A. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1 Kerangka Teoritis
1) Otonomi Daerah
Pengertian otonomi daerah yang melekat dalam keberadaan pemerintah daerah, juga sangat berkaitan dengan desentralisasi. Baik pemerintahan daerah, desentralisasi maupun otonomi daerah, adalah bagian dari suatu kebijakan dan praktek penyelenggaraan pemerintahan, tujuannya adalah demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang tertib, maju dan sejahtera, setiap orang bias hidup tenang, nyaman, wajar oleh karena memperoleh kemudahan dalam segala hal di bidang pelayanan masyarakat.[1]
Oleh karena itu keperluan otonomi di tingkat lokal pada hakekatnya adalah untuk memperkecil intevensi pemerintah pusat kepada daerah. Dalam Negara Kesatuan (unitarisme) otonomi daerah itu diberikan oleh pemerintah pusat (central government), sedangkan pemerintah daerah hanya menerima penyerahan dari pemerintah pusat.[2] Berbeda halnya dengan otonomi daerah di Negara federal, dimana otonomi daerah sudah melekat pada negara-negara bagian.
Secara normatif, penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pihak lain (pemerintah daerah) untuk dilaksanakan disebut dengan desentralisasi. Desentralisasi sebagai suatu system yang dipakai dalam system pemerintahan merupakan kebalikan sentralisasi. Dalam system sentralisasi, kewenangan pemerintah baik di pusat maupun di daerah, dipusatkan dalam tangan pemerintahan pusat.[3]
Dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan negara yang menganut prinsip pemencaran kekuasaan secara vertikal, membagi kewenangan kepada pemerintah daerah bawahan dalam bentuk penyerahan kewenangan. Penerapan prinsip ini melahirkan model pemerintahan daerah yang menghendaki adanya otonomi dalam penyelenggaraannya. Dalam sistem ini, kekuasaan negara terbagi antara pemerintah pusat di satu pihak dan pemerintah daerah di lain pihak. Penerapan pembagian kekuasaan dalam rangka penyerahan kewenangan otonomi daerah, antara negara yang satu dengan negara yang lain tidak sama, termasuk Indonesia yang menganut negara kesatuan.[4]
Philip Mawhood menyatakan desentralisasi adalah pembagian dari sebagian kekuasaan pemerintah oleh kelompok yang berkuasa di pusat terhadap kelompok-kelompok lain yang masing-masing memiliki otorisasi dalam wilayah tertentu suatu negara.[5]
Sementara itu, B.C. Smith mendefenisikan desentralisasi sebagai proses melakukan pendekatan kepada pemerintah daerah yang mensyaratkan terdapatnya pendelagasian kekuasaan (power) kepada pemerintah bawahan dan pembagian kekuasaan kepada daerah. Pemerintah pusat diisyaratkan untuk menyerahkan kekuasaan kepada Pemerintah Daerahseagai wujud pelaksanaan desentralisasi.[6]
Tujuan desentralisasi secara umum oleh Smith dibedakan atas 2 (dua) tujuan utama, yakni tujuan politik dan ekonomis. Secara politis, tujuan desentralisasi antara lain untuk memperkuat pemerintah daerah, untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan politik para penyelenggara pemerintah dan masyarakat, dan untuk mempertahankan integritas nasional. Sedangkan secara ekonomi, tujuan desentralisasi, antara lain adalah untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan public good and service, serta untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pembangunan ekonomi di daerah.[7]
Sedangkan D. Juliantara, dkk memberikan pengertian desentralisasi dengan merujuk pada asal katanya, bahwa istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin, de artinya lepas dan centrum artinya pusat.[8] Lebih jauh ia menyebutkan desentralisasi yang dimaknai dalam konteks yang lebih luas, bahwa konstek negara-negara demokrasi modern, kekuasaan politik diperoleh melalui pemilihan umum yang diselenggarakan secara regular dan serentak di setiap daerah untuk memberikan legitimasi terhadap tugas dan wewenang lembaga-lembaga politik di tingkat nasional dan juga di tingkat local sendiri. Dengan kata lain, kekuasaan pemerintah daerahlah yang memintah dan menarik kembali sebagian kewenangan yang telah diberikan kepada pemerintah pusat, bukan karena kebaikan hati pemerintah pusat.[9]
Dengan demikian jelaslah, bahwa desentralisasi akan melahirkan otonomi daerah dan bahkan kadangkala sulit untuk membedakan pengertian diantara keduanya secara terpisah. “Desentralisasi dan otonomi daerah bagaikan dua sisi mata uang yang saling memberi makna satu sama lainnya. Lebih spesifik, ungkin tidak berlebihan ila dikatakan ada atau tidaknya otonomi daerah sangat ditentukan oleh beberapa jauh wewenang yang telah didesentralisasikan oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah. Itulah sebabnya, dalam studi Pemerintahan Daerah, para analis sering menggunakan istilah desentralisasi dan otonomi daerah secara bersamaan, interchange”.
