(1) Pasal 55 ayat (2) dan penjelasannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
(2) Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
berakibat hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang, karena:
(1) timbulnya ketidak pastian hukum;
(2) menimbulkan kebingungan baik bagi para penegak hukum (hakim), para pencari keadilan, dan yang paling berbahaya adalah menjadikan mahasiswa tidak percaya akan hukum karena faktanya saling bertentangan.
Hal ini sangat merugikan terhadap pembinaan hukum masyarakat untuk sadar hukum dan dan dalam jangka panjang akan merusak sendi-sendi negara hukum, dan bertentangan dengan jiwa reformasi. Dengan lahirnya:
a. Pasal 55 ayat (2) dan penjelasannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
b. Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
kompetensi pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa menjadi tidak jelas, karena didistorsi oleh pengadilan negeri, yang seharusnya tidak demikian.
Pasal 50 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama menegaskan, ketika perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah menimbulkan sengketa, maka muara penyelesaian perkara secara litigasi menjadi kompetensi peradilan agama. Sedangkan penyelesaian melalui jalur non litigasi dapat dilakukan melalui lembaga arbitrase, dalam hal ini Basyarnas, dan alternatif penyelesaian sengketa dengan memperhatikan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa, dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip syariah.
Timbul persoalan ketika Pasal 55 ayat (2) dan penjelasannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dan Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman memberikan kompetensi kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum untuk menyelesaikan perkara perbankan syariah.
Pasal 55 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah menyebutkan:
(1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
(2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.
(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.
Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah menyebutkan:
Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut:
a. musyawarah;
b. mediasi perbankan;
c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau
d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Demikian juga dengan Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:
Pasal 59:
(1) Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
(2) Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.
(3) Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan
Penjelasan Pasal 59:
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “arbitrase” dalam ketentuan ini termasuk juga arbitrase syariah.
Ketentuan Pasl 55 ayat (2) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dan Pasal 59 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman beserta penjelasannya itu menunjukkan bahwa telah terjadi reduksi terhadap kompetensi peradilan agama dalam bidang perbankan syariah.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, peradilan agama memiliki kompetensi dalam menangani perkara ekonomi syariah, yang di dalamnya termasuk perbankan syariah. Ternyata ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama itu direduksi oleh perangkat hukum lain yaitu oleh Undang Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang sebenarnya dimaksudkan untuk memudahkan penanganan perkara ekonomi syariah, khususnya bidang perbankan syariah.
Berdasarkan fakta tersebut, politik hukum pemerintah (legislatif dan eksekutif) terhadap perbankan syariah terkesan masih ambivalen, sebagaimana tercermin dalam Pasal 55 ayat (2) ) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dan Pasal 59 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasannya, yang masih memberi opsi penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Adanya opsi kompetensi peradilan dalam lingkungan peradilan agama dan peradilan umum dalam bidang perbankan syariah ini menunjukkan adanya reduksi dan penyempitan serta mengarah pada dualisme kompetensi mengadili oleh dua lembaga litigasi – sekalipun kompetensi yang diberikan kepada peradilan umum adalah terkait dengan isi suatu akad, khususnya mengenai choice of forum dan choice of litigation (Pasal 55 ayat (2) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah). Tetapi untuk terkait dengan Pasal 59 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman bukan hanya sebagai opsi, melainkan secara tegas menghapus kewenangan peradilan agama sebagaimana tersebut dalam Pasal 59 dan Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:
Pasal 59
(1) Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
(2) Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.
(3) Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.
Penjelasan Pasal 59
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “arbitrase” dalam ketentuan ini termasuk juga arbitrase syariah.
