Zionisme tak hanya membentuk persekutuan dengan para anti-Semit Jerman. Gerakan ini bercita-cita mendorong semua Yahudi di mana pun pindah ke Palestina. Jadi, pada tahun 1930-an dan 1940-an, para Zionis membuat persekutuan rahasia dengan kekuatan-kekuatan fasis lain. Kesepakatan lain yang paling patut dicatat adalah dengan Mussolini yang kemudian menjadi sekutu terpenting Hitler. Di awal 1920-an, setelah meraih kekuasaan, Mussolini mulai memberlakukan sistem totaliter kanan baru yang disebutnya Fasisme. Ia sangat berminat pada wilayah Laut Tengah (Mediterania), dan akibatnya pada Timur Tengah, sebab sebagian besar daerah itu pernah dikuasai oleh para kaisar Romawi, yang dipandang Mussolini sebagai para pendahulunya. Karena itu, tak mungkin baginya mengabaikan masalah Palestina.
Sejak saat tertarik pada Palestina, Mussolini telah berpihak pada Zionis. Ia mengetahui bahwa Zionisme adalah suatu kepentingan besar, dan bermaksud merebut peran pelindung Zionisme dari Inggris. Brenner melukiskan hubungan antara kaum Zionis dan Mussolini secara rinci dalam bukuya Zionism in the Age of Dictators. Menurut Brenner, kaum Yahudi adalah sebuah faktor penting dalam gerakan Fasis Mussolini. Lima orang Yahudi termasuk di antara para pendiri Fasisme. Sekali berkuasa, Mussolini menunjuk sebagai menteri keuangannya wakil presiden Banca Comerciale Italiana, sebuah bank kuat yang dimiliki orang Yahudi. Dua orang menteri luar negeri Mussolini, Sidney Sonnino dan Carlo Schanzar, adalah keturunan Yahudi.
Pada paruh kedua 1920-an, Mussolini beberapa kali menemui wakil-wakil WZO. Akan tetapi, tak ada catatan tertulis tentang pertemuan-pertemuan ini. Weizmann berupaya tetap merahasiakannya. Brenner menunjukkan bahwa otobiografi Weizmann sengaja disamarkan, dan sering menyesatkan, tentang hubungannya dengan Mussolini. Pada 17 September 1926, Weizmann diundang ke Roma untuk berbicara dengan Mussolini; Mussolini menawarkan untuk membantu kaum Zionis membangun ekonominya dan pers Fasis mulai menerbitkan artikel-artikel yang mendukung tentang Zionisme Palestina. Sebulan kemudian, orang nomor dua WZO, Nahum Sokolow, mengunjungi diktator Italia itu, dan Mussolini kembali menegaskan dukungannya bagi Zionisme. Beberapa tahun kemudian Mussolini, selama sebuah pertemuan dengan utusan Zionis lainnya, mengungkapkan kepuasannya atas keberhasilan pertemuan dengan Weizmann dan dukungannya bagi Zionisme sebagai berikut: “... Namun, Anda harus mendirikan sebuah negara Yahudi. Saya sendiri seorang Zionis dan saya katakan demikian kepada Dr. Weizmann. Anda harus memiliki suatu negara yang sebenarnya (un véritable Etat), bukan Tanah Air Nasional yang janggal sebagaimana ditawarkan Inggris kepada anda. Saya mesti membantu Anda mendirikan sebuah negara Yahudi...”. [huruf-huruf miring sebagaimana naskah aslinya]
Hubungan Mussolini dengan kaum Revisionis lebih menyeluruh dan efektif. Brenner membahas kaitan-kaitan yang menarik ini dalam buku-bukunya Zionism in the Age of Dictators dan The Iron Wall: Zionist Revisionism from Jabotinsky to Shamir (Tembok Besi: Revisionisme Zionis dari Jabotinsky ke Shamir). Menurut Brenner, para Revisionis mulai mencari sekutu baru setelah keluar dari WZO. Italia merupakan calon yang alamiah. Jabotinsky memimpikan sebuah tatanan Laut Tengah baru dalam persekutuan dengan Italia. Ia menjelaskan dalam suatu wawancara: “Kami menginginkan sebuah Kekaisaran Yahudi. Sama seperti Kekaisaran Italia atau Perancis di Laut Tengah, kami inginkan Kekaisaran Yahudi.” Kekaisaran Yahudi itu nantinya mencakup Yordania maupun Palestina, serta sebagian Mesir dan Irak. Jabotinsky menganggap diri versi Yahudi dari Mazzini dan Garibaldi! (Keduanya tokoh nasionalis Italia abad ke-19). Mussolini amat bersimpati kepada para Revisionis. Ia menggambarkan mereka sebagai kaum Fasisnya Zion. Di bulan November 1934, Mussolini mengizinkan Betar, sayap pemuda Jabotinsky, mendaftarkan satu regunya ke akademi maritim di Civitavecchia, yang dikelola oleh Pasukan Seragam Hitam. Para militan Betar berlatih bersama dengan Pasukan Seragam Hitam, dan lalu berangkat ke Palestina untuk berperang dalam pasukan Irgun.
