Untuk saat ini, hampir semua komponen produksi diimpor. Beberapa usaha untuk mengganti dengan komponen lokal belum berhasil. Seperti sering dibahas oleh Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, komponen impor obat di Indonesia masih sangat tinggi, meliputi 90% dari bahan yang digunakan (bahan aktif dan bahan pendukung), dan 50% dari bahan pengemas. Produksi domestik untuk bahan aktif obat (bahan baku obat) masih sangat kecil dan belum berarti. Meskipun Indonesia mampu memproduksinya, sampai saat ini kebanyakan masih belum bisa bersaing dengan produk impor.
Usaha untuk kemandirian dari kebutuhan dasar ini sering terbentur oleh beberapa kenyataan, bahwa jenis obat yang beredar di Indonesia sangat banyak, boleh dibilang terlalu banyak, dan bertambah terus dari hari ke hari. Serta suatu kenyataan bahwa banyak bahan baku obat tidak akan ekonomis apabila diproduksi dalam skala produksi (ISFI, 1997).
Masalah yang dihadapi dalam penyediaan bahan baku obat ini, apabila diproduksi secara lokal, antara lain, secara berantai akan berhubungan dengan:
i. Industri kimia hulu belum mengembangkan dukungan untuk mengembangkan bahan antara (intermediates) untuk penyediaan bahan baku obat. Ketergantungan bahan antara impor dapat mengurangi pengembangan bahan baku obat secara sintesa.
ii. Terkait dengan undang-undang bahan kimia, di satu pihak, bahan kimia sangat bermanfaat untuk kesejahterahan kimia, di lain pihak, bahan kimia bisa digunakan untuk manfaat sebaliknya, yaitu yang merugikan atau merusak kehidupan. Impor bahan antara ini perlu diatur secara hati-hati.
iii. Koordinasi antar industri belum berjalan dengan baik, misalnya koordinasi antara industri petrokimia dan industri farmasi. Industri farmasi sering mengalami kesulitan karena bahan dasar yang sangat diperlukan ternyata tidak diproduksi secara lokal (ISFI 1997, Hardoyo, 2003).
Jumlah industri farmasi nasional cukup besar dengan kapasitas produksi sebesar 3% dari kapasitas total dunia. Namun, di sisi lain, pasar farmasi Indonesia relatif kecil (sekitar 0,2% dari total pasar dunia). Apabila ada kenaikan drastis harga obat yang berakibat menurunnya daya beli masyarakat, hal ini akan membuat masyarakat menjadi lebih sulit untuk mendapatkan obat yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat kesehatan masyarakat, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Dampak lainnya adalah industri farmasi Indonesia semakin terpuruk dalam profitabilitas dan likuiditas, kapasitas menganggur yang ada meningkat (ISFI, 1997).
Perkembangan industri farmasi Indonesia perlu dikaji, terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan bahan baku dan mengurangi ketergantungan impor. Pemilihan bahan baku obat yang akan dikembangkan harus dilakukan dengan hati-hati, juga dalam pemilihan apakah akan mengembangkan obat-obatan baru atau memproduksi obat-obatan yang perlindungan patennya telah berakhir atau hampir kadaluwarsa. Diharapkan, jika memungkinkan, langkah-langkah pengembangan obat dapat dipersingkat agar Indonesia mampu mengejar ketinggalan yang jauh dalam pengembangan bahan baku obat. Penekanan dalam pendekatan penemuan obat juga perlu dikaji, baik itu dari produk alami, dari obat yang sudah digunakan, dari bahan kimia sintetik dan model hewan, ataupun dari pendekatan modern desain obat (Kardono, 2001).
0 Response to "ADA EMPAT KELOMPOK INDUSTRI PARMASI GLOBAL "
Post a Comment