Adanya otonomi daerah dalam negara, dilatarbelakangi oleh pengalaman masa lalu dimana keberadaan negara hanya dianggap sebagai instrument oleh kaum kapitalis. Kondisi ini kemudian melahirkan konsep Marxis tentang Instrumental State. Demikian halnya paham Sosialis yang menghendaki adanya otonomi dari pengaruh partai politik (partai komunis) yang cenderung mengintervensikan kehidupan negara. Dalam hubungan ini negara menginginkan otonomi untuk memperkecil dan bahkan menghilangkan pengaruh-pengaruh ataupun intervensi kaum-kaum kapitalis dan sosialis. Berbeda halnya dengan pemberian otonomi dengan pemerintah local, yaitu untuk memperbesar kewenangan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.[10]
Oleh karena itu, keperluan otonomi di tingkat local pada hakikatnya adalah untuk memperkecil intervensi pemerintah pusat kepada daerah. Dalam negara kesatuan (unitarisme) otonomi daerah itu diberikan oleh pemerintah pusat (central government), sedangkan pemerintah daerah hanya menerima penyerahan dari pemerintah pusat. Berbeda halnya dengan otonomi daerah di negara federal, di mana otonomi daerah sudah melekat pada negara-negara bagian.
Reuter, mengemukakan, desentralisasi adalah sebagian pengakuan atas penyerahan wewenang oleh badan-badan umum yang lebih tinggi kepada badan-badan umum yang lebih rendah untuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan kepentingan sendiri mengambil keputusan pengaturan dalam pemerintahan, serta struktur wewenang yang terjadi. Dalam hal itu Rondineli, mengatakn bahwa desentralisasi dari arti luas mencakup setiap penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat baik kepada daerah maupun kepada pejabat pemerintah pusat yang ditugaskan di daerah.[11]
Koeswara, mengemukakan, bahwa pengertian desentralisasi pada dasarnya mempunyai makan bahwa melalui proses desentralisasi urusan-urusan pemerintahan yang semua termasuk wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat, sebagian diserahkan kepada badan/lembaga pemerintahan di daerah.[12]
Prakarsa untuk menemukan prioritas, memilih alternatif dan mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan daerahnya, baik dalam hal menentukan kebijaksanaan, perencanaan, maupun pelaksanaan sepenuhnya diserahkan kepada daerah.
Lebih dalam lagi, bila kita cermati prinsip-prinsip hukum dalam pengelolaan masalah-masalah bangsa (nation affairs) ke depan governance dikatakan baik (good atau sound) apabila sumber daya dan masalah-masalah publik dikelola secara efektif dan efisien serta aspiratif yang didasarkan kepada transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat serta rule of law.
Oleh karena itu pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah layanan tersebut perlu memperhatikan prinsip-prinsip hukum pengelolaan sumber daya yang dimiliki, seperti prinsip good governance, subsidiarity, equity, privaty use, prier appropriation (first in time, first in right), sustainable development, good sustainable development govermance dan participatory development.
Menurut peneliti prinsip subsidiarity dalam pelaksanaan otonomi daerah dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat relevan dan tepat dipedomani dan diterapkan dalam pengelolaan sumber daya pendapatan daerah, karena menurut teori subsidiarity secara lugas dan tegas dikatakan bahwa kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah tingkat lebih atas (pusat) kepada pemerintah tingkat lebih rendah (seperti provinsi dan atau kabupaten/kota) akan dapat ditarik kembali oleh tingkat lebih atas bila ternyata tingkat lebih rendah yang menerimanya tidak dapat melaksanakan kewenangan (urusan/administrasi)-nya sebagai mana mestinya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemampuan pemerintah provinsi dalam menjalankan urusan otonomi daerahnya di bidang perpajakan including/ termasuk di dalamnya pemberian pelayanan publik yang baik terhadap wajib pajak sektor tertentu jelas akan menjadi ukuran tingkat kemampuan yang realistas bagi suatu pemerintah provinsi tersebut.
Artinya bila pemerintah provinsi ternyata tidak mampu mengelola kewenangan dan administrasi pengelolaannya dengan baik, maka pemerintah pusat memiliki otoritas penuh untuk menarik kembali penyerahan/pemberian kewenangan untuk mengelola urusan seperti kewenangan mengelola/memungut pajak daerah tertentu.
Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat memahami bahwa salah satu tujuan otonomi yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang semakin baik. Untuk itu dengan desentralisasi diharapkan daerah akan memberikan pelayanan yang lebih baik dibandingkan dengan sistem sentralistik. Pelayanan pemerintah dengan sistem sentralistik. Pelayanan pemerintah di era otonomi, diharapkan akan lebih baik dan aspiratif, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sasaran dari kemandirian daerah adalah agar daerah dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Kertergantungan daerah terhadap pusat dalam pengambilan berbagai keputusan publik diminimalkan. Diharapkan keputusan publik yang dibuat oleh daerah bagi kepentingan masyarakatnya akan lebih cermat, lebih tepat dan lebih cepat atau dengan kata lain pelayanan akan lebih berdaya guna dan berhasil guna.[13]
Kemandirian daerah ini adalah dimaksudkan untuk tujuan pemberian pelayanan yang efisien, partisipatif dan akhirnya peningkatan daya saing daerah. Keputusan publik yang cermat, tepat dan cepat itu adalah merupakan cerminan dari efisiensi pelayanan. Pendirian sebuah sekolah dikatakan efisien bila daya tampungnya terpenuhi. Keputusan pembuatan jalan raya efisien bila jalan tersebut bermanfaat oleh masyarakat yang ada di sekitarnya. Begitu juga halnya dengan pendirian rumah sakit pada lokasi tertentu.
Dalam rangka itu reposisi daerah hendaknya dipahami sebgai upaya mengaktualisasikan berbagai potensi dan aspirasi masyarakat daerah, sehingga rakyat di daerah dapat mengekspresikan kepentingan dan kehendaknya. Untuk itu pemerintah daerah perlu menyusun kerangka kerja yang memungkinkan terserapnya berbagai potensi dan aspirasi rakyat terutama prinsip pelayanan.
Mengingat tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga sistem ketertiban di dalam masyarakat, sehingga bisa menjalani kehidupannya secara wajar. Pemerintah diadakan tidaklah untuk melayani dirinya sendiri tetapi juga untuk melayani masyarakat,[14] dalam mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai tujuan bersama.
Untuk mencapai pelaksanaan pelayanan umum tersebut dibutuhkan oaparatur yang berkualitas, memiliki kemampuan dalam melayani, memenuhi kebutuhan, menanggapi keluhan masyarakat secara memuaskan, sesuai dengan ekspektasi (harapan) mereka melalui kebijaksanaan, perangkat hukum yang berfungsi sebagai acuan dalam pengendalian, pengaturan agar kekuatan sosial dan aktivitas masyarakat tidak membahayakan negara dan bangsa.
Teori pemerintahan modern mengajarkan bahwa untuk mewujudkan good governance perlu dijalankan desentralisasi pemerintahan.[15] Dengan desentralisasi pemerintahan maka pemerintahan akan semakin dekat dengan rakyat. Asumsinya pemerintahan yang dekat denagn rakyat, maka pelayanan yang diberikan menjadi lebih cepat, hemat, murah, responsif, inovatif, akomodatif dan produktif. Ryaas Rasyid mengatakan ”the closer givernment, the better it service”.[16] Dalam desentralisasi terkandung makna otonomi dan demokratisasi. Dua kata tersebut yakni otonomi dan demokrasi tidak mungkin dipisahkan, ia ibarat dua sisi mata uang yang satu dan yang lain saling memberi nilai. Otonomi tanpa demokratisasi merupakan suatu keniscayaan[17] dan sebaliknya demokratisasi tanpa otonomi adalah kebohongan. Dalam sejarah otonomi di Indonesia sejak kemerdekaan memang sarat dengan kebohongan. Yuridis formal dalam undang-undang pemerintahan daerah otonomi diakui, tetapi dalam implementasinya terjadi pemasungan-pemasungan melalui filter-filter yuridis peraturan pelaksanaan undang-undang tersebut, akibatnya kemandirian dan otoaktivitas daerah menjadi tersumbat. Hal itulah yang kemudian melahirkan resistensi daerah terhadap pusat yang sangat menguras energi menyelesaikannya. Adanya otonomi kebijakan otonomi khusus bagi Propinsi Aceh dan Irian Jaya memang lahir di tengah derasnya tuntutan disintegrasi. Hal itu jika pusat menyadari secara filosofis dan sosiologis otonomi yang dibangun bikan linear atau simetris tetapi suatu asymmetric decentralization.[18]
2) Pelayanan Umum
Pelayanan pemerintahan daerah merupakan tugas dan fungsi utama pemerintah daerah. Hal ini berkaitan dengan fungsi dan tugas pemerintahan secara umum, yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan pemberian pelayanan yang baik kepada masyarakat, maka pemerintah akan dapat mewujudkan tujuan negara yaitu menciptakan kesejahteraan masyarakat. Pelayanan kepada masyarakat tersebut terintegrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.[19] Pelayanan publik berhubungan dengan pelayanan yang masuk kategori sektor publik, bukan sektor privat. Pelayanan tersebut dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan BUMN/BUMD. Ketiga komponen yang menangani sektor publik tersebut menyediakan layanan publik, seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, dan ketertiban, bantuan sosial dan penyiaran.[20] Dengan demikian yang dimaksud pelayanan publik adalah pelayanan yang diberikan oleh negara/daerah dan perusahaan milik negara kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah baik pusat maupun daerah mempunyai tiga fungsi utama : 1) memberikan pelayanan (service) baik pelayanan perorangan maupun pelayanan publik/khalayak, 2) melakukan pembangunan fasilitas ekonomi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (development for economic growth), dan 3) memberikan perlindungan (protective) masyarakat.[21] Sebagai fungsi public services, pemerintah wajib memberikan pelayanan publik secara perorangan maupun khalayak/publik. Pelayanan untuk orang perorangan misalnya pemberian KTP, SIM, IMB, Sertifikat tanah, paspor, surat izin dan keterangan. Pelayanan publik misalnya pembuatan lapangan sepakbola, taman kota, hutan lindung, trotoar, waduk, taman nasional, panti anak yatim/jompo/cacat/miskin, tempat pedagang kaki lima dan lain-lain.[22]
Oleh karena itu pemerintah daerah wajib memberikan pelayanan perorangan dengan biaya murah, cepat dan baik, harus mendapatkan pelayanan yang sama. Disamping itu juga harus diperlakukan oleh petugas dengan sikap yang sopan dan ramah. Semua orang tanpa kecuali baik kaya, miskin, pejabat, orang biasa, orang desa atau kota, harus diperlakukan sama.
