Ibu Alphiana sudah berjilbab sejak tahun 1992, tetapi sebelum itu dia sudah memakai topi dan pakaian yang menutup tubuh badannya. Di masa lalu, Ibu Alphiana belum tahu mengapa sebenarnya perempuan harus berjilbab, maka dia tidak pakai jilbab. Tetapi sesudah dia lihat adik suaminya (yang sudah berjilbab), mengaji Qu'ran dan menghadiri kelompok diskusi dia ingin berjilbab. Ibu Alphiana tak mengalami perlakuan yang berbeda dari golongan mode sesudah berjilbab (karena sampai 1992 sudah ada perancang busana Muslim) tetapi dia mengalami perlakuan yang lebih hormat dari laki-laki. Dia tidak mengalami perasaan yang negatif dari teman-teman dan keluarganya. Kalau ditanya bagaimana rasanya saat berjilbab, dia berkata 'legah' dan lebih tenteram dalam hati.
Pendapat Ibu Alphiana terhadap perempuan yang memakai topi tetapi aurat masih dilihat adalah ini lebih baik daripada kalau tidak memakai topi juga. Menurut Ibu Alphiana, pilihan untuk memakai jilbab tergantung pada orang sendiri. Oleh karena itu, kalau seseorang berjilbab, itu tidak berarti bahwa menjadi lebih taat daripada orang-orang yang tidak berjilbab. Kalau berjilbab tetapi berpakaian ketat, mungkin begitu karena orang itu belum tahu banyak tentang tuntunan Islam.
Ketika Ibu Alphiana mulai berjilbab, dia menjadi tertarik pada aspek mode busana Muslim. Sebelum waktu itu, dia menghadiri London School of Fashion (Lembaga Mode London), di negara Inggris selama dua tahun dan menjadi perancang mode gaun malam. Pada waktu itu, dia memakai rok mini, tetapi masih pakai kaos modiste (yang menutup lehernya) dan kaus kaki hitam. Sesudah dia menikah dan berjilbab, pada tahun 1995 dia pindah ke Surabaya dan harus mulai memulai perusahaan lagi. Karena itu, dia berpikir bagaimana membuka perusahaan busana Muslim?
Menurut Ibu Alphiana, busana Muslim menjadi populer pada tahun 1980'an. Memang pada waktu itu dia mempunyai teman-teman di SMA yang sudah berjilbab, tetapi dia pikir hanya berjilbab karena mereka menderita kutu rambut! Pertumbuhan kepopuleran busana Muslim pesat sejak tahun 1980'an, dan tidak lama lagi bahwa pemerintah Orde Baru mengubah peraturan terhadap pemakaian jilbab di sekolah-sekolah negeri.
Kalau ditanya mengapa busana Muslim menjadi populer di Indonesia, Ibu Alphiana percaya bahwa karena sudah ada agak banyak perancang busana Muslim, ada lebih banyak pilihan dan kreativitas terhadap busana Muslim, tetapi masih dibatasi oleh kaidah Islam. Juga ada lebih banyak kesadaraan Islam di Indonesia pada waktu ini. Misalnya, permunculan sekolah Islam (pesantren) pada tingkat SD, SM dan SMA. Lembaga pendidikan itu mempunyai reputasi untuk ajaran pada tingkat tinggi.
Ibu Alphiana setuju bahwa memang ada beberapa perempuan yang berjilbab untuk alasan mode saja, tetapi hanya kelompok minoritas. Menurut dia, mungkin begitu karena adalah tren di Indonesia sekarang untuk menjadi dianggap sebagai lebih beragama, tetapi kalau arti berjilbab tergantung pada orang sendiri. Bagaimanapun, di luar batasan tuntunan Islam kalau mengritik orang lain untuk kegiatannya.
Desain-desain Ibu Alphiana diiklankan melalui keanggotaan APPMI. Sejak menjadi anggota pada tahun 1999, desain Alphiana Chandrajani dimasukkan ke dalam pameran mode tahunan APPMI. Karena pameran itu, ada banyak akses ke media massa, dan dia menerima permintaan untuk memfoto desain-desainnya untuk majalah dan koran. Juga, ada promosi desainnya kalau Ibu Alphiana berpidato di konvensi dan acara-acara yang lain.
Pada masa depan, Ibu Alphiana percaya bahwa mode Islam akan dipengaruhi oleh tren Eropa. Juga, negara Indonesia akan menjadi pusat busana Muslim di Asia Tenggara, karena sudah ada langganan di negara Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam untuk desain busana Muslim Indonesia.