Para Revisionis kian akrab dengan Fasisme. Abba Achimeir dan Wolfgang von Weisl, para pemimpin Revisionis di Palestina, menyarankan agar Jabotinsky disebut Duce (pemimpin atau panglima) mereka, sama seperti orang Italia merujuk ke Mussolini dengan Il Duce. Jabotinsky ingin menyelenggarakan kongres internasional pertama NZO di Trieste, di Italia yang Fasis. Tetapi, tempatnya diubah karena khawatir akan kemarahan masyarakat. Di tahun 1935, Mussolini mengatakan kepada David Prato, yang kemudian menjadi ketua rabbi Roma: “Agar Zionisme berhasil, Anda harus memiliki negara Yahudi, dengan bendera Yahudi dan bahasa Yahudi. Orang yang benar-benar mengerti hal itu adalah orang fasis Anda, Jabotinsky.”
Mesti diingat bahwa para Revisionis juga memuji Hitler dan Nazi. Abba Achimeir mengungkapkan pandangannya dalam sebuah pidato: “Ya, kami para Revisionis amat mengagumi Hitler. Hitler telah menyelamatkan Jerman. Jika tidak, Jerman mungkin punah dalam tempo empat tahun”. Simpati Revisionis pada Nazi bahkan terlihat pada seragam mereka. Para anggota Betar mengenakan seragam coklat yang sama seperti SA-nya Hitler. Di tahun 1931, majalah Amerika mereka, Betar Monthly, menulis:
Ketika [Zionis lain] menyebut kami dengan Revisionis dan Betarim Hitlerit (pengikut Hitler), kami tak merasa terganggu... Jika Herzl seorang Fasis dan Hitlerit, jika suatu mayoritas Yahudi terbentuk di kedua sisi sungai Yordan, jika sebuah negara Yahudi di Palestina yang akan memecahkan masalah-masalah ekonomi, politik, dan budaya bangsa Yahudi, adalah Hitlerisme, maka kami Hitlerit.
Revisionis, polisi-polisi jahat Zionisme, bermain Hitlerisme apa adanya. Di sisi lain, para polisi baik dari WZO mengadakan hubungan terselubung dengan para fasis Jerman dan Italia, yang membawa mereka ke sekutu ketiga: Fransisco Franco. Franco, yang menaklukkan golongan kiri Republik di Spanyol setelah tiga tahun perang saudara di tahun 1939, dan lalu membangun versi fasismenya sendiri, yang disebut Falangisme, telah dibantu oleh Hitler dan Mussolini. Akhirnya, para Zionis menemukan jalan mereka ke sisi Franco. Sementara telah diketahui bahwa banyak orang Yahudi berperang melawan Franco, mereka ini umumnya Yahudi pembaur. Sebagaimana ditunjukkan Lenni Brenner, para Zionis tak pernah mendukung Yahudi yang melawan Franco; sebaliknya, para Zionis sangat menentang mereka. Satu alasan dari sikap Zionis ini mungkin adalah jatidiri Franco yang sebenarnya. Shalom, sebuah majalah bagi Yahudi Turki melaporkan pada 29 April 1992 bahwa Franco adalah keturunan Yahudi dan leluhurnya adalah Marrano (sebutan bagi orang Yahudi yang beralih ke Nasrani di Spanyol abad pertengahan). Dalam buku The World Order: Our Secret Rulers, sejarawan Amerika Eustace Mullins menulis bahwa penyokong dana utama bagi Franco, yakni Juan March, juga seorang Marrano.
Sampai di sini kita telah membahas hubungan Zionis dengan Hitler, Mussolini, dan Franco. Akan tetapi, para ekstrimis kanan tak terbatas pada para pendukung ketiga orang itu. Di seluruh Eropa, dari Spanyol sampai Austria, dari Polandia hingga Rumania, terdapat banyak gerakan fasis yang menjadikan Hitler atau Mussolini sebagai teladan mereka. Di tahun 1920-an dan 1930-an, mereka tumbuh kian kuat. Ini berarti sekutu-sekutu baru bagi Zionisme.
0 Response to "Mussolini, Fasisme Italia, dan Zionisme"
Post a Comment