Tidak boleh dibeda-bedakan baik dengan sikap, biaya maupun waktu penyelesaian. Pelayanan pemerintah daerah kepada khalayak juga harus adil dan merata. Pemerintah Daerah tidak boleh menganakemaskan atau menganaktirikan kelompok masyarakat tertentu, sehingga yang satu diberi lebih dan yang lain diberi sedikit.[23]
Dengan demikian pelayanan publik oleh pemerintah daerah harus dapat memuaskan publik. Untuk mengetahui sejauh mana kualitas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah bisa diukur dengan indikator-indikator : mudah, murah, cepat, tidak berbelit, petugasnya murah senyum, petugasnya membantu jika ada kesulitan, adil dan merata serta memuaskan.
3) Kualitas Pelayanan
Vincent Gesperz, mengemukakan bahwa kualitas pelayanan, meliputi dimensi-dimensi berikut :[24]
- Ketaatan waktu pelayanan, berkaitan dengan waktu tunggu dan waktu proses
- Akurasi pelayanan, berkaitan dengan keakuratan pelayanan dan bebas dari kesalahan-kesalahan.
- Kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan, berkaitan dengan prilaku orang-orang yang berintegrasi langsung kepada pelanggan eksternal.
- Tanggung jawab, berkaitan dengan penerimaan pesanan dan penanganan keluhan pelanggan eksternal (masyarakat).
- Kemudahan mendapatkan pelayanan, berkaitan dengan banyaknya petugas yang melayani dan fasilitas pendukung.
- Kenyamanan mendapat pelayanan, berkaitan dengan lokasi, ruangan tempat pelayanan, tempat parkir, ketersediaan informasi dan petunjuk panduan lainnya.
- Atribut pendukung lainnya, seperti lingkungan, kebersihan, ruang tunggu, fasilitas musik, AC, dan lain-lain.
Vincent Gesperz juga mengemukakan manajemen perbaikan kualitas yang dikenal dengan konsep Vincent.
Konsep ini terdiri dari strategi perbaikan kualitas yaitu :
- Visionary transformation (tranformasi misi)
- Infrastructure (infrastruktur)
- Need for Improvement (kebutuhan untuk perbaikan)
- Customer Focus (Fokus Pelanggan)
- Empowerment (Pemberdayaan)
- NewViews of Quality (pandangan baru tentang kualitas)
- Top Management ( Komitmen manajemen puncak)
[1] Parjoko, Filosofi Otonomi Daerah Dikaitkan dengan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Nomor 25 Tahun 1999, makalah, Makalah Falsafah Sains (Pps 720) Program Pascasarjana/S3 Institut Pertanian Bogor, Februari, 2002, hal. 1.
[2] Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Pustaka SInar Harapan, Jakarta, Cetakan 1, Juli, 1999.
[3] Soetijo, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, PT Rineka Ripta, Jakarta, 1990.
[4] Bambang Yudoyono, makalah Telaah Kritis Implementasi UU NO. 22/1999, Upaya Mencegah Desintegrasi Bangsa, disampaikan pada seminar dalam rangka kongres ISMAHI di Bengkulu, 22 Mei 2000.
[5] Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
[6] Ibid.
[7] Syarif Hidayat (editor), Kegamangan Otonomi Daerah? Pustaka Quantum, Jakarta, 2004.
[8] D. Juliantara, dkk. Desentralisasi Kerakyatan, Gagasan da Praksis, Pondok Edukasi, Bantul, 2006.
[9] Ibid.
[10] Sarundajang, op cit.
[11] Oentara Sm, dkk, Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan, Samitra Media Utama, Jakarta, 2004.
[12] Koeswara, Prospek Pengembangan desentralisasi dan Otonomi Daerah dengan Titik Berat pada Daerah Tingkat II, Badan Pendidikan dan Latihan Departemen Dalam Negeri, 1996.
[13] Syahruddin dan Werry Darta Taifur, Peranan DPRD untuk Mencapai Tujuan Desentralisasi dan Perspektif tentang Pelaksanaan Desentralisasi, Laporan penelitian Iris Indonesia dan Pusat Studi Kependudukan UNAND Padang, Tahun 2002, hal. 28.
