Konsep Herzl tentang pembentukan sebuah persekutuan dengan kaum anti-Semit untuk menghentikan, dan lalu membalikkan, proses pembauran kaum Yahudi dipraktikkan oleh para Zionis penerusnya, bersama dengan kaum rasis di Eropa dan di seluruh dunia. Yang terutama adalah kaum rasis Jerman. Kaum rasis Jerman ini, yang merupakan perintis gerakan Nazi, jenis sekutu yang tepat dicari-cari para Zionis. Nyatanya, persamaan ideologis di antara keduanya cukup menyolok.
Lenni Brenner, yang menyebut diri seorang Yahudi non-Zionis, mengungkapkan sejarah terselubung persekutuan antara Zionis dan anti-Semit dalam bukunya Zionism in The Age of Dictator (Zionisme di Zaman Para Diktator). Sebagaimana ditekankan Brenner, ikatan antara kaum Zionis dan kaum rasis anti-Semit ditempa pada tahun-tahun awal pergerakan Zionis.
Misalnya, Max Nordau, penerus Herzl sebagai pemimpin gerakan Zionis, memberikan wawancara kepada seorang anti-Semit tersohor, Edouard Drumont, pada 21 Desember 1903. Percakapan di antara keduanya, yang satu seorang rasis Yahudi, yang lain seorang sofinis (penganut paham nasionalisme sempit) Perancis, diterbitkan dalam suratkabar anti-Semit fanatik milik Drumont, La Libre Parol , termasuk pernyataan Nordau bahwa Zionisme “bukan masalah agama, namun sepenuhnya masalah ras, dan tak seorang pun dengan siapa saya lebih sependapat dalam masalah ini selain Tuan Drumont.”
Satu bahasan penting dalam buku Brenner adalah kesamaan ideologis antara rasis Jerman dan Zionis. Pemujaan berlebihan terhadap darah-dan-tanah yang sedang cepat menyebar di kalangan cendekiawan Jerman mutlak sejalan dengan pemikiran Zionis. Menurut ideologi ini, ras Jerman memiliki darah (Blut) sendiri, dan harus hidup di tanahnya (Boden) sendiri. Kaum Yahudi tidak berdarah Jerman, dan karena itu tidak akan pernah menjadi bagian rakyat (Volk) Jerman maupun berhak menetap di tanah Jerman. Seperti ditekankan oleh Brenner, pengikut Zionis sukarela mendukung semua pendapat Blut und Boden-nya kaum rasis. Dalam pandangan kaum Zonis, kaum Yahudi bukanlah bagian Volk Jerman dan, pastilah, kaum Yahudi dan Jerman seharusnya tidak bercampur dalam perkawinan. Yang terbaik bagi kaum Yahudi adalah pulang ke Bodennya sendiri: Palestina.
Tak diragukan bahwa para Zionis menyetujui anti-Semitisme dan menganut teori-teori kaum rasis Jerman itu. Karena orang Yahudi bukan ras Jerman, bangsa Jerman berhak mengucilkan dan juga mengusir mereka. Menurut para Zionis, kaum Yahudi sendiri sepatutnya disalahkan dalam soal anti-Semitisme. Mereka membangkitkan anti-Semitisme dengan bersikukuh tinggal di tanah asing dan berbaur dengan ras asing. Para Yahudi pembaur yang patut disalahkan, dan bukan para anti-Semit. Chaim Greenberg, penyunting media Zionis pekerja New York Jewish Frontier, melukiskan watak itu sebagai berikut “Agar menjadi Zionis yang baik, seseorang harus agak menjadi anti-Semit”.
Brenner menafsirkan kedudukan para Zionis sebagai berikut: “Jika orang percaya akan keabsahan kemurnian rasial, sukar merasa keberatan pada rasisme orang lain. Jika orang itu percaya lebih jauh bahwa tak mungkin bagi masyarakat mana pun hidup sehat kecuali di tanah air sendiri, ia tak dapat berkeberatan pada tindakan siapa pun mengeluarkan ‘orang asing’ dari daerahnya.”
Francis R. Nicosia, seorang profesor sejarah di St. Michael’s College (Winooski, Vermont, Amerika Serikat), juga menekankan adanya hubungan ideologis antara Zionisme dan Nazisme dalam bukunya The Third Reich and The Palestine Question (Reich Ketiga dan Masalah Palestina). Menurut Nicosia, kaum Zionis dekat secara ideologis tak hanya dengan Nazi, melainkan juga dengan para rasis abad ke-19 pendahulunya, termasuk Arthur de Gobineau. Pada tahun 1902, Die Welt, sebuah suratkabar Zionis yang diterbitkan oleh WZO, mendukung teori Gobineau tentang kemunduran rasial dan hasrat mempertahankan kemurnian rasial dengan mencatat bahwa Gobineau telah menunjuk penuh kekaguman kepada kaum Yahudi sebagai suatu kaum kuat yang percaya perlunya mempertahankan kemurnian ras. Pada tahun-tahun menjelang Perang Dunia I, para Zionis yang berpengaruh dengan semangat membela teori filsuf-filsuf rasis seperti Elias Auerbach, Ignaz Zollschan, Arthur de Gobineau, dan Houston Steward Chamberlain. Profesor Nicosia menekankan juga simpati kaum anti-Semit terhadap Zionisme. Sangat menarik bahwa para anti-Semit menyokong pemindahan kaum Yahudi Eropa ke Palestina sejak permulaan abad ke-19, sebelum Zionisme politik ada. Di antara mereka adalah filsuf nasionalis Jerman terkenal dan pelopor fasisme, Johann Gottlieb Fichte. Fichte, seorang penyokong pengusiran kaum Yahudi dan kaum minoritas lainnya demi menjaga dan menghormati Volkgeist (semangat kebangsaan) Jerman, menganggap bahwa memberikan persamaan hak kepada kaum Yahudi akan menjadi suatu bencana. Ia juga menyarankan bahwa masalah Yahudi dapat dipecahkan dengan memindahkan kaum Yahudi dari Jerman (juga negara-negara Eropa lainnya) ke tanah asalnya.
Teori-teori Zionis Fichte dianut sepenuhnya oleh penerus-penerus seperti Eugen Dühring. Simpati kaum anti-Semit pada Zionisme berlanjut di Jerman setelah Perang Dunia I (semasa Republik Weimar, 1919-1933). Nicosia mengatakan bahwa semasa Weimar, tokoh anti-Semit terkemuka seperti Wilhelm Stapel, Hans Blüher, Max Wundt, dan Johann Peperkorn melihat Zionisme sebagai satu-satunya pemecahan yang wajar atas masalah Yahudi di Jerman.
0 Response to "Persaudaraan Ideologis antara Nazisme dan Zionisme"
Post a Comment