Seorang Tailor Busana Biasa dan Busana Muslim: Ibu Indrawati[1]
Ibu Indrawati sudah menjadi Tailor Busana lima tahun, tetapi baru satu tahun saja menjadi pemilik toko Emaku Tata Busana Wanita (sebelum itu dia bekerja di rumahnya). Toko itu tidak punya banyak pakaian, karena itu toko tailor. Oleh karena itu ada ruang tamu di depan, yang orang langganan bisa berdiskusi pesannya sama Ibu Indrawati. Pakaian dijahit di lantai kedua. Ibu Indrawati bukan tailor biasa sebelum menjadi tailor busana Muslim juga, dia selalu membuat dua-duanya. Menurut Ibu Indrawati, ada sasaran besar untuk busana Muslim. Banyak orang mau berbusana Muslim - ada demam busana Muslim.
Ibu Indrawati menyebut bahwa busana Muslim bukan bagian dari tradisi Indonesia, tetapi memang sudah menjadi populer. Menurut Indrawati, hal ini karena negara Indonesia sudah menjadi negara Islam yang penduduknya terbesar di dunia. Oleh karena itu orang-orang Indonesia sudah menjadi tertarik pada busana itu dan sudah menerima busana Muslim karena ada begitu banyak orang yang beragama Islam.
Dibandingkan membuat busana biasa, Ibu Indrawati berpikir membuat busana Muslim lebih mudah - yaitu tidak ada banyak gaya-gaya yang bisa dipakai karena semuanya harus menutupi aurat badan. Oleh karena itu desain-desain busana Muslim agak sama - tidak ada banyak variasi. Kalau busana biasa, bisa menunjukkan lekuk badan dan bagian badan seperti kaki dan tangan. Oleh karena itu desain-desain busana biasa jauh lebih bervariasi, menurut Ibu Indrawati.
Karena desain-desain busana Muslim agak sama, setiap tahun ada berubahan pola-pola di bordir, atau perhiasan berubah. Tetapi menurut Ibu Indrawati gaya berkerudung adalah bagian busana Muslim yang paling sering berubah. Dia berpikir di Indonesia busana Muslim dalam gaya Timur Tengah tidak populer, karena kalau dalam gaya Timur Tengah, harus menutupi semua badannya kecuali mata-mata. Di Indonesia, mode Islam lebih dinamis dan lunak - boleh memakai topi, boleh memakai warna-warna yang cemerlang, dan sebagainya.
Ibu Indrawati bukan perancang mode - para langganan biasanya membawa contoh untuk pesanannya. Tetapi Ibu Indrawati juga mendapat inspirasi dari majalah-majalah dan orang selebriti kalau dia tidak diberi contoh dari langganan. Langganan sering membawa foto dari majalah untuk diduplikasi oleh Ibu Indrawati. Dia mendapat inspirasi dari selebriti karena mereka sering di majalah, koran, dan televisi - dan selalu memakai desain-desain busana Muslim terbaru. Indrawati suka mendapatkan inspirasi dari majalah karena selalu berubah, dan punya gaya-gaya yang paling modern dan bermode. Kalau dari orang yang terkenal, Ibu Indrawati suka Ida Royani dan Inneke Koesherawati. Ida Royani adalah anggota APPMI (yang tersebut di atas) dan adalah orang yang berhasil dalam bidang perancang mode Islam. Indrawati suka Inneke Koesherawati juga karena dia sangat bermode. Inneke Koesherawati didiskusikan dalam Bab V - Busana Muslim: Distribusi.
Sasaran produk Ibu Indrawati kebanyakan Muslimah, tetapi juga ada banyak yang mencari busana biasa. Kalau mau rok malam yang seksi, Ibu Indrawati bisa menciptakan itu. Para langganan biasanya Ibu-Ibu yang dari kalangan atas, atau sudah berhasil dalam karirnya. Ibu Indrawati belum mengiklankan pelayanannya.
Menurut Ibu Indrawati, busana Muslim menjadi populer pada tahun 1980'an, waktu ada orang-orang yang terkenal mulai berbusana Muslim. Orang-orang ingin terlihat cantik dan rapi, tetapi tidak mau mengorbankan rupanya. Mereka juga ingin melindungi identitas individu, terus busana Muslim menjadi lebih kreatif dan individualis. Menurut Ibu Indrawati alasan-alasan mengapa berjilbab begitu populer di kampus pada waktu ini terdiri dari alasan tersebut - yaitu ada banyak pilihan untuk orang yang mau berjilbab tetapi menjadi cantik. Namun, seseorang yang biasanya berjilbab tidak dari kelas sosial tertentu, karena agama Islam belum kenal kelas sosial. Mereka harus menunjukkan tingkah laku yang baik dan beragama dengan taat saja.
Ibu Indrawati berjilbab tetapi belum berbusana Muslim karena dia merasa belum siap untuk melakukan itu. Dia masih memakai jeans karena pakaian itu masih praktis untuk bekerja. Dia baru berjilbab sejak tahun 2000, waktu dia berumur empat puluh satu. Ibu Indrawati merasa lebih anggun dan dihormati sejak berjilbab. Pada tahun 2000, dia ingin menjadi orang yang lebih baik. Untuk itu, dia berjilbab.