[14] Ryaas Rasyid, Makna Pemerintahan : Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan, PT. Yarsif Watampone, Jakarta, 1997.
[15] Baca David Osborne dan Ted Gaebler, Reinventing Government, 1993, hal. 250 dst.
[16] M. Ryaas Rasyid, Desentralisasi dalam Rangka Menunjang Pembangunan Daerah, dalam Administrasi Pembangunan Indonesia, LP3ES, 1998, hal. 140.
[17] Yuslim, Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II, Tesis, Pascasarjana Unpad, 1997. Kasus Pemilihan Gubernur Riau tanggal 2 September 1985 di mana Ismail Suko yang memperoleh dukungan DPRD dengan 19 suara, sementara H. Imam Munandar yang memperoleh dukungan 17 suara, karena kuatnya arus sentralisasi Ismail Siko menyatakan mundur dari pencalonan Gubernur setelah diminta menghadap Ketua Golkar, waktu itu Wakil Presiden Sudarmono.
[18] Kebijakan otonomi yang uniformitas tidak sesuai dengan esensi kebhinekaan di Indonesia, dan juga tidak sesuai dengan ajaran rumah tangga riil.
[19] Hanif Nurcholish, Teori dan Pratek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PT. Grasindo, 2005, hal. 175.
[20] Ibid, hal. 176.
[21] Ibid, hal. 178.
[22] Ibid.
[23] Ibid, hal. 182.
[24] Ditjen Pemerintahan Umum, op.cit.
1 Kerangka Teoritis
1) Otonomi Daerah
Pengertian otonomi daerah yang melekat dalam keberadaan pemerintah daerah, juga sangat berkaitan dengan desentralisasi. Baik pemerintahan daerah, desentralisasi maupun otonomi daerah, adalah bagian dari suatu kebijakan dan praktek penyelenggaraan pemerintahan, tujuannya adalah demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang tertib, maju dan sejahtera, setiap orang bias hidup tenang, nyaman, wajar oleh karena memperoleh kemudahan dalam segala hal di bidang pelayanan masyarakat.[1]
Oleh karena itu keperluan otonomi di tingkat lokal pada hakekatnya adalah untuk memperkecil intevensi pemerintah pusat kepada daerah. Dalam Negara Kesatuan (unitarisme) otonomi daerah itu diberikan oleh pemerintah pusat (central government), sedangkan pemerintah daerah hanya menerima penyerahan dari pemerintah pusat.[2] Berbeda halnya dengan otonomi daerah di Negara federal, dimana otonomi daerah sudah melekat pada negara-negara bagian.
Secara normatif, penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pihak lain (pemerintah daerah) untuk dilaksanakan disebut dengan desentralisasi. Desentralisasi sebagai suatu system yang dipakai dalam system pemerintahan merupakan kebalikan sentralisasi. Dalam system sentralisasi, kewenangan pemerintah baik di pusat maupun di daerah, dipusatkan dalam tangan pemerintahan pusat.[3]
Dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan negara yang menganut prinsip pemencaran kekuasaan secara vertikal, membagi kewenangan kepada pemerintah daerah bawahan dalam bentuk penyerahan kewenangan. Penerapan prinsip ini melahirkan model pemerintahan daerah yang menghendaki adanya otonomi dalam penyelenggaraannya. Dalam sistem ini, kekuasaan negara terbagi antara pemerintah pusat di satu pihak dan pemerintah daerah di lain pihak. Penerapan pembagian kekuasaan dalam rangka penyerahan kewenangan otonomi daerah, antara negara yang satu dengan negara yang lain tidak sama, termasuk Indonesia yang menganut negara kesatuan.[4]
Philip Mawhood menyatakan desentralisasi adalah pembagian dari sebagian kekuasaan pemerintah oleh kelompok yang berkuasa di pusat terhadap kelompok-kelompok lain yang masing-masing memiliki otorisasi dalam wilayah tertentu suatu negara.[5]
Sementara itu, B.C. Smith mendefenisikan desentralisasi sebagai proses melakukan pendekatan kepada pemerintah daerah yang mensyaratkan terdapatnya pendelagasian kekuasaan (power) kepada pemerintah bawahan dan pembagian kekuasaan kepada daerah. Pemerintah pusat diisyaratkan untuk menyerahkan kekuasaan kepada Pemerintah Daerahseagai wujud pelaksanaan desentralisasi.[6]
Tujuan desentralisasi secara umum oleh Smith dibedakan atas 2 (dua) tujuan utama, yakni tujuan politik dan ekonomis. Secara politis, tujuan desentralisasi antara lain untuk memperkuat pemerintah daerah, untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan politik para penyelenggara pemerintah dan masyarakat, dan untuk mempertahankan integritas nasional. Sedangkan secara ekonomi, tujuan desentralisasi, antara lain adalah untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan public good and service, serta untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pembangunan ekonomi di daerah.[7]
