Prioritas Penelitian dan Pengembangan Bidang Kesehatan dan Obat di Indonesia dan Penelitian Anti HIV dari Tumbuhan Obat
Di Indonesia, prioritas penelitian dan pengembangan bidang kesehatan dan obat meliputi: (1) pencapaian gizi seimbang; (2) pengembangan industri farmasi; (3) pengembangan bahan obat alam; (4) pengembangan vaksin, sera dan biofarmasi; (5) pengendalian penyakit; (6) pengembangan alat kesehatan; dan (7) penerapan teknologi genomik, proteomik dan teknologi nano.
Salah satu area prioritas adalah penanggulangan HIV dan AIDS yang tercantum dalam Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007-2010 adalah Penelitian dan Riset Operasional. Di dalam program tersebut, area prioritasnya adalah Program Penelitian Obat Tradisional HIV dan AIDS. Indonesia kaya dengan flora dan fauna sebagai sumber bahan pembuatan obat-obatan, maka penelitian diarahkan untuk mencari bukti-bukti ilmiah tentang obat-obatan tradisional dan sekaligus mencari peluang lain. Beberapa tanaman/tumbuhan obat Indonesia yang diyakini mempunyai potensi tersebut antara lain lidah buaya (Aloe vera), temu ireng (Curcuma aeruginosa), jambu biji (Psidium guajava), Sambiloto (Andrographis paniculata), Meniran (Phyllantus urinada Linn), Kunir (Curcuma domestika), Mengkudu (Morinda citrifolia) dan Brotowali (Tinospora cordifolia).
Penting dilakukan skrining in vitro obat herbal untuk HIV/AIDS, sayangnya, sulit sekali untuk melakukan hal itu di Indonesia. Ada beberapa kendala, seperti belum ada laboratorium virus yang memadai guna melakukan kultur rutin untuk HIV. Diperlukan pula laboratorium kultur sel guna menyuplai kebutuhan sel untuk menumbuhkan HIV. Kemungkinan diperlukan pula laboratorium setingkat BSL-2 atau BSL-3 yang biaya operasionalnya mahal (Sparinga, 2010).
Berdasarkan data statistik dari WHO, prevalensi HIV di antara orang dewasa yang berumur >15 tahun pada tahun 2005 di Indonesia adalah 106 per 100.000 populasi (WHO, 2007). Publikasi internasional mengenai penelitian herbal untuk anti-HIV telah banyak dilakukan di antaranya adalah pada tanaman obat Panama (Jatropha curcas (Euphorbiaceae), Chamaesyce hyssopifolia (Euphorbiaceae), Cordia spinescens (Boraginaceae), Hyptis lantanifolia (Labiatae), and Tetrapteris macrocarpa (Malpighiaceae) ( Matsuse et al., 1999), Cimicifuga racemosa (blackcohosh) (Sakurai et al., 2004), Zanthoxylum ailanthoides ( Cheng et al., 2005), tanaman obat Thailand (Dioscorea birmanica , Smilax corbularia , Smilax glabra , Pygmaeopremna herbacea and Dioscorea membranacea) ( Tewtrakul et al., 2006), Boesenbergia pandurata (temu kunci) ( Cheenpracha et al., 2006), Calophyllum inophyllum (Laure et al., 2008).
Metode yang digunakan untuk uji aktivitas anti-HIV antara lain adalah inhibitor protease HIV-1, inhibitor integrase HIV-1, uji anti-HIV pada sel H9 yang diinfeksi dengan HIV. Senyawa-senyawa yang menunjukkan aktiviatas anti-HIV yang telah berhasil diisolasi antara lain adalah Acteinm, 12 saponin, 2 steroidal, 7 tetracyclictriterpenoid, dan 4 pentacyclictriterpenoid dari Cimicifuga racemosa; decarine, c-fagarine, dan (+)-tembamide dari Zanthoxylum ailanthoides; panduratin A dan hydroxypanduratin A dari Boesenbergia pandurata;Inophyllum B dan P dari Calophyllum inophyllum. Apakah dari tumbuhan-tumbuhan obat tersebut akhirnya bisa menjadi obat baru untuk mengatasi HIV, masih diperlukan penelitian dan pengembangan lebih jauh.
Perlunya Kemitraan Global
Indonesia perlu belajar dari Singapura. Dalam mengembangkan bahan baku obat, Singapura mengundang pakar-pakar internasional, dan mengundang industri multinasional untuk bekerjasama, yang sebagian investasinya berasal dari Singapura. Salah satu institusi riset yang lahir seperti ini adalah Merlion Pharma, yang mengembangkan bahan baku obat dari sumber daya alam, dan berawal dari Glaxo. Awalnya mengembangkan secara bersama, kemudian Singapura mengembangkan sendiri dengan komitmen yang sangat kuat. Negara yang sudah maju saja perlu kemitraan global, demikian juga seharusnya Indonesia.
