Berita Hangat Hari Ini

Para Ahli Kitab dalam Al Qur’an



Sepanjang buku ini, kita akan membahas kekejaman yang dilakukan terhadap kaum Yahudi, dan cara sebagian orang Yahudi berhubungan rahasia dengan para perencana penindasan itu, yakni kaum Nazi.  Karena itu, penting untuk menjernihkan bagaimana kita sebagai Muslim memandang masalah ‘bangsa Yahudi dan Yudaisme,’ demi menghilangkan prasangka dan kesalahpahaman, serta memupus kecurigaan anti-Semitisme apa pun, yang segera terlintas di benak kapan pun hal-hal itu dibicarakan.

Di dalam satu ayat suci, Allah mengungkapkan bahwa manusia tak boleh dinilai menurut ras, warna kulit atau asal etnis, melainkan akhlaknya.

Hai manusia!  Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.  Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.  Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.  (QS.  Al-Hujurat, 49: 13)

Apa yang dikatakan ayat ini mengungkapkan kebijaksanaan Allah dalam penciptaan aneka ras dan etnis.  Beragam suku dan ras, yang semuanya hamba-hamba Allah, wajib saling mengenal, dengan kata lain, saling mempelajari perbedaan budaya, bahasa, adat, dan kepandaian di antara mereka.  Salah satu maksud di balik adanya keanekaragaman ras dan bangsa adalah kekayaan budaya, bukan perang dan pertikaian.

Nilai-nilai akhlak dan pemikiran yang ditekankan ayat itu dan ayat-ayat lain Al Qur’an membuat sepenuhnya jelas bahwa seorang Muslim tak boleh terlibat rasisme atau menilai orang dari rasnya.  Karena itu, sama sekali tak beralasan bagi kita sebagai Muslim memendam pemikiran buruk tentang orang Yahudi atau ras lainnya sekedar karena asal etnis mereka.

Jika beralih merenungkan masalah ini dari sudut pandang Yudaisme, kita menemukan satu fakta penting lainnya yang telah ditekankan di dalam Al Qur’an: kaum Yahudi dan Nasrani dilukiskan di dalam Al Qur’an sebagai kaum ahli kitab, dan karena itu lebih dekat dengan kaum Muslim daripada kaum ateis atau pagan (penyembah berhala).  Sejauh mana pun Taurat dan Injil diselewengkan, dan sejauh mana pun penyelewengan itu membawa pemeluk Yahudi dan Nasrani ke keimanan yang menyimpang, ujung-ujungnya mereka semua beriman kepada Tuhan dan tunduk kepada perintahNya (dan tetap lebih baik daripada mereka yang tak mengimaniNya). 

Satu pembeda penting antara para ahli kitab dan mereka yang mengingkari Allah dilukiskan di dalam Al Qur’an.  Misalnya, kelompok terakhir digambarkan dengan kalimat berikut: “...sesungguhnya orang-orang musyrik itu adalah najis.  Maka, janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini...” (QS.  At-Taubah, 9: 28) Hal ini karena mereka yang mengingkari Allah tak mengakui hukum Ilahiah, tak memiliki acuan akhlak, dan bisa ringan hati terlibat segala bentuk kejahatan dan penyimpangan.

Sebaliknya, kaum ahli kitab memiliki acuan akhlak tertentu yang bersandarkan wahyu Allah, maupun konsep-konsep apa yang boleh dan apa yang terlarang.  Itulah mengapa kaum Muslim diharamkan memakan makanan yang disiapkan siapa pun selain para ahli kitab (sepanjang memenuhi syarat kehalalan).  Begitu juga, laki-laki Muslim diizinkan menikahi perempuan dari golongan ahli kitab.  Allah berfirman tentang hal ini dalam ayat terkait:

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.  Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka.  (Dan dihalalkan mengawini) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzinah dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.  Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya, dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS.  Al-Maidah, 5: 5)

Aturan-aturan ini menunjukkan bahwa ikatan kasih sayang yang berujung di pernikahan dapat dibangun di antara kaum Muslim dan para ahli kitab, dan masing-masing pihak dapat menerima undangan makan dari yang lain; semua itu memungkinkan terbinanya hubungan antarmanusia yang hangat dan hidup berdampingan yang damai.  Karena Qur’an menganjurkan pandangan yang moderat (tengah-tengah) dan bertenggang rasa seperti itu, tidaklah beralasan bagi kita Muslim menyimpan pemikiran yang bertentangan dengan Qur’an.

Di sisi lain, tempat-tempat ibadah kaum ahli kitab, biara-biara, gereja-gereja, dan sinagog-sinagog, dijelaskan di dalam Al Qur’an berada di bawah perlindungan Allah:

“...dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi, dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.  Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)Nya.  Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS.  Al-Hajj, 22: 40)

Ayat ini menunjukkan bahwa semua Muslim harus menghargai tempat-tempat ibadah kaum ahli kitab, maupun pentingnya melindungi tempat-tempat itu.

Sungguh, jika seseorang mengamati sejarah Islam, ada sebuah kenyataan yang menyolok bahwa para ahli kitab selalu diperlakukan santun dan penuh tenggang rasa di dalam masyarakat Muslim.  Ini khususnya terbukti di zaman Khilafah Utsmaniyah (Ottoman), dari mana negara Turki masa kini berasal.  Merupakan suatu kenyataan yang luas diketahui bahwa kaum Yahudi ditolak tinggal di dan diusir dari negara Katolik Spanyol, namun menemukan kedamaian yang mereka cari di negeri Utsmaniyah.  Ketika merebut Konstantinopel, Sultan Mahmud Sang Penakluk mengizinkan kaum Yahudi dan Nasrani tinggal di sana dengan bebas.  Sepanjang sejarah Khilafah Utsmaniyah, kaum Yahudi dianggap sebagai ahli kitab dan dibiarkan hidup tenteram.

Tak pernah terjadi di dunia Islam praktik-praktik Inkuisisi (pemurnian ajaran – seperti yang dilakukan Katolik Eropa) yang lahir dari kefanatikan agama maupun anti-Semitisme yang lahir dari rasisme, dua hal yang terlihat dalam sejarah Eropa.  Mengenai perseteruan antara kaum Yahudi dan Muslim di Timur Tengah di abad ke-20, itu timbul ketika bangsa Yahudi berpaling kepada ideologi rasis tak-beragama Zionisme, dan kaum Muslim sama sekali tak bertanggung jawab atas hal itu.

Kesimpulannya, mutlak tak dibenarkan bagi kita kaum Muslim, yang berpikir sejalan dengan apa yang digariskan Al Qur’an, untuk memiliki sedikit pun rasa permusuhan kepada kaum Yahudi karena agama atau keimanan mereka.  

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Para Ahli Kitab dalam Al Qur’an"

Post a Comment