Sedangkan D. Juliantara, dkk memberikan pengertian desentralisasi dengan merujuk pada asal katanya, bahwa istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin, de artinya lepas dan centrum artinya pusat.[8] Lebih jauh ia menyebutkan desentralisasi yang dimaknai dalam konteks yang lebih luas, bahwa konstek negara-negara demokrasi modern, kekuasaan politik diperoleh melalui pemilihan umum yang diselenggarakan secara regular dan serentak di setiap daerah untuk memberikan legitimasi terhadap tugas dan wewenang lembaga-lembaga politik di tingkat nasional dan juga di tingkat local sendiri. Dengan kata lain, kekuasaan pemerintah daerahlah yang memintah dan menarik kembali sebagian kewenangan yang telah diberikan kepada pemerintah pusat, bukan karena kebaikan hati pemerintah pusat.[9]
Dengan demikian jelaslah, bahwa desentralisasi akan melahirkan otonomi daerah dan bahkan kadangkala sulit untuk membedakan pengertian diantara keduanya secara terpisah. “Desentralisasi dan otonomi daerah bagaikan dua sisi mata uang yang saling memberi makna satu sama lainnya. Lebih spesifik, ungkin tidak berlebihan ila dikatakan ada atau tidaknya otonomi daerah sangat ditentukan oleh beberapa jauh wewenang yang telah didesentralisasikan oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah. Itulah sebabnya, dalam studi Pemerintahan Daerah, para analis sering menggunakan istilah desentralisasi dan otonomi daerah secara bersamaan, interchange”.
Adanya otonomi daerah dalam negara, dilatarbelakangi oleh pengalaman masa lalu dimana keberadaan negara hanya dianggap sebagai instrument oleh kaum kapitalis. Kondisi ini kemudian melahirkan konsep Marxis tentang Instrumental State. Demikian halnya paham Sosialis yang menghendaki adanya otonomi dari pengaruh partai politik (partai komunis) yang cenderung mengintervensikan kehidupan negara. Dalam hubungan ini negara menginginkan otonomi untuk memperkecil dan bahkan menghilangkan pengaruh-pengaruh ataupun intervensi kaum-kaum kapitalis dan sosialis. Berbeda halnya dengan pemberian otonomi dengan pemerintah local, yaitu untuk memperbesar kewenangan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.[10]
Oleh karena itu, keperluan otonomi di tingkat local pada hakikatnya adalah untuk memperkecil intervensi pemerintah pusat kepada daerah. Dalam negara kesatuan (unitarisme) otonomi daerah itu diberikan oleh pemerintah pusat (central government), sedangkan pemerintah daerah hanya menerima penyerahan dari pemerintah pusat. Berbeda halnya dengan otonomi daerah di negara federal, di mana otonomi daerah sudah melekat pada negara-negara bagian.
Reuter, mengemukakan, desentralisasi adalah sebagian pengakuan atas penyerahan wewenang oleh badan-badan umum yang lebih tinggi kepada badan-badan umum yang lebih rendah untuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan kepentingan sendiri mengambil keputusan pengaturan dalam pemerintahan, serta struktur wewenang yang terjadi. Dalam hal itu Rondineli, mengatakn bahwa desentralisasi dari arti luas mencakup setiap penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat baik kepada daerah maupun kepada pejabat pemerintah pusat yang ditugaskan di daerah.[11]
Koeswara, mengemukakan, bahwa pengertian desentralisasi pada dasarnya mempunyai makan bahwa melalui proses desentralisasi urusan-urusan pemerintahan yang semua termasuk wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat, sebagian diserahkan kepada badan/lembaga pemerintahan di daerah.[12]
Prakarsa untuk menemukan prioritas, memilih alternatif dan mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan daerahnya, baik dalam hal menentukan kebijaksanaan, perencanaan, maupun pelaksanaan sepenuhnya diserahkan kepada daerah.
Lebih dalam lagi, bila kita cermati prinsip-prinsip hukum dalam pengelolaan masalah-masalah bangsa (nation affairs) ke depan governance dikatakan baik (good atau sound) apabila sumber daya dan masalah-masalah publik dikelola secara efektif dan efisien serta aspiratif yang didasarkan kepada transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat serta rule of law.
Oleh karena itu pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah layanan tersebut perlu memperhatikan prinsip-prinsip hukum pengelolaan sumber daya yang dimiliki, seperti prinsip good governance, subsidiarity, equity, privaty use, prier appropriation (first in time, first in right), sustainable development, good sustainable development govermance dan participatory development.