Secara klasik, masing-masing individu peneliti mengembangkan ilmunya antara lain berdasarkan referensi hasil penelitian berbasis hasil peneliti lain melalui jurnal, pertemuan-pertemuan ilmiah, konferensi, pengembangan kapasitas peneliti, sarana prasarana yang mendukungnya. Namun, perlu dicatat bahwa perubahan ilmu mewajibkan adanya kemitraan global, seberti mapping genomik global, yang memerlukan masukan atau input dari banyak ilmuwan di dunia secara koheren, sehingga menciptakan peluang baru yang saling menjembatani, sehingga para peneliti bisa saling mendengarkan, saling tukar pengalaman, dan saling bisa memprediksi kebutuhan ke depan.
Jelaslah bahwa kemitraan global seperti ini strategis, melihat ke depan, membina jaringan baik instansi maupun individu ilmuwannya, sehingga bisa menciptakan program riset bersama, berkoordinasi dan saling berbagi dalam pendanaannya. Kerjasama seperti ini akan memberi keuntungan atau mengurangi hambatan untuk implementasi hasil riset (Marks, 2007). Adanya kerjasama antar institusi global akan mempermudah kunjungan atau penukaran ilmuwan, mendukung diseminasi ilmu transnasional, pengembangan kapasitas masing-masing ilmuwan dan institusi, saling tukar pengalaman dan mengembangkan best practice dan benchmark sistem pengembangan atau prosedur, benchmark komunitas ilmiah, pembagian dana untuk pengembangan infrastruktur, sehingga peneliti mampu mengerjakan riset lebih efisien dengan prediksi ke depan lebih baik dan penilaian yang lebih tepat.
PENUTUP
Mempertegas apa yang disampaikan pada Workshop bulan April ini, Program kemandirian bahan baku obat perlu grand design, strategi jangka pendek, menengah dan panjang, konsisten, terukur, untuk mewujudkan kemandirian dan kelayakan ekonomi; inovasi tidak hanya pada temuan teknologi baru. Feed back adalah kunci tercapainya kemandirian bahan baku obat. Di Indonesia, diperlukan cluster policy dalam sistem inovasi obat untuk mewujudkan kemandirian bahan baku obat, perlu ditentukan sumber daya lokal yang berpotensi untuk pengembangan bahan baku obat dan eksipien di Indonesia; pengembangan bahan baku obat di Indonesia tidak bisa dilepas dari commercial battle field untuk kemandiriannya, karena adanya proteksi yang kuat dari negar-negara penghasil bahan baku obat. Untuk mencapai target Millennium Development Goals, diperlukan usaha bersama yang sungguh-sungguh untuk mengatasinya. Sementara, program intensif pajak bagi industri yang mengembangkan bahan baku obat masih belum berjalan.
Salah satu usulan bagi industri farmasi dan industri jamu adalah untuk menyisihkan dana penelitian bersama, dikumpulkan dan dikelola oleh mereka sendiri atau suatu lembaga netral yang didukung oleh pemerintah untuk tujuan tersebut. Di bidang farmasi dan bioteknologi kesehatan, dana bersama tersebut bisa dimanfaatkan untuk pengembangan kapabilitas dan kompetensi penelitian dan pengembangan bahan baku obat dengan kemitraan global. Strategi dan kehati-hatian dalam kemitraan global ini perlu kajian dan studi yang mendalam, sehingga benar-benar lebih menguntungkan Indonesia di masa depan.
Dengan demikian, kemitraan global untuk pengembangan bahan baku obat memperoleh kemajuan yang berarti, sehingga obat-obat esensial menjadi terjangkau bagi seluruh masyarakat, dan pelayanan kesehatan di Indonesia menjadi lebih baik. Dalam diskusi Pengembangan Bahan Baku Obat di Indonesia baru-baru ini, Dr. Roy Sparinga, dari Kementrian Negara Riset dan Teknologi, mengusulkan langkah-langkah penguatan sistem inovasi nasional obat yang berbasis bahan baku lokal antara lain: dirumuskannya kebijakan untuk kemandirian/kemampuan nasional dalam produksi bahan baku obat, ditetapkannya jenis bahan baku obat dan eksipien, ditetapkannya langkah-langkah yang dilakukan dalam waktu tertentu dan kementrian, institusi dan aktor yang terlibat serta sumber daya dan dana, disatukannya roadmap industri kimia, industri farmasi, riset dan teknologi di semua kementrian yang terlibat, didorongnya investasi ke arah indusrti kimia hulu untuk pengembangan bahan baku obat secara bertahap, adanya insentif riset dan penguatan jejaring iptek untuk pengembangan bahan baku obat, adanya insentif pajak, kepabeanan dan bantuan teknis bagi industri yang mengembangkan bahan baku obat, dan adanya kebijakan penguatan kelembagaan, sumber daya dan jaringan dalam pengembangan obat baru. Akhirnya, apakah program kemandirian bahan baku obat di Indonesia ini akan menjadi kenyataan atau tetap menjadi wacana seperti tahun-tahun sebelumnya, nampaknya masih diperlukan waktu lama untuk mengetahuinya.
0 Response to "Pengembangan Bidang Kesehatan dan Obat di Indonesia"
Post a Comment