Munculnya isi perjanjian dimana para pihak menyepakati jika terjadi suatu sengketa akan diselesaikan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum merupakan kebebasan para pihak dalam menentukan isi suatu perjanjian, yang termasuk di dalamnya mengenai pilihan lembaga dalam menyelesaiakan sengketa. Ada dua cara dalam menentukan pilihan di mana sengketa akan diselesaikan berdasarkan belum atau sudah terjadinya sengketa, yaitu melalui factum de compromittendo dan acta compromis. Factum de compromittendo merupakan kesepakatan para pihak yang mengadakan perjanjian mengenai domisili hukum yang akan dipilih taatkala terjadi sengketa. Ketentuan ini dapat dicantumkan dalam kontrak atau akad yang merupakan klausula antisipatif. Sedangkan acta compromis adalah suatu perjanjian tersendiri yang dibuat setelah terjadinya sengketa. Namun demikian, pilihan tempat penyelesaian di sini lebih mengarah pada wilayah yuridiksi pengadilan dalam satu lingkungan peradilan, bukan pilihan terhadap peradilan di lingkungan yang berbeda.
Dengan demikian dengan adanya choice of forum dalam penyelesaian perkara perbankan syariah berdasarkan Pasal 55 ayat (2) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah menunjukkan inkonsistensi pembentuk undang undang dalam merumuskan aturan hukum.
Pasal 49 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama secara jelas memberikan kompetensi kepada peradilan agama untuk mengadili perkara ekonomi syariah, termasuk perbankan syariah sebagai suatu kompetensi absolut. Alasan bahwa pengadilan dalam lingkungan peradilan agama belum familiair dalam menyelesaikan perkara perbankan, bukan menjadi suatu alasan yang logis untuk mereduksi kewenangan mengadili dalam perkara perbankan syariah.
Keberadaan choice of forum sangat berpengaruh pada daya kompetensi peradilan agama. Pelaksanaan kompetensi dalam perbankan syariah akan sangat bergantung pada isi akad atau kontrak. Jika para pihak yang mengadakan akad atau kontrak menetapkan penyelesaian perkara pada pengadilan di lingkungan peradilan umum, maka kompetensi yang dimiliki oleh peradilan agama hanya sebatas kompetensi secata tekstual sebagaimana diberikan oleh undang undang, tetapi dalam praktik tidak secara optimal berfungsi, karena harus berbagi dengan pengadilan negeri, khususnya jika dalam akad telah disebutkan akan diselesaikan di pengadilan negeri.
Jika dipahami dalam kaidah normatif-yuridis, ketentuan Pasal 55 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dapat ditafsirkan sebagai berikut:
Mengenai ayat (1) telah menjadi prinsip hukum bahwa penyelesaian perkara perbankan syariah melalui proses litigasi menjadi kompetensi absolut pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Terkait penafsiran dengan ayat (2) dapat dijelaskan bahwa ayat (1), yaitu litigasi, harus berhadapan dengan ayat (2), yaitu non litigasi – musyawarah, mediasi perbankan, Basyarnas atau lembaga arbitrase lain, dan/pengadilan dalam lingkungan peradilan umum diposisikan sebagai non litigasi. Karena peradilan umum merupakan lembaga litigasi, maka dalam undang undang ini terdapat norma yang keliru.
Dengan demikian, dalam penjelasan Pasal 55 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah ayat (1) dan ayat (2) telah terjadi contradictio in terminis. Hal ini akan berakibat pada berlakunya kaidah hukum lex posteriori derogat lex priori, artinya peraturan yang baru mengalah-kan atau melumpuhkan peraturan yang lama dengan mengesampingkan peraturan tersebut.
Maka dengan demikian berdasarkan analisis atas kaidah tersebut frasa 'pengadilan dalam lingkungan peradilan umum" yang telah memposisikan/ mendudukkan peradilan umum pada posisi non litigasi dapat di kesampingkan oleh hakim, karena cara penyelesaian melalui peradilan umum adalah merupakan cara penyelesaian di luar litigasi.
Penafsiran yuridis inilah yang kemudian mendorong Mahkamah Agung untuk melakukan langkah dengan mengambil jalan yuridis untuk memperlancar penyelenggaraan peradilan dengan menyerahkan perkara perbankan syariah pada kompetensi pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.
Mengenai Pasal 59 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, bukan hanya mendudukkan peradilan umum sebagai opsi, melainkan secara tegas menghapus kewenangan peradilan agama, karena berposisi sebagai pengambil alih kompetensi peradilan agama.
0 Response to "Kerugian Hak dan/atau Kewenangan Konstitusional "
Post a Comment