Menurut peneliti prinsip subsidiarity dalam pelaksanaan otonomi daerah dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat relevan dan tepat dipedomani dan diterapkan dalam pengelolaan sumber daya pendapatan daerah, karena menurut teori subsidiarity secara lugas dan tegas dikatakan bahwa kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah tingkat lebih atas (pusat) kepada pemerintah tingkat lebih rendah (seperti provinsi dan atau kabupaten/kota) akan dapat ditarik kembali oleh tingkat lebih atas bila ternyata tingkat lebih rendah yang menerimanya tidak dapat melaksanakan kewenangan (urusan/administrasi)-nya sebagai mana mestinya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemampuan pemerintah provinsi dalam menjalankan urusan otonomi daerahnya di bidang perpajakan including/ termasuk di dalamnya pemberian pelayanan publik yang baik terhadap wajib pajak sektor tertentu jelas akan menjadi ukuran tingkat kemampuan yang realistas bagi suatu pemerintah provinsi tersebut.
Artinya bila pemerintah provinsi ternyata tidak mampu mengelola kewenangan dan administrasi pengelolaannya dengan baik, maka pemerintah pusat memiliki otoritas penuh untuk menarik kembali penyerahan/pemberian kewenangan untuk mengelola urusan seperti kewenangan mengelola/memungut pajak daerah tertentu.
Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat memahami bahwa salah satu tujuan otonomi yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang semakin baik. Untuk itu dengan desentralisasi diharapkan daerah akan memberikan pelayanan yang lebih baik dibandingkan dengan sistem sentralistik. Pelayanan pemerintah dengan sistem sentralistik. Pelayanan pemerintah di era otonomi, diharapkan akan lebih baik dan aspiratif, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sasaran dari kemandirian daerah adalah agar daerah dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Kertergantungan daerah terhadap pusat dalam pengambilan berbagai keputusan publik diminimalkan. Diharapkan keputusan publik yang dibuat oleh daerah bagi kepentingan masyarakatnya akan lebih cermat, lebih tepat dan lebih cepat atau dengan kata lain pelayanan akan lebih berdaya guna dan berhasil guna.[13]
Kemandirian daerah ini adalah dimaksudkan untuk tujuan pemberian pelayanan yang efisien, partisipatif dan akhirnya peningkatan daya saing daerah. Keputusan publik yang cermat, tepat dan cepat itu adalah merupakan cerminan dari efisiensi pelayanan. Pendirian sebuah sekolah dikatakan efisien bila daya tampungnya terpenuhi. Keputusan pembuatan jalan raya efisien bila jalan tersebut bermanfaat oleh masyarakat yang ada di sekitarnya. Begitu juga halnya dengan pendirian rumah sakit pada lokasi tertentu.
Dalam rangka itu reposisi daerah hendaknya dipahami sebgai upaya mengaktualisasikan berbagai potensi dan aspirasi masyarakat daerah, sehingga rakyat di daerah dapat mengekspresikan kepentingan dan kehendaknya. Untuk itu pemerintah daerah perlu menyusun kerangka kerja yang memungkinkan terserapnya berbagai potensi dan aspirasi rakyat terutama prinsip pelayanan.
Mengingat tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga sistem ketertiban di dalam masyarakat, sehingga bisa menjalani kehidupannya secara wajar. Pemerintah diadakan tidaklah untuk melayani dirinya sendiri tetapi juga untuk melayani masyarakat,[14] dalam mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai tujuan bersama.
Untuk mencapai pelaksanaan pelayanan umum tersebut dibutuhkan oaparatur yang berkualitas, memiliki kemampuan dalam melayani, memenuhi kebutuhan, menanggapi keluhan masyarakat secara memuaskan, sesuai dengan ekspektasi (harapan) mereka melalui kebijaksanaan, perangkat hukum yang berfungsi sebagai acuan dalam pengendalian, pengaturan agar kekuatan sosial dan aktivitas masyarakat tidak membahayakan negara dan bangsa.
