja tanpa lainnya.[7]
Di atas sudah disinggung bahwa  hampir seluruh—kalau bukan memang seluruh—kosmolog Muslim memanfaatkan ihwal tanda-tanda Allah ini sebagai basis pemikirannya dalam rangka menemukan hubungan-hubungan misterius yang terjalin dan mungkin terjalin antara manusia, kosmos, dan Allah, Sang Pencipta. Salah satu di antara mereka a dalah Ikhwa>n as}-S{afa>. Ikhwa>n as}-S{afa>, kelompok cendekiawan muslim abad ke-10 Masehi, mengungkapkan korespondensi dan similaritas manusia dengan alam semesta dan mempertegas kenyataan bahwa manusia dan alam semesta secara bersama-sama mempresentasikan Sang Pencipta:[8]
Orang-orang bijak generasi pertama melihat dunia fisik ini dengan pandangan mata mereka dan menyaksikan dimensi-dimensi segala sesuatu yang tampak dengan persepsi indera mereka. Kemudian mereka merenungkan keadaan-keadaan kosmos dengan akal mereka, mengkaji dengan cermat lingkup aktivitas idividu-individu universalnya dengan pengetahuan mereka, dan mengetahui berbagai ragam dari segala sesuatu yang bersifat individual dalam kosmos dengan wawasan mereka yang mendalam.  Mereka tak menemukan satu bagian pun dari kosmos yang lebih lengkap dalam struktur, lebih sempurna dalam bentuk, dan lebih serupa dalam totalitas ketimbang manusia.
Manusia adalah totalitas yang lahir sekaligus dari tubuh ragawi dan jiwa spiritual. Karena itu, orang-orang bijak itu menemukan keserupaan bagi segala sesuatu yang ada di dunia materi dalam kondisi struktur tubuhnya. Segala sesuatu yang ada ini meliputi berbagai komposisi luar biasa dari segenap wilayah samawi dunia, berbagai jenis konstelasinya yang berbeda, gerakan-gerakan berbagai planetnya,, komposisi seluruh pilar (arka>n)dan ibunya (ummaha>t), ragam substansi mineralnya, berbagai jenis tanaman, kerangka tubuh binatangnya yang luar biasa.
Catatan di atas mengungkapkan bahwa dimensi fisik manusia selaras dengan dimensi fisik alam semesta, yakni bahwa  struktur dan bentuk organ-organ tubuh manusia menyerupai struktur dan bentuk benda-benda langit. Dan, dalam lanjutan kutipan di bawah ini, Ikhwa>n as}-S{afa> mengungkapkan similaritas jiwa manusia dengan makhluk-makhluk spiritual di alam semesta.
Tambahan lagi, dalam jiwa manusia dan penyerapan struktur tubuhnya oleh segenap inderanya, mereka menemukan berbagai keserupaan dengan jenis-jenis makhluk spiritual lain, seperti malaikat, jin, manusia, setan, jiwa hewani, dan aktivitas mereka dalam berbagai keadaan di dalam kosmos.
Manakala segala sesuatunya menjadi jelas bagi mereka dalam bentuk manusia, mereka menamakan bentuk ini (yaitu manusia) sebagai sebuah “dunia kecil.”
Ikhwa>n As}-S{afa> selanjutnya menunjukkan berbagai keserupaan tubuh dan jiwa manusia dengan realitas-realitas kosmologis, dan akhirnya dalam uangkapannya yang cukup padat sembari membentuk hubungannya dengan Sang Pencipta, dikemukakan seperti di bawah ini:
Dalam hal lain, jika seseorang memikirkan, maka ia akan menemukan bahwa tubuh itu laksana sebuah kapal, jiwa seperti seorang kapten, kerja seperti barang-barang dagangan, kematian bagaikan pantai, akhirat bak kotapara pedagang, dan Allah seperti raja yang akan memberikan ganjaran.
Dalam hal lain, jika seseorang memikirkan, maka ia bakal menemukan bahwa tubuh itu seperti seekor kuda, jiwa bagaikan penunggang, dunia bagaikan arena pacuan,dan kerja seperti pacuannya.
Dalam hal lain, jika seseorang melihat, maka ia akan menemukan bawah jiwa itu bagaikan seorang petani, tubuh seperti tanah pertanian, kerja laksana benih dan hasil, kematian seperti memanen, dan akhirat bagaikan lantai penebah.
‘Azi>zuddi>n Nasafi> (w. sekitar 1295) membuat analogi-analogi kualitatif manusia dengan kosmos seperti dalam kutipan berikut:
Ketika sperma jatuh ke dalam rahim, maka ia melambangkan Sustansi Pertama. Manakala embrio mempunyai empat strata, maka ia melambangkan unsur-unsur dan berbagai watak dan sifat. Ketika anggota-anggota tubuh mulai muncul, maka anggota tubuh bagian luar—seperti kela, tangan, perut, alat kelamin, dan kaki—melambangkan tujuh iklim. Anggota-anggota tubuh bagian dalam—seperti paru-paru, otak, ginjal, jantung, kantong empedu, hati, dan limpa—melambangkan tujuh langit. [9]
Dalam penjelasan selanjutnya, Nasafi> menunjukkan tujuh benda langit yang memiliki keserupaan dengan organ-organ tubuh manusia. Bagi Nasafi>—dalam analogi-analogi kualitatifnya antara mikrokosmos dan makrokosmos—paru-paru adalah langit pertama yang menujukkan wilayah bulan, karena bulan adalah paru-paru makrokosmos. Otak sebagai langit kedua yang melambangkan wilayah Merkurius, karena Merkurius adalah otak makrokosmos. Ginjal adalah langit ketiga dan melambangkan wilayah venus, karena Venus adalah ginjal makrokosmos. Jantung adalah langit keempat dan melambangkan wilayah matahari, karena matahari adalah jantung makrokosmos. Limpa adalah langit kelima dan melambangkan wilayah Mars, karena Mars adalah limpa makrokosmos. Hati adalah langit keenam dan melambangkan wilayah Yupiter, karena Yupiter adalah hati makrokosmos. Kantong empedu adalah langit ketujuh dan melambangkan wilayah Saturnus, sebab Saturnus adalah kantong empedu makrokosmos. [10]
Benda-benda langit sebagai padanan organ-organ tubuh manusia tersebut di atas, dijelaskan pula oleh Nasafi> bahwa korespondensi dan analogi tujuh organ-dalam manusia dan tujuh benda langit yang menempati wilayah tertentu, itu pun berkorespondensi dengan tujuh wilayah malakuti kosmos yang di masing-masing dihuni oleh sekelompok malaikat yang dipimpin oleh malaikat dengan nama-nama seperti yang dikenal dengan Malaikat Sepuluh, seperti Jibril di wilayah Merkurius (langit kedua), Israfil di wilayah matahari (langit keempat), Mikail di wilayah Jupiter (langit keenam), dan  Izra’il di wilayah Saturnus (langit ketujuh). Analogi-analogi seperti ini juga dijumpai pada banyak kosmolog Muslim lainnya, seperti Ibnu ‘Arabi dan para pengikutnya, Abdurrahman Ja>mi’, ‘Abd ar-Razza>q al-Ka>sya>ni>, dan Najmuddi>n Ra>zi>.



Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

0 Response to "PANDANGAN DUNIA SPIRITUAL ISLAM"

Post a Comment