Menurut Indrawati, pada masa lalu (sekitar tahun-tahun 70'an dan 80'an), orang yang berjilbab dianggap sebagai agak fanatik, dan busana Muslim dianggap tidak modern. Orang-orang pada waktu itu berpikir perempuan yang berjilbab tidak cantik, dan tidak sampai pada akhir dasawarsa 80'an, busana Muslim menjadi lebih bermode.
Kalau orang mau pakai topi saja, atau kalau orang-orang berpakaian ketat, ini kurang taat, menurut Ibu Indrawati. Tetapi, orang-orang semacam itu mempunyai alasan pribadi untuk pakaiannya. Semuanya bagian perjalanan Islam. Dia berpikir memang ada Istri pejabat dan beberapa perempuan lain yang berjilbab sebagai symbol Islam semata - kalau berjilbab harus untuk alasan-alasan yang baik saja.
Perempuan yang berjilbab untuk alasan mode berkedok dari pemakaian jilbab, menurut Ibu Indrawati. Misalnya, dia melihat perempuan di toko yang berjilbab tetapi dia beli barang-barang yang tidak baik untuk orang Islam (misalnya minuman keras, babi). Dia berkedok saja - mungkin dia bukan Muslimah!
Ibu Indrawati mempunyai banyak jilbab - dia malu menyebutkan berapa. Tetapi alasannya mengapa mempunyai begitu banyak, karena dia harus dilihat sebagai orang yang bermode, rapi dan anggun untuk pekerjaannya.
Analisis
Sekalipun unsur perlawanan tidak kelihatan dalam produksi busana Muslim, ada beberapa poin yang menarik dari profil-profil di atas. Ibu Indrawati benar bahwa berbusana Muslim tidak bagian kebudayaan tradisional atau sejarah Indonesia. Pendapatnya mungkin memberi kesan bahwa perasaan identitas orang Indonesia sebagai orang Islam muncul sejak kebangkitan Islam dan oleh karena itu, busana Muslim menjadi cara supaya mengekspresikan perasaan itu. Pendapat Ibu Alphiana juga menarik - yaitu busana Muslim menjadi lebih populer sesudah pendidikan Islam yang lebih berkualitas.
Munculnya lembaga-lembaga seperti APPMI sudah mempopulerkan busana Muslim dalam lingkungan mode di Indonesia, dan gaya mode itu sudah punya derajat yang sama dengan gaya-gaya mode yang bukan berdasarkan ajaran beragama. Juga, industri memproduksi bukan untuk orang yang berbusana Muslim saja - sebagian besar pekerja di Alphiana Chandrajani serta Emaku tidak berjilbab.
Ibu-Ibu Alphiana dan Indrawati adalah contoh perempuan karir yang berhasil. Ibu Alphiana berbusana Muslim untuk dia sendiri - tidak dari saranan orang lain. Profil-profil di atas memberi gambaran lingkungan dan bagaimana produksi busana Muslim dilakukan. Ibu Alphiana dan Ibu Indrawati bisa menerima bahwa ada orang yang ingin berjilbab sambil berbusana yang ketat, tetapi dua-duanya mengakui bahwa praktek ini kurang taat. Tetapi, menarik bahwa Ibu Indrawati berpikir berjilbab sambil berbusana yang ketat terasa kurang taat, dia juga senang bahwa keadaan mode Islam di Indonesia lebih dinamis daripada di Timur Tengah. Memang di seluruh Asia Tenggara lebih dinamis, misalnya di Malaysia ada Muslimah yang berjilbab sambil berpakai kaus tangan pendek (Irfach 2004:51).
Ibu Alphiana menunjukkan toleransi kepada gaya mode yang lain dari mode Islam. Pekerjaannya di LPTB Susan Budihardjo menunjukkan dia mendorong semua gaya mode - memang ada pelajar di sana yang berjilbab tetapi mendesain pakaian yang sangat seksi dan memang tidak menutupi badan.
Ibu-Ibu tersebut dua-duanya menjadi malu dan tertawa kalau ditanya berapa jilbab yang mereka punyai. Tingkah laku menunjukkan bahwa walaupun mereka menciptakan busana Muslim dalam gaya yang terbaru dan trendi, mereka masih menganggap sendiri sebagai orang yang tidak boleh mendapat terlalu banyak kesenangan dari berbusana Muslim. Perasaan mereka mencerminkan ideologi kebudayaan massa - yaitu kalau busana Muslim menjadi bermode, bukan merupakan lambang dari ibadahnya. Tetapi mereka memang orang yang beragama Islam yang taat.
0 Response to "Pengalaman Alphiana Chandrajani sebagai orang yang berjilbab "
Post a Comment