Teori pemerintahan modern mengajarkan bahwa untuk mewujudkan good governance perlu dijalankan desentralisasi pemerintahan.[15] Dengan desentralisasi pemerintahan maka pemerintahan akan semakin dekat dengan rakyat. Asumsinya pemerintahan yang dekat denagn rakyat, maka pelayanan yang diberikan menjadi lebih cepat, hemat, murah, responsif, inovatif, akomodatif dan produktif. Ryaas Rasyid mengatakan ”the closer givernment, the better it service”.[16] Dalam desentralisasi terkandung makna otonomi dan demokratisasi. Dua kata tersebut yakni otonomi dan demokrasi tidak mungkin dipisahkan, ia ibarat dua sisi mata uang yang satu dan yang lain saling memberi nilai. Otonomi tanpa demokratisasi merupakan suatu keniscayaan[17] dan sebaliknya demokratisasi tanpa otonomi adalah kebohongan. Dalam sejarah otonomi di Indonesia sejak kemerdekaan memang sarat dengan kebohongan. Yuridis formal dalam undang-undang pemerintahan daerah otonomi diakui, tetapi dalam implementasinya terjadi pemasungan-pemasungan melalui filter-filter yuridis peraturan pelaksanaan undang-undang tersebut, akibatnya kemandirian dan otoaktivitas daerah menjadi tersumbat. Hal itulah yang kemudian melahirkan resistensi daerah terhadap pusat yang sangat menguras energi menyelesaikannya. Adanya otonomi kebijakan otonomi khusus bagi Propinsi Aceh dan Irian Jaya memang lahir di tengah derasnya tuntutan disintegrasi. Hal itu jika pusat menyadari secara filosofis dan sosiologis otonomi yang dibangun bikan linear atau simetris tetapi suatu asymmetric decentralization.[18]
2) Pelayanan Umum
Pelayanan pemerintahan daerah merupakan tugas dan fungsi utama pemerintah daerah. Hal ini berkaitan dengan fungsi dan tugas pemerintahan secara umum, yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan pemberian pelayanan yang baik kepada masyarakat, maka pemerintah akan dapat mewujudkan tujuan negara yaitu menciptakan kesejahteraan masyarakat. Pelayanan kepada masyarakat tersebut terintegrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.[19] Pelayanan publik berhubungan dengan pelayanan yang masuk kategori sektor publik, bukan sektor privat. Pelayanan tersebut dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan BUMN/BUMD. Ketiga komponen yang menangani sektor publik tersebut menyediakan layanan publik, seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, dan ketertiban, bantuan sosial dan penyiaran.[20] Dengan demikian yang dimaksud pelayanan publik adalah pelayanan yang diberikan oleh negara/daerah dan perusahaan milik negara kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah baik pusat maupun daerah mempunyai tiga fungsi utama : 1) memberikan pelayanan (service) baik pelayanan perorangan maupun pelayanan publik/khalayak, 2) melakukan pembangunan fasilitas ekonomi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (development for economic growth), dan 3) memberikan perlindungan (protective) masyarakat.[21] Sebagai fungsi public services, pemerintah wajib memberikan pelayanan publik secara perorangan maupun khalayak/publik. Pelayanan untuk orang perorangan misalnya pemberian KTP, SIM, IMB, Sertifikat tanah, paspor, surat izin dan keterangan. Pelayanan publik misalnya pembuatan lapangan sepakbola, taman kota, hutan lindung, trotoar, waduk, taman nasional, panti anak yatim/jompo/cacat/miskin, tempat pedagang kaki lima dan lain-lain.[22]
Oleh karena itu pemerintah daerah wajib memberikan pelayanan perorangan dengan biaya murah, cepat dan baik, harus mendapatkan pelayanan yang sama. Disamping itu juga harus diperlakukan oleh petugas dengan sikap yang sopan dan ramah. Semua orang tanpa kecuali baik kaya, miskin, pejabat, orang biasa, orang desa atau kota, harus diperlakukan sama.
Tidak boleh dibeda-bedakan baik dengan sikap, biaya maupun waktu penyelesaian. Pelayanan pemerintah daerah kepada khalayak juga harus adil dan merata. Pemerintah Daerah tidak boleh menganakemaskan atau menganaktirikan kelompok masyarakat tertentu, sehingga yang satu diberi lebih dan yang lain diberi sedikit.[23]
Dengan demikian pelayanan publik oleh pemerintah daerah harus dapat memuaskan publik. Untuk mengetahui sejauh mana kualitas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah bisa diukur dengan indikator-indikator : mudah, murah, cepat, tidak berbelit, petugasnya murah senyum, petugasnya membantu jika ada kesulitan, adil dan merata serta memuaskan.
3) Kualitas Pelayanan
Vincent Gesperz, mengemukakan bahwa kualitas pelayanan, meliputi dimensi-dimensi berikut :[24]
- Ketaatan waktu pelayanan, berkaitan dengan waktu tunggu dan waktu proses
- Akurasi pelayanan, berkaitan dengan keakuratan pelayanan dan bebas dari kesalahan-kesalahan.
- Kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan, berkaitan dengan prilaku orang-orang yang berintegrasi langsung kepada pelanggan eksternal.
- Tanggung jawab, berkaitan dengan penerimaan pesanan dan penanganan keluhan pelanggan eksternal (masyarakat).
- Kemudahan mendapatkan pelayanan, berkaitan dengan banyaknya petugas yang melayani dan fasilitas pendukung.
- Kenyamanan mendapat pelayanan, berkaitan dengan lokasi, ruangan tempat pelayanan, tempat parkir, ketersediaan informasi dan petunjuk panduan lainnya.
- Atribut pendukung lainnya, seperti lingkungan, kebersihan, ruang tunggu, fasilitas musik, AC, dan lain-lain.
Vincent Gesperz juga mengemukakan manajemen perbaikan kualitas yang dikenal dengan konsep Vincent.
Konsep ini terdiri dari strategi perbaikan kualitas yaitu :
- Visionary transformation (tranformasi misi)
- Infrastructure (infrastruktur)
- Need for Improvement (kebutuhan untuk perbaikan)
- Customer Focus (Fokus Pelanggan)
- Empowerment (Pemberdayaan)
- NewViews of Quality (pandangan baru tentang kualitas)
- Top Management ( Komitmen manajemen puncak)
0 Response to "Kerangka Teoritis dan Konseptual "
Post a Comment